Setelah bebas Sihanouk diterbangkan ke Beijing. Hanya beberapa jam setelah pendaratan sang pangeran, ibukota Kamboja jatuh ke tangan Vietnam.
Balas dendam
Kini Sihanouk banyak menghabiskan waktu untuk memberi analisa mengenai apa sebabnya ia bersekutu dengan partner-nya yang dulu dan sekarang, yaitu orang-orang yang menghancurkan tanah airnya.
"Kami orang-orang Kamboja dari Pasifik Selatan, sama dengan orang-orang Malaysia dan Indonesia, suka amok. Ras kami bermuka dua, seperti Janus, yaitu perang dan damai. Buddhisme cuma pernis, tapi di bawahnya ada api dari neraka."
Beberapa orang bertanya kepada saya: "Samdech (Bapak), mengapa engkau menganjurkan kami untuk bergabung dengan Khmer Merah?". Saya mengatakan pada mereka bahwa kita telah dibohongi. Anak-anak saya yang masih hidup ialah yang tidak percaya pada Khmer Merah.
Sihanouk mengatakan bahwa selama di penjara semua surat dan paket yang ditujukan padanya disita Khieu Samphan. "Saya tidak mendapat apa-apa. Ia menjenguk saya hanya tiga kali dalam tiga tahun".
(Mungkin Khieu Samphan balas dendam karena ia pernah diperlakukan secara kasar oleh anak buah Sihanouk. Pada tahun 1960 mereka menyergapnya di jalan. Kemudian ia ditelanjangi, dipotret dan disuruh pergi tanpa busana).
"Tentara menjaga saya secara ketat. Saya mendengar berita dari dua radio yang berkoar-koar. Pertama saya mendengarkan berita dari yang satu, kemudian dari yang kedua. Dari radiolah pertama kali saya mendengar cerita para pengungsi tentang 'pembersihan', yaitu pembantaian. Dalam resepsi-resepsi saya perhatikan bahwa selalu ada saja orang yang telah lenyap. Alasan terhindarnya saya dari maut, itu karena peringatan Deng Xiaoping pada Pol Pot. 'Jika engkau mengusik Sihanouk, maka akan habislah semua ...." Itulah sebabnya mengapa saya mengabdikan diri untuk Cina."
Pol Pot bukanlah manusia biasa. Ia seperti Caligula. Seorang gila bisa melakukan banyak kejahatan, seperti yang ada dalam sejarah. Ieng Sary bukan orang gila, dia ambisius dan paranoid. Ia menceritakan pada saya bahwa telah terjadi enam kali usaha kudeta dalam tiga tahun.
"Kedua orang ini pernah hidup bertahun-tahun dalam suasana hutan yang keras, terasing dari dunia luar, dengan hujan bom yang disiramkan AS pada mereka. Bagi mereka, yang penting adalah dapat tetap mempertahankan kekuasaan dengan segala macam cara."
"Saya pernah memberikan kepada Khmer Merah kesempatan belajar di Prancis dalam tahun 1950-an, ketika Partai Komunis Prancis sedang gandrung dengan Stalinisme, sehingga mengakibatkan mereka menjadi komunis. Tidak seorang pun saat itu menyadari bahwa mereka akan menjadi monster."
Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan pasukan penyerbu Vietnam, sisa-sisa Khmer Merah merupakan kekuatan satu-satunya yang mengusik majikan baru itu. Antara tahun 1979 dan Juni 1982, Sihanouk mencoba (walaupun sama sekali tidak berhasil) memperkuat pasukan anti komunis untuk melawan rezim Heng Samrin.
Amerika Serikat menolak untuk memberinya senjata, AS juga mengecam rezim Pol Pot, tetapi terus mendukung Khmer Merah di PBB. "Baik AS maupun negara lainnya tidak ada yang mengutuk Pol Pot," kata Sihanouk.
"Karena Khmer Merah dianggap bermanfaat oleh pihak Barat untuk memukul Vietnam. Saya tidak munafik seperti negara-negara adikuasa. Khmer Merah membantai jutaan orang Kamboja, tapi kami tetap bertahan sebagai suatu bangsa. Jika Vietnam tetap bertahan maka pada tahun 2010 tidak akan ada lagi bangsa Kamboja," katanya sambil menyebutkan laporan kolonisasi besar-besaran Vietnam yang sedang terjadi di negerinya.
Hidupnya dari belas kasihan
Baru bulanjuni 1982, pangeran tersebut setuju untuk menjadi pimpinan koalisi dari Khmer Merah, kelompok Sihanouk dan pendukung Son Sann. Son Sann itu pernah menjadi perdana menteri di bawah Sihanouk dan anti komunis.
Pasukan-pasukan Sihanouk hanya memiliki sedikit senjata. Vietnam baru-baru ini menghancurkan dua dari tiga kamp pendukungnya di sepanjang perbatasan Thai-Kamboja. Tapi Samdech masih punya kartu As, yaitu dukungan dari kaum petani.
Francois Mitterand menerima kunjungan Sihanouk pada bulan Mei 1984 dengan segala penghormatan sebagai kepala negara. Presiden Prancis ini menyebut Sihanouk sebagai kunci pemecahan masalah Kamboja.
Etienne Manac'h setuju: Sudah tentu Sihanouk mempunyai landasan yang kuat. "Saya mendapat informasi dari dalam Kamboja," kata bekas pimpinan Biro Asia Kementerian Luar Negeri Prancis.
Koalisi yang sekarang, katanya, bukanlah persekutuan yang sebenarnya, tapi tiga kelompok yang bersatu secara semu. Yang paling disesalkan oleh Sihanouk adalah bahwa Cina hanya mendukung Khmer Merah dengan memberi senjata.
Pertanyaannya adalah apakah mungkin kekuatan dapat dipusatkan pada Sihanouk, sehingga dukungan politis, diplomatis dan milker dapat diberikan kepada seluruh rakyat Kamboja?
Karena Sihanouk lebih dapat mewakili orang-orang Kamboja, daripada Khmer Merah.
Sihanouk mengakui Khmer Merah tidak banyak berubah dan sama sekali tidak menyesali kejahatan yang telah mereka perbuat.
la menolak argumen bahwa Vietnam merupakan jaminan untuk mencegah tumbuh kembalinya kekuatan Khmer Merah.
Mengapa sang pangeran masih tetap dalam persekutuan dengan Khmer Merah? Bukankah ia pernah berkata: "Saya dapat memperoleh segalanya dengan keluar dari persekutuan." Hal ini masih merupakan teka-teki. Apakah ia menunggu kesempatan rujuk dengan Khmer Merah agar dapat mengusir orang-orang Vietnam?
Orang yang mengatakan bahwa komunisme tidak berperikemanusiaan itu menghabiskan waktu beberapa tahun di bawah ketiak Kim II Sung, diktator Korea Utara. Sihanouk tidak seperti klik bekas penguasa Kamboja lainnya yang berada dalam pengasingan.
Ia tidak mempunyai kekayaan pribadi dan hidupnya bergantung pada kemurahan hati bekas kawan dan sekutunya.
Duduk di beranda kecil di vilanya, Singa Tua itu, Pangeran Kontradiksi, menghadapi masa depan yang tidak pasti. "Mereka mengatakan bahwa saya kaya. Lihatlah di sekitar Anda, hanya itulah yang saya punya," katanya.
Teh dan Coca-cola dibawa oleh salah seorang anaknya yang sudah dewasa, yang mendekati pemimpin negerinya dengan hormat, membungkuk dan menghaturkan sembah. Di sini pun, di Cote d'Azur, Sihanouk bagi orang Kamboja masih tetap memancarkan pamor raja dewa.
Kami juga menemui Sihanouk di Blue Bar yang terkenal. Ia bersama dengan dua orang keponakan laki-lakinya. Mereka ditemani orang-orang berwajah kaku. Mereka adalah orang-orang Kementerian Luar Negeri Prancis dan merupakan anggota pasukan pengawal tamu asing yang terkemuka.
Salah seorang keponakan Sihanouk yang berbadan ramping dan berkacamata, mengelola bekas kantor Sihanouk di Paris. Sedangkan yang satu lagi pernah belajar di Moskwa selama empat belas tahun.
la bercerita: "Pada tahun 1975 beberapa dari kami minta izin untuk pulang supaya dapat mengambil peranan penting dalam revolusi di Kamboja. Namun kami diperintahkan untuk tetap tinggal dan melanjutkan pelajaran, karena kata mereka negara nantinya membutuhkan kader-kader terlatih."
Sambil menyuapkan sebuah tiram ke dalam mulutnya ia tersenyum masam. "Cara terbaik untuk membuat seseorang menjadi anti komunis adalah dengan mengirimkannya ke Uni Sovyet."
Sihanouk menyeletuk "Saya lebih anti komunis dari pada Nixon dan Kissinger!"
Kata Sihanouk: "Saya menyukai Prancis, karena lebih mudah untuk mengunjungi negara lain dari situ, tapi di samping Phom Penh saya paling menyenangi Pyongyang. Ketika ditanyakan apa yang paling dirindukannya dari Phnom Penh. "Sexophone saya," katanya.
Pada pangeran umur 61 tahun ini kadang-kadang memang orang masih bisa menangkap gambaran mengenai seorang pangeran berusia delapan belas tahun, yang menitikkan air mata sewaktu dikeluarkan dari sekolah dan kemudian mendapatkan singgasana di Kamboja.
"Dulu saya seorang playboy," katanya, "tapi Korea Utara bukanlah tempat untuk playboy. Pyongyang bukanlah Cannes. (Philip Brooks)
(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1985)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR