Advertorial
Intisari-Online.com -Lemahnya agen rahasia CIA tidak hanya terjadi dalam negeri AS seperti lolosnya penembak brutal Stephen Paddock yang menciptakan pembunuhan massal di Las Vegas (2/10) tapi juga di luar negeri.
Salah satu lemahnya kinerja agen CIA di luar negeri adalah tak berdayanya pasukan AS di perbatasan Afganistan-Pakistan dalam misi sebuah misi tempur.
Agen-agen itu menjadi lemah dan keteteran karena mereka tidak disiapkan untuk terjun ke medan pertempuran dalam jangka panjang.
(Baca juga:Kasihan, Nenek 106 Tahun dari Afganistan Ini Tengah Menghadapi Ancaman Deportasi dari Pemerintah Swedia)
Pada Oktober 2001, pasukan AS dibantu para sekutunya seperti Inggris, Kanada, dan sejumlah negara NATO melancarkan serangan besar-besaran dan berhasil menumbangkan pemerintahan Taliban.
Namun gerilyawan Taliban dan kelompok Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden terus melanjutkan perlawanan di gunung-gunung hingga saat ini.
Mereka bahkan punya basis yang aman (save haven) di perbatasan Pakistan-Afganistan yang secara hukum dikuasai oleh suku-suku setempat.
Para agen CIA yang diterjunkan menjadi ujung tombak untuk meringkus tokoh teroris yang paling mereka cari, Osama Bin Laden dan para stafnya. Misi berat yang dipikul CIA itu, kemudian meluas menjadi perang melawan aksi teror di seluruh dunia.
Para agen CIA yang pertama kali dikirim ke Afganistan adalah pasukan paramiliter Special Operation Group (SOG) yang merupakan bagian dari divisi elite Special Activities Division (SAD).
Tugas utama paramiliter CIA adalah bekerja sama dengan suku-suku di Afganistan utara dan menyiapkan logistik serta jaringan operasi bagi pasukan khusus AS.
Agen CIA, Special Forces, dan para pejuang Afganistan utara pada awalnya memang memiliki tugas utama meringkus kelompok Al-Qaeda tanpa harus menurunkan pasukan koalisi.
Namun karena Taliban menolak untuk menyerahkan Osama Bin Laden serangan militer pun dilancarkan. Kini semua kekuatan militer pasukan koalisi dan CIA melanjutkan misi berikutnya menghancurkan kelompok Al-Qaeda.
Tim SOG, yang merupakan binaan Direktur CIA, George Tenet, hanya bertugas khusus memburu teroris dengan kekuatan sekitar 150 orang.
Personel SOG mirip anggota Private Military Contractor (PMC) karena berasal dari orang-orang yang berpengalaman tempur seperti mantan anggota Special Forces, Delta Force dan Navy Seal.
Selain beranggota personel yang memiliki profesionalisme tinggi dalam dunia militer, SOG juga beranggota sejumlah pilot bahkan disediakan oleh AU AS dan sebagian lainnya merupakan pilot sewaan dari Rusia. Khususnya pilot helikopter transpor yang merupakan veteran perang Soviet-Afganistan.
(Baca juga:Berkebalikan dengan Donald Trump, CIA Sebut Kim Jong-un sebagai Presiden yang Waras)
Upaya CIA untuk menghancurkan dan menangkap Osama ternyata tidak mudah. Korban justru makin banyak berjatuhan baik dari militer AS maupun anggota CIA.
Hampir 2.000 tentara koalisi tewas selama beroperasi di Afganistan, sementara korban jiwa agen CIA sudah mencapai lusinan orang.
Korban agen CIA yang tewas dalam jumlah cukup besar akibat serangan bom bunuh diri terjadi pada Desember 2009.
Saat itu sebanyak delapan agen CIA tewas ketika markas mereka yang berada di perbatasan Afganistan-Pakistan, Khost, diserang oleh seorang pengebom bunuh diri yang kemudian diketahui sebagai agen ganda.
Kehilangan lusinan orang di Afganistan bagi CIA merupakan hal yang sangat serius. Karena untuk mengganti orang-orang yang paham Afganistan termasuk menguasai bahasa lokal sangat sulit.
Untuk melancarkan tugas-tugasnya di Afganistan yang dari hari ke hari makin rumit, para petinggi CIA menyiapkan strategi baru.
Strategi yang dirangkum dalam CIA’s Afghan Task Force itu antara lain, pertama, memperbaiki hubungan baik dengan suku-suku Afganistan yang pernah bekerja sama khususnya para kolaborator semasa perang Soviet-Afganistan.
Kedua, memaksimal kerja sama dengan satuan-satuan Special Forces dan memanfaatkan back up dari AU AS.
Ketiga mempersiapkan pemimpin-pemimpin suku yang kooperatif untuk mengantisipasi tumbangnya pemerintahan Hamid Karzai. Jadi saat kekuatan di Afganistan vakum, CIA masih mempunyai hubungan yang dapat diandalkan dengan kepala suku binaan itu.
Keempat, terus membangun relasi dengan tokoh di daerah yang menjadi medan operasi CIA, terutama kawasan yang menerima baik kehadiran agen CIA dan mereka masih bisa bekerja secara leluasa.
(Baca juga:Penembakan Las Vegas Buktikan Intelijen AS Lemah Menghadapi Teror dalam Negeri)
Kelima, terus memantau kerja sama dengan kepala suku yang mudah menerima uang dan sanggup menggerakkan kekuatan untuk pertempuran dalam skala besar.
Keenam, tetap mengandalkan pesawat pengintai tanpa awak, UAV Predator dan bukannya paramiliter atau pasukan bayaran untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa.
Strategi CIA untuk mengoperasikan UAV terinspirasi oleh keberhasilan NATO ketika melaksanakan misi tempur di Serbia. Data UAV yang saat itu diterbangkan di Serbia bisa dikirim dan dimonitor langsung dari markas CIA di Creech Airbase. Nevada atau Langley, Virginia, AS.
Ketika dioperasikan CIA di Afganistan pada awal 2001, Predator mulai dimodifikasi untuk dipersenjatai. Proyek mempersenjatai Predator dengan rudal AGM-114 Hellfire ternyata berhasil, demikian juga saat dilakukan uji coba untuk menghancurkan konvoi kendaraan SUV.
CIA mengoperasikan UAV bersenjata antara 2001-2002 di Afganistan, khususnya ketika pasukan AS melancarkan Operation Enduring Freedom, Predator yang dikerahkan CIA mulai memakan korbannya seperti tokoh Al-Qaeda nomor tiga di kawasan Afganistan utara, Mohammad Atef.
Selama 2002 , CIA telah menggunakan predator untuk memonitor 150 lokasi yang dicurigai sebagai tempat pelatihan Al-Qaeda dan para pejuang Taliban.
Untuk menghancurkan sasaran dengan UAV, biasanya CIA menyusupkan agen bayaran yang bertugas menaruh chip pemandu rudal Hellfire ke titik target sehingga sasaran dipastikan tidak akan meleset.
(Baca juga:Pertempuran Little Big Horn, Perang Brutal yang Berakibat Terbantainya Ratusan Pasukan AS oleh Prajurit)
UAV yang dioperasikan CIA untuk memonitor kawasan perbatasan Afganistan-Pakistan biasanya ditrrbangkan dari pangkalan UAV CIA berbasis di Jacobabad, Pakistan barat.
Hingga saat ini UAV bersenjata tetap menjadi andalan CIA untuk memburu anggota Al-Qaeda yang bersembunyi di perbatasan Afganistan-Pakistan yang dikuasai suku pedalaman dan cenderung tidak mengenal hukum.
Namun operasi CIA menggunakan predator ternyata berefek buruk hingga mengundang kecaman internasional karena banyaknya warga sipil yang turut menjadi korban.
Kecaman bahkan muncul dari dalam negeri, lembaga yang selama ini pro militer yaitu Center for New American Security (CNAS). Lembaga ini mengkritik kebijakan administrasi Obama yang dilukiskan “sama sekali tak menggubris korban sipil” demi terbunuhnya para tokoh Al-Qaeda.
Singkat kata pemakaian sejumlah predator di sejumlah medan perang telah dimanfaatkan oleh oposisi AS untuk menyerang kebijakan Obama.
Selama CIA mengoperasikan UAV di Afganistan hingga 2009, setidaknya lebih dari 600 penduduk sipil telah menjadi korban dan puluhan di antaranya adalah warga Pakistan.
Sementara petinggi Al-Qaeda yang berhasil dihabisi dengan Predator baru sembilan orang dari jumlah totl tokoh Al-Qaeda yang terus diburu sebanyak 20 orang.
Sedangkn jumlah total pengikut Al-Qaeda yang berhasil dibunuh menurut versi Pentagon sudah lebih dari 3.000 orang.
Salah satu taktik CIA bisa mendapatkan sasaran yang akurat adalah bekerja sama dengan agen rahasia Pakistan.
Agen Pakistan yang dibayar CIA itu bertugas menaruh chip pemandu Predator di rumah atau lingkungan tokoh Al-Qaeda yang sedang diburu.
Namun para agen Pakistan yang bekerja demi uang itu kadang tidak memperdulikan lingkungan tempat tinggal tokoh Al-Qaeda yang sedang diincar.
Jika lingkungan sekitar target yang jadi sasaran merupakan perumahan padat penduduk, warga yang sebenarnya tidak suka berperang itu akhirnya turut jadi korban.
(Baca juga:Sofyan Tsauri, Eks Anggota Al-Qaeda yang Mengaku Pernah Sengaja Ditabrak Anggota Densus 88 di Pasar Rebo)
Di sisi lain, banyaknya warga sipil yang menjadi korban Predator membuat sanak-saudara marah dan kemudian bertekad melakukan balas dendam.
Cara balas dendam yang efektif adalah tidak mau membantu sama sekali agen CIA di daerah perbatasan atau malah melaksanakan langkah ekstrem, yakni bergabung dengan kelompok Al-Qaeda.
Indikasi bertambahnya anggota Al-Qaeda atau Taliban bahkan sudah tampak, yakni banyaknya anggota anggota Al-Qaeda atau Thaliban Pakistan yang kerap melancarkan serangan di daerah perkotaan.
Munculnya Thaliban Pakistan menjadi masalah tersendiri bagi militer AS dan CIA apalagi pejuang Thaliban Pakistan telah membuat militer Pakistan tak berdaya. Guna menghadapi aksi Thaliban-Pakistan itu militer AS dan CIA harus bekerja superkeras.
Tindakan represif sesungguhnya tidak lagi mempan diterapkan kepada para pejuang Taliban dan Al Qaeda yang telah kenyang pertempuran dan umumnya menganggap kematian di dalam perang sebagai jalan terbaik menuju kemuliaan.
Prinsip jihad yang dianut Taliban bukan hanya membuat mereka kebal terhadap tindakan represif tapi juga menyebabkan mereka saling berlomba untuk menjadi martir.
Dalam perkembangan terkini militer AS justru dibuat frustasi karena Taliban dan Al-Qaeda tak bisa dikalahkan. Untuk menangkap Hekmatyar, pendukung Taliban yang dulu pernah jadi rekanan, CIA ternyata selalu gagal.
Runyamnya misi tempur pasukan AS di Afganistan bahkan ditandai dengan dicopotnya Panglima NATO asal AS, Jendral Stanley Mc Chrystal dan isu segera ditarik mundurnya pasukan AS dari Afganistan.
Militer AS memang masih tetap mengandalkan peran agen CIA sehingga jumlah agen yang diturunkan di Afganistan ditambah lagi sebanyak 700 personel. Ratusan tenaga CIA itu terdiri dari tim mata-mata, analisis dan paramiliter, serta unsur-unsur terkait lainnya.
Pada intinya apapun strategi yang diterapkan CIA di Afganistan hanya memiliki satu target.
Ratusan agen CIA yang diturunkan diharapkan mampu menembak mati musuh sebelum musuh itu sempat meledakkan bom khususnya bom yang melilit ditubuhnya.
Bertambahnya personel CIA yang juga dibarengi dengan bertambahnya anggota Al-Qaeda dan Thaliban, jelas membuat perang di Afganistan makin berkepanjangan dan menyulitkan.
Dalam operasi rahasia CIA yang didukung oleh pasukan khusus AS, Osama Bin Laden akhirnya memang bisa tertangkap dan ditembak mati di Pakistan pada bulan Juni 2011.
Namun, terbunuhnya Osama Bin Laden ternyata tidak menghentikan aksi teror dan perlawanan pejuang Taliban terhadap sasaran militer AS baik yang berada di Afganistan maupun Pakistan.
Perang melawan teror pun makin berkepanjangan dan diwarnai oleh makin banyaknya pasukan AS yang gugur secara sia-sia. Bayangan kekalahan telak militer AS seperti di Vietnam pun makin dekat di pelupuk mata.
Jika kekalahan yang ditandai penarikan mundur pasukan AS dari Afganistan itu akhirnya terjadi, militer AS benar-benar telah kehilangan pamornya sebagai negara adidaya yang selalu berperan sebagai polisi dunia.
Apalagi ketika berlagsung teror di dalam negeri sendiri, seperti aksi penembakkan brutal yang kerap terjadi di AS, para agen CIA dan FBI juga tidak berdaya untuk melakukan penangkalan.