Berderma bagi Sihanouk berarti turun dari helikopter di desa terpencil membagikan berkarung-karung pakaian dan makanan, mengecam pejabat yang korup dan segala kelemahan imperialis.
Kemudian Sihanouk kembali pada kehidupan yang serba mewah di istananya yang berbentuk kue pengantin di tepi Sungai
Mekong, di mana dia banyak menghabiskan waktu dengan bermain saxophone dan menjadi dirigen orkesnya, seperti halnya dia memimpin pemerintahan. Putri-putri Sihanouk berdansa dan sampanye berhamburan.
Richard Nixon (waktu itu wakil presiden AS ketika mengunjungi Sihanouk pada tahun 1953) menulis dalam riwayat hidupnya bahwa sang pangeran orangnya pembual dan banyak tingkah. Tampaknya ia lebih bangga dengan bakat musiknya ketimbang kepemimpinannya di dalam politik.
Lima belas tahun kemudian, Sihanouk mulai waspada terhadap 'badai' yang melanda Indo-Cina. Ia menerapkan prinsip yang disebutnya netralitas ekstrem. Kalau perlu ia bisa condong ke kiri maupun ke kanan di dalam negeri.
Ia juga melakukan gertakangertakan, bersikap keras kepala yang berlebihan dan mempunyai cara yang baik dalam berhubungan dengan rakyat dalam gaya Kamboja, sehingga Sihanouk mendapat dukungan lebih besar lagi di antara kaum petani.
Pangeran yang ingin seringkali diberitakan, muncul sebagai salah satu bintang dalam Konperensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, tempat lahirnya nasioanlisme Asia Afrika. Saat itu Sihanouk menyatakan bahwa Nehru adalah gurunya.
"Para pemimpin takut akan bahaya komunis. Kami semua, Nkrumah dari Ghana, Nasser dari Mesir dan Soekarno dari Indonesia bersama-sama mencari jalan kiri untuk bersaing dengan kaum komunis."
"Sudah sejak semula," kata Sihanouk, "saya dan orang-orang Amerika tidak punya kesepakatan."
John Foster Dulles, Menlu AS waktu itu, sangat geram ketika Kamboja menolak untuk bergabung dengan SEATO (South East Asia Treaty Organization — Pakta Pertahanan Asia Tenggara).
Sejak saat itu kebijaksanaan netral Sihanouk oleh AS dianggap sama saja sebagai dukungan halus terhadap gerakan komunis. Mulanya Sihanouk menerima bantuan militer hanya dari AS saja, tapi bantuan ini membuka kesempatan untuk korupsi bagi Kamboja yang feodal.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR