Curahan Hati Istri Slamet Gundul: Yang Jahat Suami Saya, Bukan Saya, dan Saya akan Setia Menunggunya!

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Inilah Kisah Marni istri Slamet Gundul, penjahat kelas kakap spesialis nasabah bank yang dikenal licin bagai belut (Tabloid NOVA)
Inilah Kisah Marni istri Slamet Gundul, penjahat kelas kakap spesialis nasabah bank yang dikenal licin bagai belut (Tabloid NOVA)

Ini adalah curahat hati Marni, istri Slamet Gundul si perampok kelas kakap yang dikenal licin, yang tayang di Tabloid NOVA pada Agustus 1991 lalu.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -"Dia itu itu sangat romantis. Tak pernah sekalipun berlaku bengis," kata Marni (30), istri Slamet Gundul (34), penjahat kaliber kakap yang 11Juli lalu berhasil diringkus polisi.

Marni yang bertubuh kurus, mengakutak tahu-menahu perihal kejahatan suaminya. Makanya dia jadi risih dikejar-kejar wartawan dan ditanyai macam-macam. Apalagi dituduh bersembunyi sekaligus menyimpan barang jarahan Slamet. Keluh kesahnya di bawah ini, diceritakan pada NOVA yang pada awal Agustus 1991.

===

"Orang boleh menuduhku apa saja. Tapi sungguh, meski statusku istri Slamet Gundul, aku tak pernah menikmati apalagi menyimpan barang hasil jarahan Mas Slamet. Bahkan Mas Slamet itu penjahat besar, baru kutahu setelah orang ramai membicarakannya. Kata mereka, 'Slamet Gundul penjahat besar berhasil ditangkap!'

Seiring dengan itu, berita-berita tentang Mas Slamet pun bermunculan di koran-koran. Namaku pun ikut-ikutan muncul di koran, Rasanya sungguh tak enak jadi sorotan masyarakat. Karena itulah aku mengungsi ke rumah kakak di Surabaya. Dari situ, aku 'mengungsi' lagi ke rumah, Gito, kakak iparku, di Desa Ngaglik, Malang. Bukan, bukan karena mau sembunyi, menikmati hasil curian atau apa. Meski memang selama Mas Slamet ditahan di Surabaya, aku cuma menengoknya beberapa kali.

Di rumah Kakak di Surabaya, aku bantu-bantu di bengkel milik Kakak untuk sekadar mendapat uang biaya makan dua anakku, Ganang Suryadi yang kini berusia 2,5 tahun serta Sofia Indah yang baru berhenti minum ASI. Kalau tidak begitu, dari mana aku dapat uang? Memang ada sejumlah tetangga yang masih berbaik hati dan mau mengerti nasib buruk yang tengah menimpa diriku. Mereka memberi aku dan dua anakku makanan. Tapi tak mungkin kan aku mengharapkan bantuan mereka setiap hari?

Memang bisa kumengerti kalau orang punya prasangka seperti itu. Dan kalaupun benar Mas Slamet itu suka merampok dan hasilnya jutaan rupiah, aku pun tak tahu, ke mana larinya uang sebanyak itu. Soalnya, selama enam tahun menjadi istrinya, Mas Slamet tak pernah memberi uang belanja lebih dari Rp300 ribu. Itu pun kadang diberikannya dua bulan sekali.

Pulang ke Semarang

Sekali lagi, orang boleh menduga, menuduh atau berprasangka apa saja. Tapi aku memang tak pemah tahu bahwa suamiku sudah lama menjadi buronan pihak berwajib. Bahwa dia pernah berbuat jahat, aku tahu. Tapi tidak sehebat seperti yang kutahu sekarang ini.

Kejahatannya itu, kuketahui di suatu hari di tahun 1987. Waktu itu terbetik kabar, Mas Slamet kabur dari penjara Cipinang, Jakarta. Padahal saat itu dia harus menjalani hukuman dua tahun penjara karena terbukti melakukan penodongan di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Sebagai istrinya, tentu saja aku sedih bukan kepalang menghadapi kenyataan bersuamikan seorang penodong. Tapi mungkin memang itulah gurat nasibku.

Cuma yang membuatku kesal kala itu, aku langsung dibawa petugas begitu Mas Slamet lari dari penjara. Dua malam aku sempat menginap di kantor polisi, ditanyai bermacam hal. Lelah sekali. Padahal waktu itu aku tengah hamil muda. Baru setelah para petugas merasa yakin bahwa aku tak tahu apa-apa dan tak tahu di mana Mas Slamet sembunyi, aku pun diperbolehkan pulang.

Bukan diizinkan pulang saja, tapi aku pun diantar petugas ke Barutikung, Semarang Utara, ke rumah orangtuaku. Aku setuju saja dipulangkan ke sana. Kupikir, toh percuma tinggal di Jakarta karena Mas Slamet tak berada di sisiku. Apalagi waktu itu aku tak punya pekerjaan apa-apa. Nah, kalau melahirkan, mau diberi makan apa anakku itu?

Surat Pengamen

Hanya beberapa hari menghirup udara Barutikung, suatu hari saat sedang duduk-duduk di muka rumah, tiba-tiba kulihat seorang pria yang memakai topi lebar dan menenteng gitar, melintas di gang dekat rumah ibuku. Aku ingat betul, hari itu hari Jumat, sekitar jam 14.00. 'Ah, paling-paling tukang ngamen,' pikirku. Tapi gelagatnya kok aneh. Dan makin aneh lagi karena bukannya menyanyi, dia malah melempar secarik kertas ketika berlalu di depanku.

Penasaran, kuambil kertas yang dilemparnya. Cepat-cepat kubaca isi surat itu. 'Segera temui saya di Tanjung Mas. Datang sendirian dan jangan bilang siapa-siapa!' Jantungku langsung berdetak cepat. Tak salah lagi, laki-laki tadi adalah Mas Slamet, suamiku yang menyamar sebagai pengamen.

Ke Tanjung Mas? Sejenak aku bimbang. Jangan-jangan pengamen itu cuma iseng dan dia bukan Mas Slamet. Tapi nurani ini tak mudah dikelabui. Hati kecilku berbisik, dia memang Mas Slamet, suamiku. Seketika itu juga, tanpa pamit pada orang rumah, aku langsung bergegas menuju Tanjung Mas.

Benar saja, di tempat yang telah disebutkan di suratnya itu, Mas Slamet sudah menunggu kedatanganku. Begitu melihat wajahnya, aku langsung saja ingin mengeluarkan semua uneg-uneg dan kekesalanku karena harus menginap di kantor polisi gara-gara ulahnya kabur dari penjara.

'Sst, jangan banyak bicara dulu! Sekarang segeralah kamu kembali ke rumah, ambil bajumu dan bajuku. Tak usah banyak-banyak, secukupnya saja untuk salin.' Belum sempat lagi membuka mulut untuk bertanya, Mas Slamet langsung memotong, 'Sudah, nanti kuceritakan segalanya. Sekarang segera kembali ke rumah lalu ke sini lagi. Aku tunggu!'

Seperti kena sihir, aku menuruti kata-kata suamiku. Sampai di rumah, sambil mengendap-endap takut ketahuan orang rumah, kubereskan baju-bajuku juga baju Mas Slamet. Sekejap kemudian, aku sudah berada di Tanjung Mas lagi lalu berangkat ke Surabaya dengan bus bersama Mas Slamet.

Di Surabaya, aku langsung dibawanya ke daerah Kupang. Rupanya di situ Mas Slamet mengontrak sebuah rumah kecil.

Masa bahagia

Seperti halnya saat tinggal di Jakarta, kali ini pun Mas Slamet jarang berada di rumah. Kesal dan sebal rasanya menanti kepulangan Mas Slamet. Maklum, sebagai istri, apalagi sedang mengandung anak pertama, inginnya kan selalu didampingi suami. Sering, karena kesal, aku marah-marah jika ia pulang. 'Sabar Marni, aku kan harus cari uang. Sebagai kontraktor bangunan, aku memang harus sering pergi ke luar kota,' begitu jawab Mas Slamet.

Tentu saja aku tak percaya 100 persen pada jawabannya. Ya, bagaimana mau percaya sementara kedok jahatnya sudah pernah terbuka? Tapi anehnya dia begitu pandai meyakinkan diriku, bahwa kepergiannya memang betul-betul demi kepentingan pekerjaannya sebagai kontraktor. Mas Slamet juga selalu bilang, 'Aku sudah kapok jadi orang jahat. Percayalah! Aku sudah tobat. Sumpah!'

Ucapannya itu juga diperkuat oleh tingkah lakunya. Mas Slamet jadi begitu manis sikapnya. Bahkan entah mengapa, suamiku bertambah-tambah saja sikap romantisnya. Ada-ada saja hadiah yang diberikannya padaku, persis seperti saat kami pacaran dulu. Kalau aku mengeluh pegal, maklum kandunganku waktu itu makin membesar, Mas Slamet langsung memijiti tubuhku. Nah, istri mana yang tak luluh dengan perlakuan manis macam itu? Aku pun jadi yakin, ia sudah bertobat.

Aku pun tak lagi kesal dan marah-marah padanya meski ia tak nadir saat melangsungkan acara mitoni (tujuh bulanan, Red). Aku juga tak sedih meski acara itu diadakan di rumah sobatnya, Mas Kenthut. Dan kendati kami tak pernah saling berkabar, Mas Slamet ada di sampingku saat aku melahirkan Ganang, putra pertama kami.

Kelahiran Ganang membawa kecerahan pada kehidupan rumah tanggaku. Mas Slamet jadi lebih sering tinggal di rumah. Dia begitu sayang dan sangat memanjakan Ganang. Apa saja yang diminta anaknya itu, pasti dipenuhinya. Kalau aku melaporkan kenakalan Ganang, Mas Slamet malah bilang, 'Biar sajalah! Kalau tidak nakal, bukan anak lelaki namanya!' Dia memang terlalu memanjakan Ganang.

Kehidupan ini rasanya makin indah setelah setahun kemudian aku melahirkan anak kedua. Kali ini kami mendapat bayi perempuan yang oleh Mas Slamet diberi nama Sofia Indah. Begitu bahagianya hati ini hingga aku kemudian menggunakan seluruh uang tabunganku untuk membelikan Sofia dan Ganang masing-masing seuntai kalung emas.

Firasat Sofia

Roda kehidupan terus berputar. Dua anakku tumbuh sehat dan lucu. Mas Slamet, seperti biasa, tidak setiap hari berada di antara kami. Entah karena sudah terlalu biasa atau karena sudah begitu yakin bahwa ia sudah tak lagi berbuat jahat, aku tak pernah merisaukan kepergiannya.

Hingga suatu hari, Sofia menangis tiada henti. Kupikir anak ini sakit. Tapi ketika kuraba tubuhnya, suhunya biasa-biasa saja. Aneh. Tidak biasanya Sofia berperangai seperti itu. Baru kali ini ia begitu gelisah, terus-terusan menangis tanpa sebab. Kubujuk sedemikian rupa, anak itu tetap saja menangis.

Baru kutahu belakangan, tangis Sofia itu adalah isyarat perpisahannya dengan ayahnya. Karena pada hari itu juga, Mas Slamet ditangkap polisi saat dia tengah berjalan menuju rumah kami. Aku mendapat berita tentang penangkapan Mas Slamet dari Ketua RT. 'Suamimu ditangkap polisi. Saya tidak tahu apa sebabnya,' begitu kata Pak RT.

Aku yang saat itu tengah menenangkan Sofia, terperanjat bukan kepalang. Mas Slamet ditangkap? Di tengah kebingungan itu, datang petugas polisi. 'Suami Ibu kami amankan karena telah merampok. Tapi Ibu tidak perlu sedih. Suatu saat Ibu akan kami jemput untuk kami pertemukan dengan suami Ibu.'

Sejenak kaki ini rasanya tidak memijak bumi. Terngiang lagi sumpah Mas Slamet bahwa dia kapok dan akan bertobat. Ternyata semua itu cuma sumpah palsu. Suamiku tetap melakukan kejahatan. Sepintas terbayang wajah dua anakku yang masih bocah. Bagaimana nasib mereka jika ayahnya dipenjara? Berapa lama mereka tak bisa serumah dengan ayahnya?

Bukti kesetiaan

Berhari-hari mendung tebal menggelayut seperti tak akan pernah berlalu. Tapi lalu aku sadar. Kesedihan ini tak boleh berlarut-larut. Ganang dan Sofia harus makan dan untuk itu aku perlu uang. Karena itu aku harus bekerja. Tak kupedulikan lagi cemoohan dan tatapan sinis para tetangga. 'Istri perampok,' begitu bisik-bisik mereka setiap aku lewat.

Malu? Tentu saja. Tapi mau apa lagi karena memang demikian kenyataannya. Toh tak semua orang membenciku. Masih ada tetangga yang mau mengulurkan bantuan, memberi uang belanja. Sejumlah petugas pun memberiku uang untuk ongkos pulang saat aku menengok Mas Slamet. Aku bersyukur karena ternyata masih ada yang memahami, yang jahat adalah suamiku, bukan aku.

Kini sudah kuputuskan untuk kembali tinggal bersama Ibu. Bahkan Mas Slamet pun setuju. Ibu juga dengan senang hati berjanji mau mengurus cucu-cucunya. Di sini aku berusaha mendapatkan ketenangan juga penghasilan. Ibu mulai mengajarku berjualan. Hasilnya memang tak seberapa, tapi cukuplah untuk memberi makan dua anakku. Sebagian keuntungan kusisihkan. Siapa tahu bisa kujadikan modal sesuai rencanaku untuk membuka waning.

Hanya kadang aku sedih diperlakukan agak tak enak. Misalnya ada aparat desa setempat yang "curiga" padaku. Mungkin memang inilah risiko menjadi istri penjahat meski saya sendiri bukan penjahat. Tapi, meskipun Mas Slamet penjahat dan bakal dihukum lama, aku sudah berbulat tekad: menunggunya sampai kapan pun.

Jika suamiku dijatuhi hukuman mati? Percayalah, aku tak akan pernah kawin lagi! Sepanjang perkawinan kami, dia sudah membuktikan kesetiaannya. Aku pun ingin membuktikan hal yang sama. Kini dia tengah menderita. Aku pun harus ikut turut merasakan penderitaannya!"

===

Itulah curahan hati Marni, istri Slamet Gundul, yang menyayat hati. Dengan tegas dia bilang, yang jahat adalah suaminya, dia tidak. Dia juga tak pernah berpikir untuk meninggalkan sang suami yang ketika itu mendekam di balik jeruji besi.

Artikel Terkait