Advertorial
Intisari-Online.com - Serangan teror 11 September yang menghantam AS mirip dengan serangan Pearl Harbour yang terencana matang demikian pula akibat yang ditimbulkan.
Baik dari sisi politik, militer, intelijen, ekonomi, maupun moril, serangan mematikan itu telah berhasil mencapai targetnya.
Superioritas militer dan intelijen AS hancur, kedua sistem tiu ternyata telah gagal total untuk mencegah bencana yang terjadi di dalam negaranya sendiri.
Amerika yang dari sisi sejarah belum pernah diserang oleh negara lain, teror 11 September ternyata bisa membuktikan bahwa negara adidaya itu bisa diserang secara mematikan (American under attack).
Serangan 11 September benar-benar telah membuat pemerintah dan militer AS kebakaran jenggot dan perlu dilakukan tindakan balasan untuk menaikkan moril seluruh bangsa AS yang sedang jatuh.
Seperti ketika Pearl Harbour digempur, akibat serangan fatal 11 September yang menurut AS didalangi oleh kelompok militan al-Qaeda, serangan balas dendam yang dikemas dalam Perang Melawan Terorisme (War On Terrorism) pun gelar.
Negara Afghanistan yang diklaim oleh AS sebagai sarang dan pendukung al-Qaeda pun digempur.
Peperangan yang mungkin saja melawan rekan sendiri yang dulu pernah sama-sama berjuang mengusir pasukan Rusia dari Afghanistan pun berlangsung secara berkepanjangan dan kembali diwarnai oleh keberhasilan serta kegagalan operasi militer dan intelijen AS.
Tidak hanya Afghanistan yang menjadi sasaran gempuran balas dendam AS dan sekutunya, Irak juga digempur oleh pasukan AS dan koalisinya (2003) dengan tuduhan telah memproduksi senjata pemusnah massal.
Operasi serbuan ke Irak yang bersandi Operation Enduring Freedom berlangsung sekitar satu bulan dan berhasil menunjukkan sekaligus memamerkan kekuatan militer AS.
(Baca juga: 'Surga Dunia' yang Dijanjikan ISIS itu Berwajah Neraka dan Teror)
Tapi dalam peperangan yang terus berlangsung baik yang berada di medan tempur Irak maupun Afghanistan korban justru mulai berjatuhan di pihak militer AS dan koalisinya.
Sejumlah kegagalan dan kesalahan operasi tempur kerap terjadi dan trauma akibat Perang Vietnam mulai menghantui.
Akibat invansi militer ke Irak dan Afghanistan bahkan memunculkan kelompok atau kekuatan bersenjata yang bertindak makin destrukif dan terus menebar teror, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Kehadiran ISIS yang terus menebar teror bisa mengindikasikan adanya kegagalan atau kesalahan operasi militer dan intelijen AS di Irak serta Afghanistan.
Operasi militer AS yang bertujuan menciptakan suasana damai baik di Irak maupun Afghanistan justru makin menyuburkan kelompok-kelompok radikal baru sehingga memancing kekuatan militer negara lainnya untuk terlibat.
(Baca juga: Puluhan Tahun Jadi Korban Perang, Para Wanita Cantik Suku Kurdi Ini Sukses Jadi Ujung Tombak Melawan ISIS)
Kehadiran militer Rusia ke Suriah, demikian juga kekuatan militer Inggris, Israel, dan lainnya yang bertujuan menggempur ISIS jelas telah membuat peta konflik di Timur Tengah berubah dan makin rumit.
Perlu strategi dan operasi intelijen yang tepat bagi militer AS untuk bisa menunjukkan kembali superioritasnya atau militer AS akan kembali mengalami kegagalan seperti di Vietnam dan Korea.
Apalagi kekuatan miiter Rusia dalam skala besar yang diterjunkan di Suriah kini makin menunjukkan bahwa konflik bersenjata antara kekuatan Blok Timur dan Blok Barat terancam bangkit lagi.
Presiden AS Donald Trump sendiri sudah merasa frustasi karena misi tempur pasukan AS di Afghanistan yang berlangsung selama 16 tahun tidak menunjukkan kejelasan.
Sejauh ini sudah lebih dari 2.300 pasukan AS tewas dan dari pihak para sekutu AS, pasukan yang tewas lebih dari 1000 orang.
(Baca juga: Merasa Dianiaya Bertahun-tahun, Kaum LGBT Bentuk Unit Militer Sendiri untuk Melawan ISIS)
Trump juga merasa pusing karena dana yang dikeluarkan AS untuk ‘’mengurusi’’ Afghanistan selama 16 tahun terakhir nilainya mencapai 783 milliar dollar.
Untuk mengatasi operasi militer AS di Aghanistan yang dilukiskan oleh Trump ‘’tidak ada masa depan’’ itu hanya ada satu cara untuk mencari solusi, yakni melakukan perundingan damai dengan pihak Taliban.
Pasalnya operasi-operasi militer AS yang dilancarkan terhadap Taliban ternyata makin tidak mempan dan pejuang Taliban saat ini masih menguasai 40% wilayah Afghanistan.
Upaya perundingan damai yang saat ini sedang dirancang oleh Presiden Trump secara militer sebenarnya mencerminkan ‘’AS telah menyerah’’.