Advertorial
Intisari-Online.com - Setelah sebelumnya kita mengulas tentang Muso dan Alimin, kini giliran pemimpin komunis di awal kemerdekaan lain yang akan kita bahas, yaitu Tan Malaka.
Seperti ditulis olehHaji Subagyo I.N. dalam artikel berjudul "Ketemu Alimin dan Tan Malaka" yang pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Maret 1971.
---
Lain lagi dengan Tan Malaka yang saya lihat dan saya kenal pribadinya. Untuk kali pertama saya melihat pribadi Tan Malaka ialah pada waktu Kongres Persatuan Wartawan Indonesia, yang diadakan di Solo.
Pada hari kedua, yaitu menjelang penutupan Kongres, disociteit Mangkunegaran yang konon pada clash ke-II sudah dibumi hanguskan.
Pembicaraan Kongres sudah selesai dan sebagai “gong “-nya segenap hadirin akan diminta mendengarkan pidato Ibrahim Gelar Sutan Malaka.
Orangnya sudah cukup tua, badannya cukup kekar, dalam arti bahwa otot-ototnya masih belum begitu nampak kendor.
Raut mukanya tajam, kulitnya agak kehitam-hitaman. Tanggapan saya pertama kali: agak malu-malu. Atau bescheiden?
Lama Tan Malaka berpidato. Konon sampai tiga jam.
Dia uraikan pengalamannya selama bertualang meninggalkan Tanah Air, dari satu negara ke negara yang lain, keluar masuk penjara, berebut ulung dengan polisi internasional yang senantiasa mengintip gerak langkahnya.
Yang saya ingat lagi dari pidatonya itu ialah tentang kekuatan umat Islam yang tersebar sejak dari Afrika Utara sebelah Barat, di Maghribi terus kearah Timur ke Libia, ke Tunis, Mesir, Timur Tengah, India (Pakistan), semenanjung Melayu sampai ke Indonesia.
Menurut Tan Malaka, alangkah hebatnya kekuatan itu apabila dapat dipersatukan.
Tetapi kenyataannya, jutaan umat yang hidup dari Maghribi sampai ke Indonesia itu terpecah-pecah ibaratkan pasir kering.
Hebat sekali! Pikir saya. Dan masih panjang lagi pidato pemimpin komunis yang oleh PKI disebut sebagai Trotzky-ist itu.
Kedua kalinya saya melihat (dan kali ini dekat sekali, hanya dibatasi oleh meja) Tan Malaka ialah di Yogya, di kantor Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia.
Entah siapa dewasa itu yang mengambil prakarsa, tetapi saya mendapat tahu bahwa pada malam itu Tan Malaka akan datang di kantor GPII. Dan benarlah!
Seingat saja yang membuka pertemuan dewasa itu Harsono (Tjokroaminoto) yang kini menjabat Menteri dalam Kabinet Pembangunan itu.
Dengan gaya khas Harsono — kalem, antep, tenang, — dibukalah pertemuan dan mengucapkan terima kasih kepada tetamunya, yang disebutnya Pak Tan Malaka.
Oleh Harsono juga dikisahkan pengalamannya semasa zaman Jepang, sewaktu dia untuk kali pertama melihat Tan Malaka ini.
Yang membawa kerumahnya ialah kakak kandungnya, Anwar Tjokroaminoto. Harsono dewasa itu berdiam di Tanahi Tinggi Galur, sedangkan Anwar di Gg. Kramat Baru.
Kedua kakak beradik itu ketika itu sama sekali belum mengetahui, bahwa orang setengah tua yang menjadi tetamunya itu ialah Tan Malaka, seorang jago pergerakan yang sudah dikenal namanya, karena sebaya dan seangkatan dengan almarhum Ayahnya sendiri Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Soalnya ialah, karena dewasa itu tetamunya itu memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hoesein, seorang pemimpin roomusha dari Bajah, suatu daerah pertambangan di Banten.
Baru setelah menjelang proklamasi, Harsono dari orang lain mendapat tahu, bahwa orang setengah umur itu sebenarnya adalah Tan Malaka seorang pemimpin yang namanja sudah dikenal sebelumnya.
Kini, karena takdir Tuhan juga maka dia dapat diketemukan lagi berhadapan muka sebagai sesama teman seperjuangan. Demikian antara lain Harsono Tjokroaminoto.
Seingat saya, dewasa itu pertemuan berlangsung tidak begitu lama. Mungkin, karena Tan Malaka masih harus pergi ke suatu tempat.
Maklum, pada waktu revolusi sedang hebat bergolak, dan manusia seperti Tan Malaka itu menurut perasaan saya pada masa-masa semacam itu tenaga dan pikiran serta pendapatnya sangat dibutuhkan.
Jika saja tidak salah tangkap, Tan Malaka (ketika itu) kurang menghargai adanya UNO. Antara lain dia berkata: “UNO, you no!". Dan hadirin yang mengerti bahwa huruf U dalam bahasa Inggeris harus dibaca seperti “yu", tersenyum juga dibuatnya.
Secara kebetulan sekali untuk ketiga kalinya saya melihat Tan Malaka ialah sewaktu di Solo diadakan Kongres Masyumi yang kedua.
Rombongan PP GPII diinapkan dalam sebuah losmen. (Nama dan tempatnya saya sendiri sudah lupa. Yang terang saja bukan hotel atau penginapan yang mewah).
Di dalam kamar penginapan itu seorang teman menyampaikan kepada saya, bahwa Tan Malaka dan Mohammad Yamin juga kebetulan bermalam disitu.
Apa yang diutarakan teman tadi ternyata betul, sewaktu saya ke luar kamar hendak pergi guna sesuatu urusan, saya melihat Tan Malaka dari luar hendak menuju ke kamarnya.
Sedangkan dibelakangnya berjalan Mohammad Yamin dengan menenteng setumpuk buku.
Baru kemudian (di penginapan itu juga) saya tahu, bahwa buku tadi adalah karangan Mohammad Yamin sendiri.
Namanya (jika tidak keliru): Tan Malaka, Bapak Pergerakan Indonesia. Sampulnya kertas karton putih, untuk zaman itu merupakan produk tipografi yang lumayan juga.
Masih sekali saya melihat Tan Malaka, yaitu di suatu rapat umum di Alun-Alun Utara juga.
Tetapi saya melihat hanya dari arah jauh, kendatipun untuk para wartawan juga disediakan tempat di anggung.
Sejarah berputar terus. Lebih-lebih di daerah pedalaman. Di bagian negara Republik Indonesia yang tidak diduduki Belanda.
Peristiwa demi peristiwa terjadi. Yang satu diikuti oleh yang lain. Yang satu lebih hebat ketimbang yang lain.
Syahrir diculik. Persatuan Perjuangan menuntut diputuskannya perundingan dengan Belanda.
Perundingan Linggarjati, Peristiwa Juli, Pemogokan Delanggu, Pemberontakan Madiun dan seribu satu macam peristiwa lainnya lagi.
Semuanya berjalan dengan kencang dan lajunya. Tiap hari, tiap detik terjadi peristiwa bersejarah, kait berkait, sambung menyambung.
Sampai Belanda menyerbu Republik, Soekarno-Hatta dan pemimpin-pemimpin RI lainnya ditawan.
Sampai perundingan Roem-Royen sampai penyerahan kedaulatan.
Dan pasukan TNI dibenarkan kembali masuk ke kota-kota yang semula diduduki Belanda.
Untuk kali pertama jenderal mayor Sungkono dari divisi Brawijaya mengadakan pertemuan dengan pers di Hotel Oranye Surabaya. Baru saja pasukan TNI memasuki kota tersebut.
Pada kesempatan itu saya ajukan pertanyaan: “Benarkah bahwa Tan Malaka sudah meninggal dunia?". Jawabnya singkat: “Saya dengar memang demikian!".
“Dimana?" “Sepanjang pendengaran saya di suatu tempat di Jawa Timur".
Dan beliau tidak bersedia lagi menguraikan lebih jelas dan panjang mengenai hal itu. Pembicaraan lalu diarahkan ke persoalan lain.
Setengah orang ada yang mengatakan, bahwa Tan Malaka ditembak oleh tentara serta mayatnya dicemplungkan di sungai Brantas.
Setengah orang lagi berteori bahwa yang membunuh Tan Malaka ialah orang-orang PKI.
Sebabnya ialah karena hingga kini tidak ada orang yang tahu di mana kuburnya Tan Malaka.
Oleh PKI memang disengaja hendak dihapus jejak Tan Malaka, sebagaimana mereka juga menghapus jejak dokter Mawardi (Barisan Banteng) yang telah mereka culik dan bunuh di Solo.
Dan kita ingat saja bagaimana orang-orang komunis juga berusaha hendak menghilangkan jejak para jenderal yang telah mereka bunuh pada Hari Naas tanggal 1 Oktober pagi hari itu.
Kuburan mereka hendak mereka tutup-tutupi dan hendak mereka hilangkan, agar khalayak ramai tidak dapat mengetahuinya.
Meneliti praktek-praktek PKI begitu itu orangpun tidak dapat menyalahkan, apabila ada orang yang mempunjai teori bahwa kematian Tan Malaka karena dibunuh kaum komunis juga.
Wallahu'alam bissawab.