Setelah merayu Prancis dengan cara yang lihai sekali untuk memperoleh sebagian kebebasan pada tahun 1949, Sihanouk banyak berkampanye yang diatur secara brilian. la memakai cara bombastis, memeras dan mengancam.
Pada bulan November 1953 ia menyatakan kemerdekaan dari Prancis. Ia membuktikan dirinya mampu melihat jauh: "Saya menginginkan kemerdekaan, bukan untuk melawan Anda, tapi supaya rakyat saya tidak mengekor kepada kaum komunis," ia katakan kepada pemerintah Prancis.
Menghadapi keengganan Prancis untuk menyerahkan kekuasaan militernya, Sihanouk mengundurkan diri ke Provinsi Battambang dan menolak untuk berubah sikap. Akhirnya Prancis menyerah.
Jenderal Prancis, Langlande, saat itu menyatakan: "Raja gila, tapi ia punya pengaruh." Akibatnya pada tahun 1954 Konvensi Jenewa menetapkan batas Kamboja seperti sebelum perang. Ketika itu dua negara Indo-Cina jajahan Prancis lainnya, Vietnam dan Laos, dibagi-bagi antara kelompok yang pro dan anti komunis.
Ini kelak akan menjadi arena berdarah selama dua puluh tahun. Keberhasilan Sihanouk dalam memperoleh kemerdekaan dengan mendapatkan kembali batas-batas negara seperti semula bagi Partai Komunis Khmer maupun sayap kanan merupakan hal yang mencemaskan.
Konvensi Jenewa juga memaksa VietMinh supaya meninggalkan bagian timur Kamboja, yang digunakan Ho Chi Minh dalam perangnya melawan Prancis dan selanjutnya akan digunakan juga untuk berperang melawan rezim Vietnam Selatan dan Amerika Serikat.
Konvensi itu juga melaksanakan pemilu (ini ditentang pihak Sihanouk) yang diawasi International Control Commission. Waswas terhadap kemungkinan menangnya kaum anti monarki dalam pemilu, cepat-cepat Sihanouk melepaskan tahta untuk digantikan oleh ayahnya.
Dengan membentuk kelompok sendiri (Sangkum Reastr Niyum atau Kelompok Sosialis Rakyat) yang disebutnya Sosialisme Buddha, ia berjanji untuk menghapuskan seluruh hierarki pejabat tinggi yang banyak melakukan intrik, seperti lintah penghisap darah yang menempel di kaki gajah. Akhirnya memang Sihanouk dapat membabat habis kaum oposisi dengan mudah.
Lebih suka menjadi pengemis
Peristiwa itu diingat oleh pangeran sebagai sesuatu yang lebih muluk. "Buddha adalah penganut paham sosialis yang pertama. Ia seharusnya menjadi raja, tapi melepaskan tahtanya, memilih menjadi seorang pengemis dan bukan tinggal di istana, melainkan di bawah pohon.
Bukan kelahiran yang membuat engkau berharga. Seseorang harus berjuang untuk mencapai nirwana. Di bumi engkau harus mendermakan hartamu."
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR