Advertorial
Intisari-Online.com -Meski anggota Sekutu dan berhasil dibebaskan AS dari cengkeraman Nazi Jerman, Prancis ternyata pernah menjadi incaran operasi CIA pasca-Perang Dunia II. Lho, kok bisa?
Semua bermula ketika Prancis dipimpin oleh Charles de Gaulle.
De Gaulle yang penganut sosialisme dianggap berpotensi menjadi pintu masuk paham komunis Rusia. Oleh karena itulah CIA mengambil tindakan khusus.
Apalagi de Gaulle tidak mau mengambil tindakan tegas terhadap negara jajahan Perancis, Aljazair, yang saat itu (1958) sangat dipengaruhi oleh partai berideologi sosialis,National Liberation Front (NLF), yang salah satu tujuannya adalah menuntut kemerdekaan.
Tindakan de Gaulle justru membuat CIA makin khawatir karena bersedia memberikan otonomi terhadap Aljazair sehingga peluang bagi paham komunis Rusia untuk memasuki Afrika Utara makin terbuka lebar.
(Baca juga:Apes, Gara-gara Tak Mahir Manjat Pohon, Agen CIA Ini Ditangkap Militer Indonesia)
Untuk melancarkan provokasi agar terjadi kudeta di Perancis, tim CIA bersama dengan NATO di bawah pimpinan Allen Welsh Dulles segera melakukan berbagai cara untuk membunuh de Gaulle.
Opini otonomi yang ditawarkan oleh Charles de Gaulle rupanya membuat para pejuang NFL tak sabar dan melancarkan perjuangan bersenjata.
Setelah selama tiga tahun berjuang kekuatan NLF ternyata sulit dibendung sehingga membuat de Gaulle memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Aljazair.
Selain dipusingkan oleh revolusi yang digelar NFL di Aljazair dengan tujuan merongrong kewibawaan pemerintahan Perancis,de Gaulle juga berkali-kali menghadapi upaya pembunuhan terhadap dirinya yang didalangi oleh CIA.
Tanpa disadari oleh de Gaulle, CIA ternyata sudah melancarkan sekitar 40 kali upaya percobaan pembunuhan terhadap de Gaulle tapi semua upaya itu ternyata gagal.
Sementara perkembangan di Aljazair membuat AS makin khawatir karena militer Prancis memutuskan untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan NLF dan disusul jajak pendapat yang menghasilkan kemerdekaan bagi Aljazair (17 Juni 1962).
Meskipun kekacauan terus berlanjut setelah Aljazair merdeka dan ratusan ribu orang eksodus ke Perancis, kekuasaan de Gaulle tidak runtuh.
Untuk melindungi de Gaulle, kemudian dibentuk milisi bersenjata SAC, Service d’Action Civique (Civic Action Services), yang dipimpin oleh tokoh kriminal asal Corsica yang sangat populer, Charles Pasqua.
Milisi SAC ternyata berkembang demikian kuat di bawah pimpinan de Gaulle langsung dan secara terang-terangan berani menantang manuver CIA dan NATO.
Perlawanan yang dilancarkan oleh milisi de Gaulle merupakan manuver politik, ekonomi, dan sekaligus unjuk kekuatan militer.
Untuk menunjukkan diri sebagai negara yang memiliki kekuatan militer dengan detterent tinggi dan tidak bisa didikte oleh kekuatan Barat, de Gaulle bahkan mendirikan proyek senjata nuklir.
Di bawah kepemimpinan de Gaulle yang sangat paham dalam berpolitik dan didukung oleh PM Pompidou yang mumpuni dalam dunia ekonomi, Prancis makin maju serta kuat.
(Baca juga:Operasi Rahasia CIA Hancurkan Komunisme, Senyap Namun Korbankan Banyak Nyawa Tak Berdosa)
Tapi upaya CIA merongrong pemerintahan de Gaulle dan para pengikutnya yang dikenal sebagai Gaullists terus berjalan.
CIA paling tidak berharap agar Pompidou mau membuka jalur perekonomiannya kepada pasar eonomi Eropa.
Upaya CIA untuk meruntuhkan pemerintahan Perancis yang selama ini di-back up oleh para Gaullists terus berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Nicolas Sarkozy.
Ketika Nicolas Sarkozy mencalonkan diri sebagai presiden Perancis, CIA langsung kelabakan karena Sarkozy yang semula tidak masuk hitungan itu ternyata dikenal sangat loyal terhadap Gaullist atau Partai Gaulle.
Sejarah kehidupan Sarkozy memang sangat dekat dengan Jenderal Charles de Gaulle karena ibu Sarkozy yang merupakan wanita keturunan Yahudi, Andree Mallah, menjabat sebagai sekretaris pengawal khusus de Gaulle yang saat itu dipimpin oleh Archille Peretti.
Berkat dukungan penuh Partai Gaulle dan bos SAC Charles Pasqua, karier politik Sarkozy makin melejit.
Salah satu karier politik Sarkozy yang mulai diperhitungkan oleh lawan-lawan politiknya adalah ketika menjabat walikota di kota Neully-sur-Seine (1983).
Sebagai sosok yang tidak dikehendaki untuk menduduki kursi presiden Perancis, Sarkozy cukup tahu diri dengan tidak memunculkan masalah yang berakibat pada turunnya pamor rekan-rekan politiknya.
Tapi meskipun Sarkozy selalu bersikap hati-hati akan setiap langkah politiknya, rekan-rekan seniornya justru yang membuat ulah. Sikap negatif rekan-rekannya secara tidak sengaja malah membuka peluang bagi Sarkozy untuk mengincar kursi presiden Perancis.
Ambisi Sarkozy untuk menjadi presiden sebenarnya tidak hanya dihalangi oleh CIA tapi juga tidak disetujui oleh mantan presiden Perancis yang juga tokoh senior Gaullist, Jacques Chirac.
Semasa pemerintahan Chirac, Sarkozy menjabat sebagai Menteri Urusan Dalam Negeri.Tokoh-tokoh yang diajukan Chirac untuk maju sebagai calon presiden Perancis menggantikan Presiden Francois Mitterand adalah Alain Juppe, Dominique de Villepin, dan Michelle Alliot-Marie.
(Baca juga:Jika Upaya CIA Mendorong G30S Urung Terjadi, Militer Amerika Sudah Siap Menginvasi)
Namun ambisi Chirac atas calon yang dijagokannya berantakan karena berbagai skandal yang tak terduga. Allain Juppe harus berhadapan dengan hukum ketika dinyatakan bersalah oleh pengadilan kriminal Nanterre, Perancis, karena terlibat korupsi (Januari 2004).
Calon berikut yang berpotensi untuk menduduki presiden Perancis adalah Villepin.
Bagi Partai Gaulle, Villepin memang menjadi andalan karena pada waktu yang sama ia juga menjabat sebagai PM Perancis. Jadi tinggal satu langkah lagi bagi Villepin untuk menduduki kursi presiden lewat pemilu.
Namun kendala tak terduga ternyata membuat pencalonan diri Villepin sebagai presiden Perancis kandas.
Sosok Villepin yang sudah cukup popoler berkat kecamannya terhadap Perang Irak (2003) ternyata tersandung skandal perbankan Clearstream.
PM Villepin terbukti terlibat praktek pencucian uang yang melibatkan perbankan di Perancis, Jerman, dan Swiss sehingga merontokkan karier politiknya.
Kini calon presiden Perancis yang dijagokan oleh Partai Gaulle tinggal satu orang, Michelle Alliot Marie.
Akan tetapi Michelle Alliot-Marie yang selama ini menjadi anak emas Chirac ternyata tidak percaya diri.
Ia memilih mengundurkan diri dari pencalonan presiden pada bulan Desember 2006. Awan gelap seolah menaungi suasana hati para anggota senior Partai Gaulle karena kekuasaan presiden Perancis bisa tiba-tiba jatuh ke tangan orang lain.
Namun gagalnya tiga jago dari Partai Gaulle itu justru memberikan kesempatan Sarkozy maju ke kancah pemilu. Sarkozy kemudian sukses terpilih sebagai presiden Perancis pada bulan Mei 2007.
(Baca juga:Operasi Rahasia CIA Hancurkan Komunisme, Senyap Namun Korbankan Banyak Nyawa Tak Berdosa)
Sebelum Sarkozy terpilih sebagai presiden Perancis, CIA telah melancarkan operasi penghalangan sebanyak tiga fase.
Fase pertama, mengeliminasi kepemimpinan Sarkozy di tubuh Partai Gaulle dan mengambil alih kepemimpinan partai lainnya.
Fase kdua, mengeliminasi pesaing utama Sarkozy dari partai sayap kanan dan menggagalkan pencalonan Sarkozy oleh Partai Gaullist. Fase ketiga, mengeliminasi tantangan dan kemungkinan lainnya yang bisa mendorong Sarkozy memenangi pemilihan presiden.
Tapi upaya penghalangan yang dilancarkan CIA ternyata gagal total.
Akan tetapi berdasarkan kegagalan itu operasi CIA tetap berjalan saat Sarkozy menjabat presiden Perancis.
Operasi dijalankan melalui agen CIA, Frank Wisner Jr, yang ditempatkan di Perancis semasa Presiden George Bush menjabat sebagai presiden AS.
Singkat cerita operasi CIA mulai menampakan hasil ketika pada bulan Maret 2009, Sarkozy menyatakan bahwa Perancis akan bergabung lagi dengan NATO.
Namun belakangan karena ulah agen CIA yang memperlakukan para tawanan yang dianggap teroris secara tidak manusiawi, pada tahun 2014, di bawah kepemimpinan Presiden Francois Hollande, Perancis mengancam akan keluar dari NATO.