Advertorial

CIA Berhasil Bunuh Dalang Serangan 9/11 Bukan karena Kemampuan Tempurnya tapi Gara-gara Teknologi Ini

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com - Sebagai tokoh yang diyakini sebagai dalang serangan teror di New York AS (11/9/2001), Osama Bin Laden kemudian terus diburu untuk ditangkap hidup atau mati.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menangkap Osama sehingga baik militer AS maupun CIA sempat mengalami frustasi karena Osama ternyata tidak mudah ditemukan.

CIA sendiri baru mulai mendapatkan solusi untuk menangkap Osama dan pendukungya setelah mengerahkan pesawat tanpa awak, Unmanned Aerial Vehicle (UAV) Predator yang dilengkapi persenjataan mematikan.

Strategi CIA untuk mengoperasikan UAV terinspirasi oleh keberhasilan NATO ketika melaksanakan misi tempur di Serbia.

Data UAV yang saat itu diterbangkan di Serbia bisa dikirim dan dimonitor langsung dari markas CIA di Creech Airbase. Nevada atau Langley, Virginia, AS.

Ketika dioperasikan CIA di Afghanistan pada awal 2001, Predator mulai dimodifikasi untuk dipersenjatai.

Proyek mempersenjatai Predator dengan rudal AGM-114 Hellfire ternyata berhasil, demikian juga saat dilakukan uji coba untuk menghancurkan konvoi kendaraan SUV.

CIA mengoperasikan UAV bersenjata antara 2001-2002 di Afghanistan, khususnya ketika pasukan AS melancarkan Operation Enduring Freedom, Predator yang dikerahkan CIA mulai memakan korbannya seperti tokoh Al-Qaeda nomor tiga di kawasan Afghanistan utara, Mohammad Atef.

Selama 2002, CIA telah menggunakan predator untuk memonitor 150 lokasi yang dicurigai sebagai tempat pelatihan Al-Qaeda dan para pejuang Taliban.

Untuk menghancurkan sasaran dengan UAV, biasanya CIA menyusupkan agen bayaran yang bertugas menaruh chip pemandu rudal Hellfire ke titik target sehingga sasaran dipastikan tidak akan meleset.

UAV yang dioperasikan CIA untuk memonitor kawasan perbatasan Afghanistan-Pakistan biasanya ditrbangkan dari pangkalan UAV CIA berbasis di Jacobabad, Pakistan barat.

Hingga saat ini UAV bersenjata tetap menjadi andalan CIA untuk memburu anggota Al-Qaeda yang bersembunyi di perbatasan Afghanistan-Pakistan yang dikuasai suku pedalaman dan cenderung tidak mengenal hukum.

Namun operasi CIA menggunakan predator ternyata berefek buruk hingga mengundang kecaman internasional karena banyaknya warga sipil yang turut menjadi korban.

Kecaman bahkan muncul dari dalam negeri, seperti kecaman dari lembaga yang selama ini pro militer yaitu Center for New American Security (CNAS).

Lembaga ini mengkritik kebijakan administrasi di era Presiden Barrack Obama yang dilukiskan “sama sekali tak menggubris korban sipil” demi terbunuhnya para tokoh Al-Qaeda.

Singkat kata pemakaian sejumlah predator di sejumlah medan perang telah dimanfaatkan oleh oposisi AS untuk menyerang kebijakan Obama.

Selama CIA mengoperasikan UAV di Afghanistan hingga 2009, sedikitnya lebih dari 600 penduduk sipil telah menjadi korban dan puluhan di antaranya adalah warga Pakistan.

Sementara petinggi Al-Qaeda yang berhasil dihabisi (hingga 2009) dengan Predator baru sembilan orang dari jumlah total tokoh Al-Qaeda yang terus diburu sebanyak 20 orang.

Sedangkan jumlah total pengikut Al-Qaeda yang berhasil dibunuh menurut versi Pentagon sudah lebih dari 3.000 orang.

Salah satu taktik CIA bisa mendapatkan sasaran yang akurat adalah bekerja sama dengan agen rahasia Pakistan.

Agen Pakistan yang dibayar CIA itu bertugas menaruh chip pemandu Predator di rumah atau lingkungan tokoh Al-Qaeda yang sedang diburu.

Namun para agen Pakistan yang bekerja demi uang itu kadang tidak memperdulikan lingkungan tempat tinggal tokoh Al-Qaeda yang sedang diincar.

Jika lingkungan sekitar target yang jadi sasaran merupakan perumahan padat penduduk, warga yang sebenarnya tidak suka berperang itu akhirnya turut jadi korban.

Di sisi lain, banyaknya warga sipil yang menjadi korban Predator membuat sanak-saudara marah dan kemudian bertekad melakukan balas dendam.

Cara balas dendam yang efektif adalah tidak mau membantu sama sekali agen CIA di daerah perbatasan atau malah melaksanakan langkah ekstrem, yakni bergabung dengan kelompok Al-Qaeda.

Indikasi bertambahnya anggota Al-Qaeda atau Taliban bahkan sudah tampak, yakni banyaknya anggota anggota Al-Qaeda atau Thaliban Pakistan yang kerap melancarkan serangan di daerah perkotaan.

Munculnya Thaliban Pakistan menjadi masalah tersendiri bagi militer AS dan CIA apalagi pejuang Thaliban Pakistan telah membuat militer Pakistan tak berdaya. Guna menghadapi aksi Thaliban-Pakistan itu militer AS dan CIA harus bekerja super keras.

Tindakan represif sesungguhnya tidak lagi mempan diterapkan kepada para pejuang Taliban dan Al Qaeda yang telah kenyang pertempuran dan umumnya menganggap kematian di dalam perang sebagai jalan terbaik menuju kemuliaan.

Prinsip jihad yang dianut Taliban bukan hanya membuat mereka kebal terhadap tindakan represif tapi juga menyebabkan mereka saling berlomba untuk menjadi martir.

Dalam perkembangan terkini militer AS justru dibuat frustasi karena Taliban dan Al-Qaeda tak bisa dikalahkan.

Untuk menangkap Hekmatyar, pendukung Taliban yang dulu pernah jadi rekanan, CIA ternyata selalu gagal. Runyamnya misi tempur pasukan AS di Afghanistan bahkan ditandai dengan dicopotnya Panglima NATO asal AS, Jendral Stanley Mc Chrystal dan isu segera ditarik mundurnya pasukan AS dari Afghanistan.

Militer AS memang masih tetap mengandalkan peran agen CIA sehingga jumlah agen yang diturunkan di Afghanistan ditambah lagi sebanyak 700 personel.

Ratusan tenaga CIA itu terdiri dari tim mata-mata, analisis dan paramiliter, serta unsur-unsur terkait lainnya.

Pada intinya apapun strategi yang diterapkan CIA di Afghanistan hanya memiliki satu target.

Ratusan agen CIA yang diturunkan diharapkan mampu menembak mati musuh sebelum musuh itu sempat meledakkan bom khususnya bom yang melilit ditubuhnya.

Bertambahnya personel CIA yang juga dibarengi dengan bertambahnya anggota Al-Qaeda dan Thaliban, jelas membuat perang di Afghanistan makin berkepanjangan dan menyulitkan.

Dalam operasi rahasia CIA yang didukung oleh pasukan khusus AS, Osama Bin Laden akhirnya memang bisa tertangkap dan ditembak mati di Pakistan pada bulan Juni 2011.

Namun, terbunuhnya Osama Bin Laden ternyata tidak menghentikan aksi teror dan perlawanan pejuang Taliban terhadap sasaran militer AS baik yang berada di Afghanistan maupun Pakistan.

Perang melawan teror pun makin berkepanjangan dan diwarnai oleh makin banyaknya pasukan AS yang gugur secara sia-sia.

Bayangan kekalahan telak militer AS di Vietnam pun makin dekat di pelupuk mata. Presiden AS Donald Trump sudah memberkan pernyataan bahwa militer AS telah gagal meraih kemenangan di Afghanistan.

Oleh karena itu mulai muncul opsi untuk melakukan perundingan dengan kelompok Taliban atau malah menarik semua pasukan AS dari Afghanistan.

Jika kekalahan yang ditandai penarikan mundur pasukan AS dari Afghanistan itu akhirnya terjadi, CIA dan militer AS benar-benar telah kehilangan pamornya sebagai negara adidaya yang selalu berperan sebagai polisi dunia.

Artikel Terkait