Advertorial
Intisari-Online.com - Pasca Perang Dunia II (1945) pasukan Uni Soviet dan Sekutu yang sukses menghancurkan Nazi Jerman saling merayakan kemenangan secara bersama bak dua sahabat karib.
Tapi hubungan persahabatan itu mendadak buyar ketika kedua negara, Uni Soviet yang kemudian membentuk kekuatan Blok Timur dan AS serta sekutunya yang membentuk Blok Barat, mulai terlibat perang ideologi antara komunis dan kapitalis sehingga memicu perang gaya baru yang disebut sebagai Perang Dingin.
Perang Dingin yang diwarnai oleh perlombaan senjata pemusnah massal (nuklir) dan rebutan pengaruh di kawasan Asia dan Eropa pun mulai menciptakan peperangan baru.
Perseteruan berdarah antara Blok Barat dan Blok Timur tidak hanya melibatkan bentrokan bersenjata antara militer seperti yang berkecamuk di Perang Korea, Perang Vietnam, konflik Jerman Barat dan Timur, dan lainnya tapi juga pertarungan antara dunia intelijen khususnya KGB vs CIA.
Pihak AS yang saat itu keteteran di medan perang Vietnam juga mulai mengkhawatirkan perkembangan politik di Indonesia karena pemerintahannya yang dipimpin oleh Presiden Soekarno tampak lebih condong ke pihak komunis Rusia (Blok Timur).
Kekhawatiran pemerintah AS cukup beralasan karena pada hasil pemilu tahun 1955 yang berlangsung di Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan Partai Komunis Indonsia (PKI) cukup besar (16,4%), sementara Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapat suara 22,3%, Majelis Syuro Moeslimin Indonesia (Masjoemi ) 20,9%, dan Nahdhlatoel Oelama (NO) 18,4%.
Secara politis kekuatan yang dimiliki oleh PKI itu menurut penilaian intelijen AS akan sangat berbahaya bagi perkembangan ideologi komunis di Asia Tenggara.
Apalagi dalam perkembangan berikutnya, pandangan politik Presiden Soekarno makin menunjukkan sikap anti Amerika dan lebih condong mengakrabi Uni Soviet.
Sikap anti Amerika dari Presiden Soekarno rupanya sengaja ditunjukkan karena AS jelas-jelas mau memanfaatkan Indonesia sebagai bemper bagi pengaruh komunis dari Soviet dan China.
Presiden Soekarno yang sangat nasionalis memang akan cepat marah jika kedaulatan negara yang dipimpinnya diinjak-injak negara lain.
Untuk mencegah wilayah Indonesia jatuh ke tangan komunis, pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Presiden Dwight Eisenhower langsung menerapkan strategi intelijen keras.
Unsur kekuatan yang diturunkan untuk melancarkan aksi “perang melawan komunis” di Indonesia melibatkan para agen rahasia CIA dan secara diam-diam didukung oleh militer AS.
Pengerahan kekuatan militer AS yang dalam kondisi siap tempur dan digelar di kawasan Pasifik, Singapura, dan Filipina itu jelas menunjukkan bahwa militer AS juga siap menginvasi kawasan Indonesia jika waktunya telah tiba.
Target operasi rahasia CIA saat itu ada dua macam, pertama membunuh Presiden Soekarno dan kedua menciptakan instabilitas dengan cara memperalat serta mempersenjatai unsur-unsur kekuatan di berbagai daerah yang akan melancarkan pemberontakan.
CIA kemudian mendanai dan sekaligus mendalangi pemberontakan PRRI/Permesta dengan tujuan memecah belah Indonesia dan menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tapi upaya CIA untuk menjatuhkan Soekarno melalui pemberontakan PRRI/Permesta ternyata gagal.
Agen CIA, Allen Lawrence Pope yang turut bertempur di Sulawesi dengan menggunakan pesawat pengebom bahkan tertangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Indonesia.
Tapi berkat peran Bung Karno yang memiliki hubungan baik dengan Presiden AS saat itu, John F Kennedy, Allen Pope kemudian dibebaskan.
Sebagai imbalannya, pemerintah AS memberikan hadiah sebanyak 12 pesawat C-130 Hercules dan kucuran dana dari AS melalui Civic Mission Program.
Tapi Civic Mission Program tetap saja merupakan sarana CIA untuk menjatuhkan Soekarno, karena berkat program itu CIA bisa mendapat akses secara leluasa ke seluruh lapisan TNI dan merekrut kader-kader TNI yang anti Bung Karno.
Para kader TNI bisa dengan mudah direkrut oleh CIA karena saat itu Bung Karno yang dekat dengan orang-orang PKI dan negara-negara komunis, telah dianggap sebagai “presiden yang pro komunis”.
Apalagi Bung Karno saat itu juga sedang menggalakkan gagasan mengenai Nasional, Agama, dan Komunis (Nasakom) yang diharapkan akan mempersatukan segenap rakyat Indonesia tapi justru menyebabkan perpecahan dan pertumpahan darah serta kejatuhan dirinya.
Demi mendorong agar Bung Karno “makin komunis”, pemerintah AS sengaja melakukan embargo persenjataan.
Padahal di tahun itu (1962-1963) pemerintah sedang membutuhkan banyak senjata untuk mendukung Operasi Trikora demi membebaskan Irian Barat.
Akhirnya pemerintah Indonesia terpaksa membeli persenjataan dari Rusia sehingga Indonesia pun seolah-olah sudah menjadi negara yang berpihak kepada Rusia.
CIA pun mulai menjalankan skenario yang telah disusunnya secara matang.
Sebelum meletus G30S yakni setelah terdengar berita secara verbal bahwa Bung Karno telah menunjuk Letjen Ahmad Yani sebagai calon penggantinya, jika kesehatan Bung Karno yang mengidap pengakit ginjal terus menurun.
Sejak itu mulai timbul di gejolak dan terdengar isu seolah-olah ada suatu gerakan yang disebut Dewan Jenderal yang akan melancarkan kudeta kepada Bung Karno.
Akibatnya isu Dewan Jenderal yang sebenarnya dihembuskan oleh CIA melalui tokoh-tokoh militer dan PKI yang berhasil direkrut memunculkan reaksi berupa G30S yang mengakibatkan gugurnya tujuh Pahlawan Revolusi.
Aksi G30S yang didalangi Letkol Untung yang juga merupakan salah satu komandan batalyon pasukan Tjakrabirawa, lalu mendeklarasikan berdirinya Dewan Revolusi dengan dalih untuk menyelamatkan RI dan Bung Karno.
Letkol Untung juga menempatkan dirinya sebagai Ketua, sementara pemerintahan saat itu masih sah di bawah pimpinan Bung Karno.
Kondisi seperti itu jelas membingungkan rakyat Indonesia dan TNI.
Dalam kondisi chaos seperti itu, munculah counter movement dari pasukan Kostrad di bawah pimpinan Mayjen Soeharto.
Manuver militer Soeharto itu sengaja dilakukan tanpa persetujuan dari KASAD, karena saat itu KASAD Jenderal Ahmad Yani telah menjadi korban G30S dan peristiwa G30S harus segera dibereskan secepat mungkin.
Akhirnya gerakan G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dapat ditumpas tetapi kondisi di Indonesia tetap makin kacau karena tindakan Mayjen Soeharto bersama pasukannya serta rakyat Indonesia yang anti PKI demi melakukan operasi pembersihan PKI terus berlanjut.
Operasi CIA untuk menjatuhkan Bung Karno pun terus berlanjut dengan cara mengkambinghitamkan Bung Karno di mata rakyat dengan membuat kesan bahwa seolah-olah Bung Karno terlibat dalam peristiwa pemunuhan para jendaral yang dilakukan oleh Letkol Untung dan komplotannya.
Upaya mengkambinghitamkan Bung Karno telah terlibat dalam G30S itu bahkan terus berhembus hingga sekarang dan “hantu” bangkitnya kembali PKI telah menjadi alat efektif pihak ketiga, bisa saja CIA, untuk memecah belah bangsa Indonesia.