Ini adalah cerita bagaimana Bung Karno berkenalan dengan perempuan-perempuan yang kemudian menjadi istrinya. Ada yang lewat lukisan.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dalam otobiografinya yang dikerjakan Cindy Adams, Sukarno mengungkapkan semua kisah perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi, melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Kartini Manoppo, Naoko Nemoto, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.
Seperti apa sesungguhnya romansa Sukarno dengan wanita-wanita cantik tersebut?
Setelah berkuasa atau menjadi Presiden Republik Indonesia, petualangan cinta Sukarno makin menjadi. Dia benar-benar tak kuasa menghadapi keindahan makhluk Tuhan yang bernama wanita.
Meski begitu, Sukarno tetap berlaku ksatria. Dia tak pernah bermain sembunyi-sembunyi dan memaksakan kehendak. Hanya wanita yang menyambut cintanya saja yang kemudian dinikahinya, tanpa ada sedikit pun pemaksaan.
Dia juga tak mengharuskan istrinya mesti perawan. Hartini, misalnya. Sukarno tetap menikahinya meski perempuan ini berstatus janda dan sudah dikaruniai lima anak. Berikut kumpulan romansa Si Bung Besar selama berkuasa hingga akhir masa kekuasaannya.
Ketika Cinta Datang dari Perut
Seperti dikisahkan di buku Total Bung Karno karya Roso Daras, pada 1952 dalam kunjungannya ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, Sukarno singgah ke Salatiga. Di rumah Walikota Salatiga, dia disuguhi sayur lodeh kegemarannya.
Lidah Sukarno sampai bergoyang-goyang keenakan. “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini? Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya,” pinta Sukarno kepada sang Walikota.
Permintaan tersebut kontan membuat gaduh seisi dapur. Sri Suhartini si pemasak lodeh pun didorong teman-temannya untuk maju menemui Putra Sang Fajar.
Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangannya dengan hangat dan lama. Sukarno terkesiap oleh kecantikan khas Jawa milik Hartini.
Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?” Hari itu Sukarno benar-benar jatuh cinta kepada wanita kelahiran Ponorogo, 20 September 1924.
Sekembalinya ke Jakarta Bung Karno tidak bisa melupakan Hartini. Pada suatu malam, dia mengambil sebuah kertas dan merangkai kata-kata. “Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.”
Surat tersebut kemudian dititipkan kepada seseorang untuk disampaikan kepada Hartini di Salatiga. Janda beranak lima ini kaget bukan kepalang. Hatinya semakin galau ketika telegram-telegram cinta Bung Karno makin sering datang ke rumahnya.
“Ketika aku melihatmu untuk kali yang pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Ttd: .... SRIHANA.”
Ya, Sukarno selalu menggunakan inisial Srihana dalam surat cintanya ke Hartini, dan memanggil Hartini dengan inisial Srihani. Sukarno akhirnya melamar Hartini. Perempuan cantik ini menolak. Bukan Bung Karno namanya kalau menyerah. Lamaran tersebut diulanginya lagi di lain waktu. Hartini tetap bergeming. Hingga setelah berulang-ulang dilamar, hati Hartini luluh juga.
Namun, Hartini memberikan syarat kepada Sukarno. Syaratnya sungguh mengejutkan. Jawaban Hartini, “Ya, dalem bersedia menjadi istri Nandalem,” (Ya, saya bersedia menjadi istri tuan), tapi dengan syarat, Ibu Fat tetap first lady, saya istri kedua. Saya tidak mau Ibu Fat diceraikan, karena kami sama-sama wanita.”
Sukarno terperangah dengan syarat yang tak disangka-sangka tersebut. Sampai dia menitikkan air mata karena terharu. Dan, pada 7 Juli 1954 keduanya menikah di Bogor.
Hartini memberikan Sukarno dua anak, yakni Bayu Sukarnoputra dan Taufan Sukarnoputra. Dia merupakan istri paling setia yang tetap mendampingi Sukarno hingga masa kejatuhannya. Sejarah mencatat, Sukarno meninggal di pangkuan Hartini.
Jatuh cinta pada gambar di lukisan
Pada suatu hari di tahun 1959, pelukis Basuki Abdullah mengadakan pameran lukisan. Sukarno yang punya darah seni tinggi tentu tak mau melewatkannya.
Tiba di depan salah satu lukisan yang dipamerkan, Sukarno terpana. Dia terkagum-kagum atas kecantikan wanita yang ada di lukisan tersebut. Sukarno mengaku langsung jatuh cinta.
Dia lalu bertanya kepada Basuki, siapakah sosok wanita di lukisan tersebut. Basuki pun menjawab bahwa model yang dilukisnya adalah salah satu pramugari Garuda Indonesia. Bung Karno lantas meminta nama dan alamatnya.
Wanita cantik tersebut bernama Kartini Manoppo, putri keluarga bangsawan di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Sebagai presiden, mudah saja bagi Sukarno untuk mengatur pertemuan dengan seorang pramugari. Pada suatu hari, cerita Kartina di buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, & Kebanggaanku, dirinya diminta untuk ikut penerbangan ke Surabaya.
Beberapa jam sebelum take off, seorang pejabat tinggi bertanya, “Siapa yang bernama Kartini Manoppo?” Kemudian Kartini diajak menghadap Bung Karno.
Kartini gemetar dan gugup. Salah apa dirinya kok sampai harus dihadapkan ke presiden. Kartini semakin terkejut ketika mendengar kalimat yang diucapkan Bung Karno saat berhadap-hadapan dengannya.
“Kamu Kartini Manoppo? Wah aslinya lebih cantik dari lukisannya.”
Sejak itu, setiap si Bung Besar melakukan kunjungan ke luar negeri, Kartini selalu diikutsertakan sebagai pramugari.
Pada 1959, Indonesia akan mengirim utusan ke Pasific Festival di San Francisco, AS. Sukarno meminta Sekneg mengirim Kartini sebagai wakil Indonesia. Tentu saja pihak Sekretaris Negara (Sekneg) kelimpungan. Sebab saat itu Kartini sudah keluar dari Garuda.
“Apa tidak boleh diganti orang lain?” tanya Sekneg.
“Harus Kartini Manoppo yang berangkat,” tegas Sukarno.
Sebelum berangkat ke AS, Kartini diminta datang ke Istana. Di sana dia bertemu dengan Bung Karno yang habis mencukur rambut dan mengenakan piyama biru. Bung Karno memberi petunjuk apa saja yang mesti dilakukannya selama mengikuti festival. Pria karismatis ini juga berkata, “Di tangan kamu itu adalah Indonesia, kamu harus jadi wakil yang baik.” Kartini pun mengangguk.
Kemudian Bung Karno mengajaknya berbincang ke ruang tamu. Di ruangan tersebut tiba-tiba Bung Karno mengutarakan perasaan cintanya. Saking kagetnya, Kartini sampai gemetar. “Saya minta waktu, Pak,” jawab wanita kelahiran 1939 ini.
“Tidak,” kata si Bung Besar, “Sekarang juga saya minta kepastian darimu, ya atau tidak.”
Kartini bingung luar biasa. Ya atau tidak, ya atau tidak. Akhirnya Kartini menjawab, iya. Namun dia minta syarat, semua diperjelas menanti kepulangannya dari AS.
Sepulang dari AS, Kartini akhirnya menikah dengan Bung Karno. Namun keduanya tidak menikah secara resmi, hanya menikah siri. Sebab keluarga Kartini yang sangat terpandang awalnya tidak menyetujui. Pantang bagi mereka putri kesayangannya menjadi istri kelima, meski pria tersebut seorang presiden.
“Itulah kenapa saya tidak menikah secara resmi dengan Bung Karno,” ujar Kartini seperti dikutip dari buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, & Kebanggaanku.
Dari Kartini, Bung Karno mendapat seorang putra yang dinamainya Totok Suryawan Sukarnoputra. Anak tersebut lahir pada 17 Agustus 1967 di Nurenberg, Jerman.
Saat Kartini hamil, Bung Karno memang menyuruh istrinya tersebut melahirkan di Jerman. Sebab saat itu kondisi politik tidak kondusif, dan Bung Karno berada di akhir era kekuasaannya.
Sebenarnya Bung Karno melarang Kartini pulang ke Indonesia sampai dia memberikan lampu hijau. Namun karena rindunya terhadap Indonesia dan Bung Karno tak tertahankan, setelah anaknya lahir, Kartini nekat pulang ke Indonesia.
Si Cantik Sampai Rela Bunuh Diri
Salah satu istri Sukarno yang terkenal akan kecantikannya adalah Ratna Dewi Sukarno. Wanita bernama asli Naoko Nemoto ini sempat dianggap banyak orang memanfaatkan Bung Karno demi memperlancar bisnis para konglomerat Jepang. Namun, siapa sangka cinta Naoko ke Sang Putra Fajar begitu besar.
Naoko lahir di Tokyo 6 Februari 1940. Terpaut hampir empat dekade dengan Sukarno. Dia lahir dari keluarga miskin dan mengawali karier sebagai agen asuransi sebelum menjadi entertainer.
Pada 16 Juni 1959, Naoko mengisi acara di hotel Imperial, Tokyo, guna menyambut kedatangan tamu negara. Di sinilah dia pertama kali bertemu Bung Karno. Setelah pertemuan itu keduanya rutin saling berkirim surat cinta.
Setiap Sukarno berkunjung ke Jepang untuk membicarakan pampasan perang, dia selalu menemui Naoko.
Affair Bung Karno dengan Naoko ini mengkhawatirkan sejumlah pihak. Dalam salah satu bab yang ditulis oleh Julius Pour di buku Kisah Istimewa Bung Karno dikisahkan, ABRI sangat khawatir dengan kedekatan Bung Karno dengan Naoko.
“Secara politis dampaknya sangat merugikan. Tidak saja musuh pemerintah, masa itu Indonesia sedang melancarkan Konfrontasi Malaysia, mengambil kesempatan menjelek-jelekkan ‘nama’ dan kelakuan Bung Karno,” demikian salah satu narasi di buku tersebut.
Pimpinan ABRI lantas mengirim dua perwiranya, yakni Ahmad Yani dan Soenarso untuk menyusul Bung Karno yang kala itu tengah berada di Jepang menemui Naoko.
Setibanya di hotel tempat Sukarno menginap, Ahmad Yani, yang kelak menjadi Panglima TNI AD, sempat berdebat dengan Soenarso perihal siapa yang harus berbicara kepada Bung Karno dan mengajaknya pulang. Keduanya takut jika sang Presiden marah.
Akhirnya diputuskan Soenarso yang bicara. Dengan sedikit grogi Soenarso lalu berbicara kepada Bung Karno untuk segera pulang dan memutuskan tali asmaranya dengan Naoko.
Sebenarnya Soenarso sudah bersiap menerima kemurkaan sang presiden. Namun jawaban Bung Karno sungguh tak disangka. “Lha, cara untuk memutuskan (Nemoto) bagaimana?” tanya Sukarno.
“Gampang, Pak. Sekarang saja Bapak kembali ke Jakarta, tanpa memberitahu siapa pun, kecuali protokol pemerintah Jepang,” saran Soenarso. Nasihat itu langsung dijalankan Bung Karno. Sore itu juga, dia dan rombongannya terbang ke Jakarta.
Malam harinya, Naoko datang ke hotel. Dia sangat terkejut saat mengetahui Bung Karno sudah pulang. Perasaannya campur aduk. Antara sedih ditinggal kekasih dan harga diri yang terhina. Jalan pintas pun diambil. Naoko harakiri.
Untunglah nyawanya bisa diselamatkan oleh pihak hotel yang langsung membawanya ke rumah sakit. “Ketika berita bunuh diri tadi sampai di Jakarta, kami sendiri juga bingung, disampaikan tidak kepada Bung Karno,” kenang Soenarso yang mengakhiri karier militernya dengan pangkat mayor jenderal.
Kabar itu akhirnya sampai ke Bung Karno juga. Reaksinya bisa ditebak. Sukarno adalah pria yang bertanggung jawab. Merasa ada wanita yang sampai bunuh diri karenanya, dia langsung terbang ke Jepang tanpa mempedulikan nasihat apa pun.
Setelah peristiwa itu tak ada satu pihak pun yang bisa menghalangi jalinan cinta Bung Karno ke Naoko. Bung Karno akhirnya menikahi Naoko dengan hukum Islam pada 3 Maret 1962.
“Upacara perkawinan itu berlangsung sederhana, dengan mas kawin Rp. 5,-. Saya Ingat, yang mengawinkan kami waktu itu adalah Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Saya dinasehati untuk menjadi Islam yang baik, dan mau mempelajari setahap demi setahap,” ucap Naoko yang kemudian berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi Sukarno.
Pernikahan dengan Sukarno ibarat kebahagiaan tapi juga musibah bagi Naoko. Pada satu sisi dia bisa menikahi orang yang dicintainya. Pada sisi lain dia mesti kehilangan keluarganya di Jepang.
Kabarnya, ibu Naoko langsung terkena serangan jantung dan meninggal dunia begitu mendengar anaknya menikah dengan Sukarno dan berganti agama. Sementara kakaknya, usai sang ibu meninggal, bunuh diri dengan karena merasa nama keluarganya tercemar. Dia terhina karena adiknya menjadi “selir” dari presiden negara miskin seperti Indonesia.
Naoko memberi satu orang putri yang kemudian diberi nama Kartika Sukarnoputri.
Penariku, Kekasihku
Fatmawati meninggalkan Istana Negara. Hartini tinggal di di Istana Bogor. So, tidak ada wanita yang mendampingi Sukarno di Istana Negara.
Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Haryati, seorang penari istana sekaligus staf kesenian istana saat menerima ucapan cinta Bung Karno.
“Saat itu saya masih gadis dan cara berpikirnya belum matang. Saya melihat Bapak tidak punya pendamping di Istana Negara. Maka ketika Bapak mengajak saya sebagai pendampingnya, saya menerimanya,” kata Haryati seperti tertulis di buku Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, & Kebanggaanku.
Pada 21 Mei 1963 Sukarno yang sudah berumur 63 tahun menikahi Haryati yang baru menginjak 23. Haryati lalu dibelikan rumah di kawasan Slipi. Haryati mengaku menyukai Sukarno bukan karena jabatan. “Bung Karno tidak hanya romantis tapi juga mesra. Coba saja, nama saya Haryati tapi ditulisnya Yatie, ditambahi ‘e’ di belakang menunjukkan betapa mesranya dia kepadaku,” ungkap Haryati.
Bak disengat lebah, pada 1964 Haryati terkejut bukan main saat mendengar Sukarno punya istri lain selain Fatmawati dan Hartini. Istri lain itu bernama Ratna Sari Dewi. “Meski mereka sudah menikah pada 1962, 1961, atau pada 1959, saya baru mendengar nama Dewi pada 1964,” kata Hartini.
Dia marah besar dan hampir melabrak Dewi di rumahnya. Setelah itu hubungan Haryati dan Bung Karno mengalami pasang surut. Hingga akhirnya keduanya bercerai pada 1966.
Haryati mengaku bahwa dirinya bercerai dengan baik-baik. Hal itu didasarkan pada sebuah surat yang ditulis Bung Karno.
“Yatie, Kita bercerai bukan karena kau berbuat kesalahan, tapi memang tidak ada kecocokan di antara kita...”
Meski begitu, tetap saja ada yang bersuara miring terhadapnya. Mereka menganggap, Haryati minta cerai karena Bung Karno telah memasuki masa kejatuhannya.
Salah satu orang yang menganggap demikian adalah Ratna Sari Dewi. Tak heran ketika keduanya berjumpa di acara pemakaman Bung Karno, Dewi langsung “memaki-maki” Haryati. Buya Hamka yang memberikan khotbah di depan jenazah Sukarno sampai berkata, “Jadi, pada saat seseorang meninggal, seharusnya berbagai rasa permusuhan di sekitarnya juga tidak ada lagi.”
Si Bung Besar Terbakar Cemburu
Tahun 1962, Yurike Sanger baru saja duduk di kelas 1 SMA VII, Jakarta. Berwajah cantik, berkulit kuning langsat, dan mempunyai rambut panjang nan lebat. Dia terpilih sebagai menjadi anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika atau semacam tim pagar ayu di Istana Negara.
Kecantikan Yuri menggetarkan hati Sukarno. Dengan mata yang tajam Bung Karno memandangi Yuri.
“Banyak sekali pemuda yang jatuh cinta pada diri saya, tapi saya tidak menanggapi. Setelah saya bertatapan dengan Bung Karno, hati saya berdesir bagai diterjang gajah dan saya jatuh cinta kepadanya,” ungkap wanita kelahiran Manado, Sulawesi ini seperti tertulis di buku, Bung Karno! Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, & Kebanggaanku.
Pada 6 Agustus 1964 keduanya menikah secara sederhana, hanya dihadiri pihak keluarga dan Wakil Perdana Menteri, Chairul Saleh. Menikah dengan pria yang 45 tahun lebih tua tentu menjadi pergunjingan banyak orang, meskipun pria tersebut seorang presiden. Demikian pula yang dialami Yuri. Dia sering diejek oleh teman-teman sekolahnya.
Saat Yuri bercerita jika teman-temannya mengejek pernikahannya, Sukarno langsung memerintahkan agar Yurike keluar dari sekolahnya. Perintah Sukarno membuat Yuri kaget. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa karena itu adalah perintah presiden.
Setelah menikah, Yuri tinggal di rumah milik King Gwan, orang keturunan Tionghoa yang lari ke luar negeri karena terlibat korupsi. Hampir tiap hari Bung Karno mengunjungi Yuri, kecuali Jumat sampai Minggu. Sebab hari tersebut merupakan jadwal Bung Karno ke Bogor, menemui Hartini.
Pada 1965, Yuri hamil. Sayang kehamilannya bermasalah sehingga dia harus mengalami abortus. Dia dirawat di RS Yang Seng I (RS Husada).
Orang-orang rumah sakit tidak ada yang tahu bahwa Yuri adalah istri presiden. Mereka hanya mengetahui, Yuri adalah istri muda dari seorang pejabat penting.
Hingga pada suatu hari ada seorang dokter muda yang jatuh hati kepadanya. Sang dokter merasa kasihan karena selama dirawat Yuri tak pernah ditengok suaminya. Sebagai tanda cinta, dokter tersebut membelikan televisi 14 inci agar Yuri tidak merasa kesepian di kamar.
Sampai suatu hari datanglah Bung Karno yang tiba dari kunjungan luar negeri untuk menjenguk. Tiba-tiba perhatian Bung Karno tertuju ke televisi 14 inci yang ada di ruangan.
“Dari siapa televisi ini,” tanya Sukarno.
“Anu, Mas, dikasih orang. Biar sajalah,” jawab Yuri.
Kontan Bung Karno marah besar. “Jadi kamu terima dengan senang hati pemberian orang itu ya? Apa kamu pikir saya tidak bisa kasih perhatian sama istri sehingga kamu enak saja menerima perhatian dari orang lain yang bukan suamimu. Pokoknya, mulai besok televisi itu tidak boleh ada di ruangan ini lagi?’” murka Bung Karno.
Keesokan harinya, Bung Karno mengirim televisi berukuran 24 inci. Televisi 24 inci versus televisi 14 inci. Rupanya, Bung Karno punya rasa cemburu juga.
Yuri bingung. Dia ingin mengembalikan televisi 14 inci namun takut menyakiti perasaan si pemberi. Sementara jika tetap membiarkan televisi tersebut ada di ruangannya, dia takut Bung Karno tambah murka. Akhirnya diputuskan, televisi tersebut dimasukkan ke kolong tempat tidur saja.
Pada suatu kesempatan dokter muda itu kembali mengunjungi Yuri. Meski melihat televisi pemberiannya tidak ada lagi, sang dokter tidak marah. Dia malah memberi Yuri setumpuk majalah sebagai pengusir rasa sepi.
Sepeninggal dokter tersebut, Yuri membuka-buka majalah pemberiannya. Saat melihat halaman pertama majalah, tiba-tiba amarah Yuri meluap. Di sana terpampang gambar Bung Karno sedang bermesraan dengan Ratna Sari Dewi.
“Terus terang saya cemburu sekali. Rupanya dokter tersebut mau balas dendam,” kenang Yuri.
Tak lama kemudian, Bung Karno datang menjenguk. Si Bung Besar ini kaget bukan kepalang saat kedatangannya disambut Yuri dengan tangisan dan bantingan setumpuk majalah.
Namun, bukan Bung Karno namanya jika tak bisa menundukkan istrinya yang tengah merajuk. Tak berapa lama kemudian emosi Yuri mereda.
Konon, setelah kasus tersebut, si dokter muda tadi sempat dipanggil ke Istana Negara dan kemudian dipindah tugaskan ke rumah sakit yang lain.
Tari Lenso yang Melahirkan Cinta Terakhir
Heldy namanya, terlahir dengan kecantikan alami dan luwes dalam bergaul. Dia merupakan putri bungsu dari sembilan bersaudara anak-anak pasangan H. Djafar yang seorang pemborong terpandang di Tenggarong (Kalimantan) dan Hj. Hamiah, pada 10 Agustus 1947.
Suatu hari di tahun 1964, Heldy berdiri berjajar di tangga Istana Negara bersama anggota barisan Bhinneka Tunggal Ika. Dia mengenakan kebaya merah muda dengan kain lereng, berselendang, dan rambutnya disanggul hasil penataan Minot, kakak perempuannya. Hari itu Presiden akan menyambut tim bulutangkis yang baru merebut Piala Thomas.
Tibalah saatnya Bung Karno muncul dan berjalan menapaki anak tangga. Seperti biasa, ia berjalan sambil mengamati kiri dan kanan. Memandang satu demi satu anggota barisan, tersenyum, dan tepat di depan Heldy, Bung Karno mendekat dan menepuk bahu kirinya.
“Dari mana asal kamu?”
“Dari Kalimantan, Pak,” jawab Heldy kaget dan gemetar.
“Oh, aku kira dari Sunda. Rupanya ada orang Kalimantan cantik.”
Pertemuan kedua terjadi saat Heldy dan kawan-kawan mendadak diminta pihak sekolah menjadi barisan Bhinneka Tungga Ika ke Istana Bogor.
Seperti diceritakan di buku Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno (2011), ketika acara di Istana Bogor dimulai, Heldy mengambil posisi sudut. Tapi presiden malah memintanya mendekat. Mental Heldy langsung jatuh. Kesalahan apa lagi kali ini? Gadis 18 tahun itu melangkah pelan dengan kaki gemetaran.
“Ke mana saja kau, sudah lama tidak kelihatan?” Rupanya presiden memperhatikan.
“Sakit, Pak,” jawab Heldy dengan suara lirih tercekat.
“Bohong, kau pacaran. Saya lihat kau di Metropole sedang menonton film.”
“Tidak, Pak,” kali ini Heldy berani mengangkat muka. Tapi pertanyaaan bertubi-tubi mengubur kembali nyalinya. Heldy kembali tertunduk.
“Nanti kau lenso sama aku ya. Sini, kau duduk dekat aku,” kata Presiden.
Saat menari lenso pun tiba. Heldy yang untungnya sering diajari kakaknya menari lenso, tahu harus melakukan apa. Tapi berlenso dengan Presiden? Oh, tidak. Heldy menyambut uluran tangan Presiden. Dengan ragu dia memberikan telapak tangan kirinya yang dingin untuk digenggam Bung Karno, sementara dia harus meletakkan tangan kanannya di bahu kiri Bung Karno. Ia menunduk, membiarkan pinggang kecilnya dipeluk Bung Karno yang terus-menerus menatapnya.
“Siapa namamu?” tanya Bung Karno sambil berbisik.
“Heldy,” jawabnya pelahan.
“Sekolahmu?”
“Kelas dua SKKA.”
“Berapa umurmu?”
“Delapan belas tahun.”
“Hmm ... cukup.”
“Boleh aku datang ke rumahmu?”
Pikiran Heldy berkecamuk di tengah ketegangan. Keringat bercucuran, hatinya berdegup dalam gerakan tari lenso. Antara sadar dan tidak, Heldy mendengar suara banyak orang bernyanyi, Baju hijau siapa yang punya, baju hijau siapa yang punya/Baju hijau siapa yang punya, baju hijau Bapak yang punya.
Makin lama makin gaduh. Ternyata itu malah mengembalikan kesadaran Heldy. Matanya menyapu ruangan mencari-cari orang berbaju hijau. Baru ia sadar, ia satu-satunya yang berbaju hijau. Tapi apa makna ”Bapak yang punya”?
Sejak acara menari lenso, keadaan langsung berubah bagi Heldy. Dia sering diamati, juga ada anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan presiden, yang selalu menjaganya. Pada 12 Mei 1965, Bung Karno berkunjung ke rumah Erham (kakak Heldy) tempat Heldy tinggal di Jakarta. Sebelumnya sejumlah “orang Istana” datang. Mereka antara lain meminta agar ketika Presiden datang, lampu teras dimatikan.
Presiden datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Tanpa peci, celana panjang hitam, kemeja putih lengan pendek yang kancing atasnya terbuka, bahkan mengenakan sandal.
Bung Karno menyatakan ketertarikannya kepada Heldy, namun Heldy merasa masih terlalu muda. Heldy meminta agar Bung Karno memilih perempuan lain saja. Tapi Bung Karno tidak marah. Dia tersenyum saja dan memberikan sebuah bungkusan kecil. Isinya jam tangan Rolex.
“Dik, kau tahu. Kau tidak pernah mencari aku, aku juga tidak mencari engkau. Tapi Allah sudah mempertemukan kita.” Bung Karno selalu memanggil Heldy dengan sebutan Dik, dan belakangan ia juga menolak Heldy memanggil Pak. Dia ingin Heldy memanggilnya Mas. Terus menerus didekati, hati Heldy luluh juga. Dia akhirnya menerima ajakan Bung Karno untuk menjadi kekasihnya. Setelah setahun berpacaran, pada 11 Juni 1966 keduanya memutuskan menikah.
Berita bahagia segera dikabarkan ke Kalimantan. Ayah Heldy yang bersuka cita bergegas ke Jakarta. Sayang, baru sampai di Samarinda dadanya sakit dan ia dibawa kembali ke Tenggarong. Sehari sebelum akad nikah putrinya, H. Djafar meninggal dunia karena serangan jantung.
Heldy merupakan wanita terakhir yang dinikahi Bung Karno. Hingga meninggal dunia pada 1970, Bung Karno tak pernah menikah lagi. Sayang perkawinan Heldy dan Bung Karno tidak langgeng. Karena kondisi politik yang semakin panas sehingga susah bagi Heldy berkumpul dengan Bung Karno, pada 1967 keduanya bercerai. Setahun kemudian atau pada 19 Juni 1968 Heldy, dalam usia menjelang 21 tahun, Heldy menikah lagi Gusti Suriansyah Noor, seorang pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
Dari pernikahan dengan Gusti Suriansyah Noor, Heldy dikaruniai enam anak. Anak kedua, Gusti Maya Firanti Noor, kemudian diperistri Haryo Wibowo Harjoyudanto alias Ari Sigit, cucu Presiden (saat itu) Soeharto.