Wajahnya yang dulu halus dan aristokratis kini dibayangi penderitaan yang berkepanjangan.
"Saya pernah menjadi pemimpin yang dicintai dan dihormati seluruh rakyat, walaupun mereka sulit diurus," keluhnya sambil mengelus sofa model terakhir di ruang tamu vila yang ditinggalinya di Mougins. Karpetnya yang masih baru disediakan oleh pemerintah Prancis.
Ketika 'diambil' dari sebuah sekolah menengah di Saigon oleh pemerintah Prancis untuk dijadikan raja pada-tahun 1941, pangeran yang berusia delapan belas tahun itu berlinang air mata.
Sihanouk dapat mempertahankan tahtanya selama Perang Dunia II akibat adanya persekutuan antara Jepang dengan pemerintahan boneka Vichy Prancis. Sebagai lambang kekuasaan, pangeran muda ini mempunyai banyak waktu luang selama peperangan.
Ini mendatangkan pengaruh buruk pada dirinya. Ia hidup seperti seorang playboy yang penuh semangat. Waktunya dipakai untuk berkuda, nonton film, ski air, pergi ke teater, bermain bola basket dan terutama untuk berganti-ganti wanita.
Sihanouk mengikuti jejak kakeknya, Raja Morivong, yang berdasarkan tradisi mengizinkan raja Kamboja memiliki enam puluh gundik.
Namun, penduduk Jepang telah mengobarkan rasa nasionalisme: "Mereka mengatakan pada kami bahwa kulit kuning harus menjadi majikan bagi diri mereka sendiri," kenang sang pangeran.
"Mereka mendukung saya untuk mempertahankan Kamboja ..." (padahal Jepang juga memberikan sebagian wilayah Kamboja kepada Muangthai).
Setelah perang berakhir, Prancis menyadari bahwa anak didiknya ini kini pemberontak. Pada tahun-tahun setelah perang, kaum nasionalis sayap kiri dan kanan telah siap untuk merebut kemerdekaan, tapi Sihanouk mendahului mereka.
Ia menjalankan taktik yang jitu terhadap pihak Barat. Ia juga menunjukkan kemampuannya untuk berbicara dengan petani, yaitu kelompok mayoritas rakyat. Suatu bakat yang tidak memerlukan kemampuan intelektual.
"Nama keluarga saya Sihanouk, berasal dari bahasa India singha, yang berarti singa," katanya. "Saya tidak tahu apakah saya ini singa atau bukan, tapi saya bisa mempertahankan diri."
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR