Advertorial
Intisari-Online.com - Sesudah Perang Dunia II berakhir dunia secara politik dan kekuatan militer segara terbelah menjadi dua, yakni negara-negara Blok Barat dan Blok Timur.
Negara-negara Blok Barat secara politik menganut paham demokrasi dan kapitalis sementara negara-negara Blok Timur menganut paham komunisme.
Secara militer negara-negara Blok Barat tergabung dalam kekuatan militer AS dan NATO sedangkan BloK Timur tergabung ke dalam kekuatan militer Uni Soviet (Rusia) serta Pakta Warsawa.
Perang idiologi antara paham komunis dan kapitalis dikenal sebagai Perang Dingin atau perang urat syaraf karena baik militer AS maupun Uni Soviet secara fisik tidak langsung berperang.
Peperangan kedua negara raksasa itu justru terjadi pada para agen rahasia yang bekerja di negara-negara di kawasan Asia, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, dan lainnya yang saling berebut wilayah untuk menjadikan negara-negara itu pro Blok Barat atau Blok Timur.
Persaingan paling seru antar agen rahasia yag beroperasi di berbagai negara terjadi pada agen rahasia CIA (AS) dan KGB (Rusia).
Tapi dari sisi kemampuan operasi dan teknologi para agen CIA lebih unggul karena didukung oleh pesawat-pesawat pengintai seperti U-2 Dragon Lady yang bisa leluasa terbang tinggi di atas Eropa dan juga Indonesia.
Pola operasi CIA dan KGB juga berbeda. Jika KGB suka memperngaruhi negara lain untuk melakukan serangan militer demi menegakkan idiologi komunisme, CIA justru baru turun tangan utuk mencegah negara-negara yang dikhawatirkan akan jatuh ke tangan komunis.
(Baca juga: Ternyata, Sebenarnya Ada 8 Jenderal yang Akan Diculik Saat G30S/PKI)
Jadi pola kerja CIA selalu dalam kerangka “membendung pengaruh komunis yang selalu dikampanyekan oleh Rusia dan China”.
Cara kerja dengan prinsip membedung pengaruh komunis itu bisa dilihat ketika pasukan AS dan sekutunya baru turun tangan ketika Korsel diserbu Korut, Vietnam Selatan diserbu Vietnam Utara, Afghanistan di serbu Rusia, Kuba membuat ulah di kawasan Amerika Latin, China mau menguasai Taiwan, dan terutama ketika Indonesia lebih condong ke negara-negara komunis (Poros-Jakarta-Peking).
Sebuah negara seperti Indonesia yang di era Presiden Soekarno lebih dekat ke negara-negara Blok Timur dibandingkan negara-negara Blok Barat jelas membuat khawatir CIA.
Di dalam negeri Indonesia sendiri pada saat juga ada sebagian kekuatan militer dan organisasi masyarakat serta politik yang tidak setuju terhadap Bung Karno yag condong ke negara-negara komunis, khususnya Rusia dan China.
Kekuatan anti komunis di Indonesia inilah yang kemudian digarap oleh CIA seperti para agen CIA telah melakukannya di negara-negara lain demi membendung pengaruh komunisme.
Meskipun upaya membendung komunisme di Indonesia bagi CIA tidak mudah tapi karena CIA memiliki sumber daya dan teknologi yang lebih unggul, Indonesia pun akhirnya ‘’sukses digarap oleh CIA’’.
Komunisme di Indonesia memang sukses dihancurkan CIA melalui aksi penumpasan oleh aparat keamanan dan organisasi massa serta orgasasi politik anti PKI.
Pola meghancurkan komunisme dengan melakukan “pembunuhan massal” sudah biasa dilakukan oleh CIA dan militer AS dalam Perang Vietnam , Perang Korea serta peperangan di Afghanistan.
Di Vietnam militer AS dan CIA biasanya menggunakan senjata kimia (yellow rain) untuk meghancurkan kekuatan komunis Vietnam Utara dan dalam Perang Korea, militer AS menggunakan bom napalm untuk membinasakan kekuatan militer Korut.
Akibat Perang Korea dan Perang Vietnam jutaaan warga komunis telah tewas.
(Baca juga: Diberi Label ‘Komunis’, Tahanan Politik G30S Justru Diperlakukan Layaknya Tahanan di Negeri Komunis)
Bagi CIA jatuhnya jutaan korban jiwa akibat peperangan melawan komunisme sudah biasa meskipun bagi negara bersangkutan operasi rahasia CIA merupakan matapetaka yang luarbiasa.
Militer AS dan CIA memiliki dokumen-dokumen rahasia yang lengkap terkait operasi-operasi berdarah yang pernah dilakukan.
Namun, ketika dokumen rahasia itu dibuka untuk umum dan menggemparkan negara yang bersangkutan, baik militer AS dan CIA tenang-tenang saja karena setelah lewat masa 50 tahun ketika dokumen rahasia itu dibuka demi kebebasan informasi mereka sudah tidak bisa dituntut secara hukum.
Oleh karena itu bagi negara seperti Indonesia yang pernah “diacak-acak” CIA, operasi rahasia CIA yang berujung pada pembantaian massal para “pendukung” PKI, telah menjadi pelajaran yang sangat mahal megingat yang menjadi korban adalah sesama bangsa sendiri.