Advertorial
Intisari-Online.com – Itu belum lengkap, karena empat belas cucunya juga ikut menjadi korban. Pangeran yang naik tahta pada usia delapan belas tahun itu memang hidupnya penuh penderitaan.
Di Cote d'Azur, Prancis, baru-baru ini pangeran yang ikut Konperensi Asia Afrika itu menceritakan kisah hidupnya.
April 1985 ia tidak datang lagi ke Bandung untuk memperingati HUT Konperensi Asia Afrika. Tiga puluh tahun yang lalu, di kota itu ia bertemu dengan delegasi Vietsel, yang ternyata bekas teman sekolahnya. Kawan itu dulu sering ia mintai bantuan untuk membuatkan PR-nya.
“Komunisme itu sulitnya tidak berperikemanusiaan,” demikian diucapkan oleh Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja yang berumur 61 tahun.
(Baca juga:Dubes RI untuk Kamboja Ini Justru Tahu dari Dubes China jika pada 1 Oktober 1965 Terjadi Kup di Jakarta)
(Baca juga:Lahir di Negara Kapitalis, Starbucks Justru Bikin Gerai Terbesar di Dunia di Negara Komunis)
Sihanouk, turunan langsung raja-raja Dewa Angkor dan teman karib tokoh-tokoh bersenjata seperti de Gaulle, Zhou En-lai, Mao Ze-dong dan Soekarno itu kehilangan lima anak dan emat belas cucu akibat kekejaman Khmer Merah pimpinan Pol Pot. "Saya tidak akan melupakannya," katanya.
Hal itu diucapkannya di sebuah vila pinjaman yang tidak megah di Mougins, Cote d'Azur, Prancis Selatan, tiga belas tahun setelah ia berturut-turut menjadi tawanan, mitra (partner) dan tamu golongan komunis.
(Mula-mula ia menjadi tawanan dan kemudian mitra Pol Pot, lalu menjadi tamu RR Cina dan kini tinggal di Pyongyang sebagai tamu diktator Korea Utara, Kim II Sung, yang disebutnya 'kawan').
Pangeran Kontradiksi itu datang ke Prancis Selatan untuk menemui dokternya dalam persiapan mengikuti Sidang Umum PBB di New York. Ia laksana seorang bekas juara yang kini sudah tua, yang giat berlatih untuk tampil kembali.
Selama empat puluh tahun nama Sihanouk melekat erat dengan Kamboja. Tahun-tahun tujuh puluhan merupakan hari-hari yang getir baginya. Ia bukan hanya diserang oleh komunis, tetapi juga oleh AS.
Wajahnya yang dulu halus dan aristokratis kini dibayangi penderitaan yang berkepanjangan.
"Saya pernah menjadi pemimpin yang dicintai dan dihormati seluruh rakyat, walaupun mereka sulit diurus," keluhnya sambil mengelus sofa model terakhir di ruang tamu vila yang ditinggalinya di Mougins. Karpetnya yang masih baru disediakan oleh pemerintah Prancis.
Ketika 'diambil' dari sebuah sekolah menengah di Saigon oleh pemerintah Prancis untuk dijadikan raja pada-tahun 1941, pangeran yang berusia delapan belas tahun itu berlinang air mata.
Sihanouk dapat mempertahankan tahtanya selama Perang Dunia II akibat adanya persekutuan antara Jepang dengan pemerintahan boneka Vichy Prancis. Sebagai lambang kekuasaan, pangeran muda ini mempunyai banyak waktu luang selama peperangan.
Ini mendatangkan pengaruh buruk pada dirinya. Ia hidup seperti seorang playboy yang penuh semangat. Waktunya dipakai untuk berkuda, nonton film, ski air, pergi ke teater, bermain bola basket dan terutama untuk berganti-ganti wanita.
Sihanouk mengikuti jejak kakeknya, Raja Morivong, yang berdasarkan tradisi mengizinkan raja Kamboja memiliki enam puluh gundik.
Namun, penduduk Jepang telah mengobarkan rasa nasionalisme: "Mereka mengatakan pada kami bahwa kulit kuning harus menjadi majikan bagi diri mereka sendiri," kenang sang pangeran.
"Mereka mendukung saya untuk mempertahankan Kamboja ..." (padahal Jepang juga memberikan sebagian wilayah Kamboja kepada Muangthai).
Setelah perang berakhir, Prancis menyadari bahwa anak didiknya ini kini pemberontak. Pada tahun-tahun setelah perang, kaum nasionalis sayap kiri dan kanan telah siap untuk merebut kemerdekaan, tapi Sihanouk mendahului mereka.
Ia menjalankan taktik yang jitu terhadap pihak Barat. Ia juga menunjukkan kemampuannya untuk berbicara dengan petani, yaitu kelompok mayoritas rakyat. Suatu bakat yang tidak memerlukan kemampuan intelektual.
"Nama keluarga saya Sihanouk, berasal dari bahasa India singha, yang berarti singa," katanya. "Saya tidak tahu apakah saya ini singa atau bukan, tapi saya bisa mempertahankan diri."
Setelah merayu Prancis dengan cara yang lihai sekali untuk memperoleh sebagian kebebasan pada tahun 1949, Sihanouk banyak berkampanye yang diatur secara brilian. la memakai cara bombastis, memeras dan mengancam.
Pada bulan November 1953 ia menyatakan kemerdekaan dari Prancis. Ia membuktikan dirinya mampu melihat jauh: "Saya menginginkan kemerdekaan, bukan untuk melawan Anda, tapi supaya rakyat saya tidak mengekor kepada kaum komunis," ia katakan kepada pemerintah Prancis.
Menghadapi keengganan Prancis untuk menyerahkan kekuasaan militernya, Sihanouk mengundurkan diri ke Provinsi Battambang dan menolak untuk berubah sikap. Akhirnya Prancis menyerah.
Jenderal Prancis, Langlande, saat itu menyatakan: "Raja gila, tapi ia punya pengaruh." Akibatnya pada tahun 1954 Konvensi Jenewa menetapkan batas Kamboja seperti sebelum perang. Ketika itu dua negara Indo-Cina jajahan Prancis lainnya, Vietnam dan Laos, dibagi-bagi antara kelompok yang pro dan anti komunis.
Ini kelak akan menjadi arena berdarah selama dua puluh tahun. Keberhasilan Sihanouk dalam memperoleh kemerdekaan dengan mendapatkan kembali batas-batas negara seperti semula bagi Partai Komunis Khmer maupun sayap kanan merupakan hal yang mencemaskan.
Konvensi Jenewa juga memaksa VietMinh supaya meninggalkan bagian timur Kamboja, yang digunakan Ho Chi Minh dalam perangnya melawan Prancis dan selanjutnya akan digunakan juga untuk berperang melawan rezim Vietnam Selatan dan Amerika Serikat.
Konvensi itu juga melaksanakan pemilu (ini ditentang pihak Sihanouk) yang diawasi International Control Commission. Waswas terhadap kemungkinan menangnya kaum anti monarki dalam pemilu, cepat-cepat Sihanouk melepaskan tahta untuk digantikan oleh ayahnya.
Dengan membentuk kelompok sendiri (Sangkum Reastr Niyum atau Kelompok Sosialis Rakyat) yang disebutnya Sosialisme Buddha, ia berjanji untuk menghapuskan seluruh hierarki pejabat tinggi yang banyak melakukan intrik, seperti lintah penghisap darah yang menempel di kaki gajah. Akhirnya memang Sihanouk dapat membabat habis kaum oposisi dengan mudah.
Lebih suka menjadi pengemis
Peristiwa itu diingat oleh pangeran sebagai sesuatu yang lebih muluk. "Buddha adalah penganut paham sosialis yang pertama. Ia seharusnya menjadi raja, tapi melepaskan tahtanya, memilih menjadi seorang pengemis dan bukan tinggal di istana, melainkan di bawah pohon.
Bukan kelahiran yang membuat engkau berharga. Seseorang harus berjuang untuk mencapai nirwana. Di bumi engkau harus mendermakan hartamu."
Berderma bagi Sihanouk berarti turun dari helikopter di desa terpencil membagikan berkarung-karung pakaian dan makanan, mengecam pejabat yang korup dan segala kelemahan imperialis.
Kemudian Sihanouk kembali pada kehidupan yang serba mewah di istananya yang berbentuk kue pengantin di tepi Sungai
Mekong, di mana dia banyak menghabiskan waktu dengan bermain saxophone dan menjadi dirigen orkesnya, seperti halnya dia memimpin pemerintahan. Putri-putri Sihanouk berdansa dan sampanye berhamburan.
Richard Nixon (waktu itu wakil presiden AS ketika mengunjungi Sihanouk pada tahun 1953) menulis dalam riwayat hidupnya bahwa sang pangeran orangnya pembual dan banyak tingkah. Tampaknya ia lebih bangga dengan bakat musiknya ketimbang kepemimpinannya di dalam politik.
Lima belas tahun kemudian, Sihanouk mulai waspada terhadap 'badai' yang melanda Indo-Cina. Ia menerapkan prinsip yang disebutnya netralitas ekstrem. Kalau perlu ia bisa condong ke kiri maupun ke kanan di dalam negeri.
Ia juga melakukan gertakangertakan, bersikap keras kepala yang berlebihan dan mempunyai cara yang baik dalam berhubungan dengan rakyat dalam gaya Kamboja, sehingga Sihanouk mendapat dukungan lebih besar lagi di antara kaum petani.
Pangeran yang ingin seringkali diberitakan, muncul sebagai salah satu bintang dalam Konperensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, tempat lahirnya nasioanlisme Asia Afrika. Saat itu Sihanouk menyatakan bahwa Nehru adalah gurunya.
"Para pemimpin takut akan bahaya komunis. Kami semua, Nkrumah dari Ghana, Nasser dari Mesir dan Soekarno dari Indonesia bersama-sama mencari jalan kiri untuk bersaing dengan kaum komunis."
"Sudah sejak semula," kata Sihanouk, "saya dan orang-orang Amerika tidak punya kesepakatan."
John Foster Dulles, Menlu AS waktu itu, sangat geram ketika Kamboja menolak untuk bergabung dengan SEATO (South East Asia Treaty Organization — Pakta Pertahanan Asia Tenggara).
Sejak saat itu kebijaksanaan netral Sihanouk oleh AS dianggap sama saja sebagai dukungan halus terhadap gerakan komunis. Mulanya Sihanouk menerima bantuan militer hanya dari AS saja, tapi bantuan ini membuka kesempatan untuk korupsi bagi Kamboja yang feodal.
Berbarengan dengan bantuan ini, CIA juga beberapa kali berusaha menggulingkan Sihanouk. Karena caranya kurang canggih, CIA gagal. Beberapa di antara percobaan yang gagal itu dijadikan film oleh Sihanouk. Naskah, penyutradaraan dan pemain dilakukannya sendiri. Tahun 1962 bantuan dihentikan dan tahun 1965 terjadi pemutusan hubungan diplomatik.
Ketika Perang Vietnam mulai memuncak, Sihanouk berusaha menghindarkan negerinya dari keterlibatan.
"Saya percaya bahwa orang-orang Amerika akan angkat kaki," katanya, "dan Vietnam disatukan menjadi komunis. Saya menganggap lebih baik berteman dengan mereka dan nantinya meraka akan berterima kasih pada Kamboja. Saya tidak pernah membina hubungan atas dasar ideologi, melainkan atas dasar suka pada Kamboja atau tidak."
Bahkan ketika ia mengizinkan Vietnam Utara memakai pelabuhan-pelabuhan dan tempat berlindung di Kamboja, ia menggiatkan tindakan kekerasan terhadap gerilyawan Khmer Merah, yang kadernya mereka anggap hanya berjumlah ratusan, bukan ribuan.
Tentara anti komunis di bawah Lon Nol (Menteri Pertahanan pada tahun 1960-an) sering ditemukan mati tergantung di pohon yang diduga dilakukan oleh Khmer Merah.
Usaha Sihanouk untuk menenteramkan Vietnam Utara, walaupun ia banyak menghambat Khmer Merah, menyebabkan kemarahan tokoh-tokoh bisnis dan militer sayap kanan.
Di "dongkel" waktu sedang ngambek
Pangeran Kamboja ini merupakan satu-satunya kepala negara non-komunis yang menghadiri pemakaman Ho Chi Minh pada bulan September 1969, suatu sikap yang tidak dihargai oleh pemerintahnya sendiri (yang ketika itu dipimpin oleh Lon Nol dan Sirik Matak).
Lebih dari sekali pangeran ini, ketika sedang jengkel, terbang ke Prancis untuk melakukan pengobatan dengan air mineral di Grasse. Ia sering mengatakan: "Pilih saya atau kacau balau," dengan gaya mirip de Gaulle sebagai tokoh yang dikaguminya.
De Gaulle pun mengagumi Sihanouk. Pada tahun 1966, ketika presiden Prancis itu menyampaikan pidatonya di Phnom Penh, ia menyanjung sikap netral Sihanouk dan mengecam "kebijaksanaan dangkal" yang dimiliki AS dalam hidup bertetangga dengan Vietnam.
Setelah salah satu dari masa 'berobatnya' yang makan waktu dua bulan di Prancis, Sihanouk digulingkan. Rencana penggulingannya disusun secara diam-diam selama tiga minggu dan terlaksana tanggal 18 Maret 1970. la didongkel secara resmi dari kedudukan sebagai kepala negara Kamboja.
Sihanouk menerima berita itu pagi hari di musim dingin sewaktu diantarkan ke bandar udara oleh Perdana Menteri Rusia, Alexei Kosygin. Waktu itu Sihanouk hendak kembali pulang lewat Beijing.
Setahun sebelum kudeta, pesawat pembom B-52 pertama dari jumlah 3.630 pesawat AS diam-diam melakukan pemboman di Kamboja yang berlangsung selama empat belas bulan. Pesawat-pesawat itu menyiramkan maut dari udara dalam suatu operasi yang diberi nama sandi "Menu".
Kira-kira 110.000 ton bom dijatuhkan selama operasi ini dan digunakan juga nama-nama sandi yang mengerikan untuk sasaran tertentu, seperti: Dinner, Dessert, Snack, Supper dan Lunch.
Semua ini merupakan 'santapan khusus' yang disediakan Nixon dan Penasihat Keamanan Nasionalnya, Henry Kissinger. Kissinger dalam riwayat hidupnya menuduh Sihanouk setuju dengan pemboman ini.
Sihanouk saat itu membantah dengan marah tuduhan ini. "Saya tidak menyetujuai pemboman di Kamboja. Tahun 1968 saya mengatakan pada Chester Bowles (yang kemudian menjadi dubes AS di India dan utusan khusus untuk Kamboja) bahwa peperangan ini tidak ada hubungannya dengan saya.
Mengenai perbatasan saya tidak dapat berbuat apa-apa, tentara saya hanya 30.000. Apa yang dapat saya lakukan?" katanya sedih. Kemudian nada suaranya meninggi.
la mengatakan, "Saya tidak dapat menghadang orang-orangg Vietnam Utara menggunakan perbatasan saya sebagai tempat berlindung dan saya juga tidak dapat menstop pemboman Anda."
Saya mengatakan pada Bowles agar, "Jangan sampai Anda menyentuh rakyat saya." Kenyataannya tidak demikian. Pemboman itu menyebabkan banyak rakyat Kamboja menjadi korban. "Bagaimana saya bisa membina hubungan dengan Nixon dan Kissinger yang tidak mengerti keinginan Kamboja?"
Sihanouk menuduh AS bertanggung jawab langsung pada penumbangannya. Dalam riwayat hidupnya, Kissinger menulis: "Kami tidak mendukung penumbangan Sihanouk dan sama sekali tidak tahu sebelumnya. Kami juga tidak dapat menangkap tanda-tanda yang ada sebelumnya."
Jadi boneka
Dalam biografi politik Seymour Hersh, The Price of Power: Kissinger in the Nixon White House. — menyatakan bahwa AS membiayai dan mengendalikan pemberontakan Khmer Krom yang mengambil bagian dalam penyerbuan di Kedutaan Besar Vietnam Utara di Phnom Penh dan pembunuhan yang terorganisasi terhadap orang-orang Vietnam yang tinggal di Kamboja, pada hari-hari sebelum kejatuhan Sihanouk.
Hersh dalam bukunya menjelaskan keterlibatan AS lainnya dengan komplotan anti Sihanouk, termasuk pesan yang ada dalam dokumen Dewan Keamanan Nasional yang berisi: "Biarkan saja Sihanouk ditumbangkan".
Posisi Sihanouk dalam kaitannya dengan masalah ini mendapat dukungan yang mengesankan dari Etienne Manac'h, diplomat karier Prancis yang terkenal. Dia pernah menjadi dubes di Beijing antara tahun 1960-1970, yang memegang peran kunci dalam perundingan untuk mengakhiri konflik Indo-Cina.
"Kudeta terjadi ketika Nixon berkuasa," katanya menjelang pensiun di rumahnya di Bretagne. "Amerika Serikat terlibat dalam kudeta ini. Baik sebelum, selama dan sesudah kudeta." Dalam hal ini posisi Kissinger, ironisnya katanya, "sangat lemah".
Sejak tahun 1954, kebijaksanaan luar negeri Cina yang dibentuk oleh Zhou En-lai mendukung Sihanouk dan kemerdekaan Kamboja dari Vietnam.
Ketika pangeran ini menjadi kepala negara dalam pengasingan pertama yang diizinkan bermarkas di Beijing pada tahun 1970, Zhou memperlakukannya secara hormat sebagai seorang pemimpin nasional.
Sihanouk diberi tempat tinggal sebuah gedung bekas kedutaan yang dilengkapi dengan sembilan koki. Bahkan pemerintah Cina membuatkannya kolam renang yang dapat dipanaskan.
Sihanouk menjadi pimpinan boneka GRUNK (Royal Government of National Union of Kampuchea), tapi pengendalian yang sebenarnya berada di tangan orang yang lebih muda: Pol Pot, Khieu Samphan dan Ieng Sary, yang pernah berjuang melawan Sihanouk di hutan-hutan Kamboja. Mereka dulu bergerak di 'bawah tanah' atas tekanan pangeran ini.
Dalam tulisan yang berbentuk penyelidikan oleh William Shawcross, Sideshow: Nixon, Kissinger dan Destruction of Cambodia, komitmen Cina terhadap Sihanouk jelas. Walaupun kekuasaan yang sebenarnya makin lama makin besar dipegang Khmer Merah di Kamboja, namun Sihanouk pemimpin di pelarian dan diakui oleh empat puluh bangsa.
La tokoh internasional dan ini sebetulnya bisa dimanfaatkan, paling tidak oleh Amerika Serikat. Namun ternyata ia diabaikan. Akibatnya seperti yang telah terbukti, dengan enggan Cina terpaksa mengalihkan dukungannya pada Khmer Merah.
Dengan cara demikian kebijaksanaan AS justru mendukung perkembangan komunisme di Kamboja.
Sihanouk mengatakan, "Pada tahun 1972 saya menawarkan kepida Kissinger dan Nixon, melalui Zhou En-lai, perundingan untuk mengakhiri perang dan membuat Kamboja sebagai negara yang independen dan netral."
Hal ini terjadi dalam periode hubungan bulan madu AS — Cina. Lebih lanjut pangeran ini mengatakan, "Jika AS menginginkan perbaikan hubungan yang menyeluruh, Cina tidak akan mendukung Khmer Merah 100 persen."
Nixon mengatakan, "Kami akan selalu bersama Lon Nol!" Etienne Manac'h menguatkan keterangan Sihanouk mengenai usaha yang dibuat pada tahun 1972 dan 1973 untuk meyakinkan bahwa AS melakukan kesalahan besar di Kamboja dan pemecahan gaya Sihanouk merupakan cara satu-satunya untuk membendung pengaruh komunisme secara menyeluruh.
Tawaran yang sama juga disampaikan pada Kissinger dalam enam atau tujuh kunjungan, namun tampaknya Kissinger tidak terlalu mempedulikan.
Giscard d'Estaing berusaha mengingatkan kembali usul pemecahan Sihanouk pada pertemuan tingkat tinggi dengan Gerald Ford pada bulan Desember 1974.
Namun Kissinger membuat suatu komunike yang merusakkan kemungkinan untuk berunding (ada suatu kesengajaan kata Manac'h, Shawcross dan Sihanouk) dan akibatnya menyebabkan hubungan yang lebih genting antara Khmer Merah dengan sang pangeran.
Empat belas bulan setelah AS berhenti melakukan pemboman di Kamboja bulan Agustus 1973, Amerika sama sekali tidak berusaha untuk mengakhiri perang yang mengerikan ini. Pada hari-hari terakhir sebelumjatuhnya Phnom Penh tanggal 17 April 1975, Lon Nol menerima US $ 500.000 dan menyingkir ke Hawaii.
Saat itu diplomat AS di Cina bergegas ke Kedutaan Prancis dengan rencana untuk menerbangkan Sihanouk pulang dan menjamin perlindungan terhadap dirinya.
Rencananya adalah supaya pasukan dari rezim yang telah disingkirkan dapat mendukug Sihanouk dan memberikan bantuan padanya agar dapat menghadang Khmer Merah.
"Dua hari sebelum tanggal 17 April, George Bush mengirimkan pada saya sebuah surat singkat melalui pemerintah Prancis yang sama sekali tidak ditandatangani. Isinya mengundang saya untuk kembali ke Phnom Penh dengan pesawat dan pengamanan akan disediakan oleh AS. Waktu itu John Gunther Dean, Dubes AS selama pemerintahan Lon Nol, baru saja melipat bendera. Saya katakan: tidak! Dalam tahuntahun 1972 dan 1973 saya masih bisa rukun dengan siapa saja, tapi tidak mungkin setelah itu."
Etienne Manac'h mengatakan: "Tindakan itu sama saja seperti memberi obat terlambat. Si pasien, Kamboja, sudah mati. Semua ini akibat Kissinger yang congkak itu."
Walaupun berkat persekutuan dengan Sihanouk-lah Khmer Merah dapat merekrut banyak pengikut (dengan bantuan tekanan Beijing tentu saja), namun setelah menang, mereka boleh dikatakan tidak membutuhkan lagi pangeran playboy setengah tua ini.
Selama pembuangan di Beijing Sihanouk menghabiskan waktu dengan memutarkan film setengah porno untuk tokoh-tokoh puritan seperti Ieng Sary, yang merupakan orang kedua setelah Pol Pot dan wakil Khmer Merah di Beijing selama perang berkecamuk.
Sihanouk mengatakan bahwa ia tidak pernah diberi tahu secara resmi mengenai kejatuhan Phnom Penh. Ia mengetahui dari telegram yang diterimanya dalam sebuah resepsi di salah satu kedubes di Beijing. Pangeran ini baru kembali ke Beijing pada bulan Januari 1976 dan sengaja didatangkan untuk mensahkan konstitusi baru yang menghapuskan monarki.
Setelah kematian pelindung kuatnya, Zhou En-lai, Sihanouk dipecat sebagai kepala negara digantikan Khieu Samphan dan ia dipenjarakan di Kamboja selama tiga tahun. Ketika pasukan Vietnam mulai mendekati Phnom Penh dalam bulan Januari 1979 Sihanouk dibebaskan Khmer Merah dengan harapan akan memperoleh dukungan opini dunia.
Setelah bebas Sihanouk diterbangkan ke Beijing. Hanya beberapa jam setelah pendaratan sang pangeran, ibukota Kamboja jatuh ke tangan Vietnam.
Balas dendam
Kini Sihanouk banyak menghabiskan waktu untuk memberi analisa mengenai apa sebabnya ia bersekutu dengan partner-nya yang dulu dan sekarang, yaitu orang-orang yang menghancurkan tanah airnya.
"Kami orang-orang Kamboja dari Pasifik Selatan, sama dengan orang-orang Malaysia dan Indonesia, suka amok. Ras kami bermuka dua, seperti Janus, yaitu perang dan damai. Buddhisme cuma pernis, tapi di bawahnya ada api dari neraka."
Beberapa orang bertanya kepada saya: "Samdech (Bapak), mengapa engkau menganjurkan kami untuk bergabung dengan Khmer Merah?". Saya mengatakan pada mereka bahwa kita telah dibohongi. Anak-anak saya yang masih hidup ialah yang tidak percaya pada Khmer Merah.
Sihanouk mengatakan bahwa selama di penjara semua surat dan paket yang ditujukan padanya disita Khieu Samphan. "Saya tidak mendapat apa-apa. Ia menjenguk saya hanya tiga kali dalam tiga tahun".
(Mungkin Khieu Samphan balas dendam karena ia pernah diperlakukan secara kasar oleh anak buah Sihanouk. Pada tahun 1960 mereka menyergapnya di jalan. Kemudian ia ditelanjangi, dipotret dan disuruh pergi tanpa busana).
"Tentara menjaga saya secara ketat. Saya mendengar berita dari dua radio yang berkoar-koar. Pertama saya mendengarkan berita dari yang satu, kemudian dari yang kedua. Dari radiolah pertama kali saya mendengar cerita para pengungsi tentang 'pembersihan', yaitu pembantaian. Dalam resepsi-resepsi saya perhatikan bahwa selalu ada saja orang yang telah lenyap. Alasan terhindarnya saya dari maut, itu karena peringatan Deng Xiaoping pada Pol Pot. 'Jika engkau mengusik Sihanouk, maka akan habislah semua ...." Itulah sebabnya mengapa saya mengabdikan diri untuk Cina."
Pol Pot bukanlah manusia biasa. Ia seperti Caligula. Seorang gila bisa melakukan banyak kejahatan, seperti yang ada dalam sejarah. Ieng Sary bukan orang gila, dia ambisius dan paranoid. Ia menceritakan pada saya bahwa telah terjadi enam kali usaha kudeta dalam tiga tahun.
"Kedua orang ini pernah hidup bertahun-tahun dalam suasana hutan yang keras, terasing dari dunia luar, dengan hujan bom yang disiramkan AS pada mereka. Bagi mereka, yang penting adalah dapat tetap mempertahankan kekuasaan dengan segala macam cara."
"Saya pernah memberikan kepada Khmer Merah kesempatan belajar di Prancis dalam tahun 1950-an, ketika Partai Komunis Prancis sedang gandrung dengan Stalinisme, sehingga mengakibatkan mereka menjadi komunis. Tidak seorang pun saat itu menyadari bahwa mereka akan menjadi monster."
Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan pasukan penyerbu Vietnam, sisa-sisa Khmer Merah merupakan kekuatan satu-satunya yang mengusik majikan baru itu. Antara tahun 1979 dan Juni 1982, Sihanouk mencoba (walaupun sama sekali tidak berhasil) memperkuat pasukan anti komunis untuk melawan rezim Heng Samrin.
Amerika Serikat menolak untuk memberinya senjata, AS juga mengecam rezim Pol Pot, tetapi terus mendukung Khmer Merah di PBB. "Baik AS maupun negara lainnya tidak ada yang mengutuk Pol Pot," kata Sihanouk.
"Karena Khmer Merah dianggap bermanfaat oleh pihak Barat untuk memukul Vietnam. Saya tidak munafik seperti negara-negara adikuasa. Khmer Merah membantai jutaan orang Kamboja, tapi kami tetap bertahan sebagai suatu bangsa. Jika Vietnam tetap bertahan maka pada tahun 2010 tidak akan ada lagi bangsa Kamboja," katanya sambil menyebutkan laporan kolonisasi besar-besaran Vietnam yang sedang terjadi di negerinya.
Hidupnya dari belas kasihan
Baru bulanjuni 1982, pangeran tersebut setuju untuk menjadi pimpinan koalisi dari Khmer Merah, kelompok Sihanouk dan pendukung Son Sann. Son Sann itu pernah menjadi perdana menteri di bawah Sihanouk dan anti komunis.
Pasukan-pasukan Sihanouk hanya memiliki sedikit senjata. Vietnam baru-baru ini menghancurkan dua dari tiga kamp pendukungnya di sepanjang perbatasan Thai-Kamboja. Tapi Samdech masih punya kartu As, yaitu dukungan dari kaum petani.
Francois Mitterand menerima kunjungan Sihanouk pada bulan Mei 1984 dengan segala penghormatan sebagai kepala negara. Presiden Prancis ini menyebut Sihanouk sebagai kunci pemecahan masalah Kamboja.
Etienne Manac'h setuju: Sudah tentu Sihanouk mempunyai landasan yang kuat. "Saya mendapat informasi dari dalam Kamboja," kata bekas pimpinan Biro Asia Kementerian Luar Negeri Prancis.
Koalisi yang sekarang, katanya, bukanlah persekutuan yang sebenarnya, tapi tiga kelompok yang bersatu secara semu. Yang paling disesalkan oleh Sihanouk adalah bahwa Cina hanya mendukung Khmer Merah dengan memberi senjata.
Pertanyaannya adalah apakah mungkin kekuatan dapat dipusatkan pada Sihanouk, sehingga dukungan politis, diplomatis dan milker dapat diberikan kepada seluruh rakyat Kamboja?
Karena Sihanouk lebih dapat mewakili orang-orang Kamboja, daripada Khmer Merah.
Sihanouk mengakui Khmer Merah tidak banyak berubah dan sama sekali tidak menyesali kejahatan yang telah mereka perbuat.
la menolak argumen bahwa Vietnam merupakan jaminan untuk mencegah tumbuh kembalinya kekuatan Khmer Merah.
Mengapa sang pangeran masih tetap dalam persekutuan dengan Khmer Merah? Bukankah ia pernah berkata: "Saya dapat memperoleh segalanya dengan keluar dari persekutuan." Hal ini masih merupakan teka-teki. Apakah ia menunggu kesempatan rujuk dengan Khmer Merah agar dapat mengusir orang-orang Vietnam?
Orang yang mengatakan bahwa komunisme tidak berperikemanusiaan itu menghabiskan waktu beberapa tahun di bawah ketiak Kim II Sung, diktator Korea Utara. Sihanouk tidak seperti klik bekas penguasa Kamboja lainnya yang berada dalam pengasingan.
Ia tidak mempunyai kekayaan pribadi dan hidupnya bergantung pada kemurahan hati bekas kawan dan sekutunya.
Duduk di beranda kecil di vilanya, Singa Tua itu, Pangeran Kontradiksi, menghadapi masa depan yang tidak pasti. "Mereka mengatakan bahwa saya kaya. Lihatlah di sekitar Anda, hanya itulah yang saya punya," katanya.
Teh dan Coca-cola dibawa oleh salah seorang anaknya yang sudah dewasa, yang mendekati pemimpin negerinya dengan hormat, membungkuk dan menghaturkan sembah. Di sini pun, di Cote d'Azur, Sihanouk bagi orang Kamboja masih tetap memancarkan pamor raja dewa.
Kami juga menemui Sihanouk di Blue Bar yang terkenal. Ia bersama dengan dua orang keponakan laki-lakinya. Mereka ditemani orang-orang berwajah kaku. Mereka adalah orang-orang Kementerian Luar Negeri Prancis dan merupakan anggota pasukan pengawal tamu asing yang terkemuka.
Salah seorang keponakan Sihanouk yang berbadan ramping dan berkacamata, mengelola bekas kantor Sihanouk di Paris. Sedangkan yang satu lagi pernah belajar di Moskwa selama empat belas tahun.
la bercerita: "Pada tahun 1975 beberapa dari kami minta izin untuk pulang supaya dapat mengambil peranan penting dalam revolusi di Kamboja. Namun kami diperintahkan untuk tetap tinggal dan melanjutkan pelajaran, karena kata mereka negara nantinya membutuhkan kader-kader terlatih."
Sambil menyuapkan sebuah tiram ke dalam mulutnya ia tersenyum masam. "Cara terbaik untuk membuat seseorang menjadi anti komunis adalah dengan mengirimkannya ke Uni Sovyet."
Sihanouk menyeletuk "Saya lebih anti komunis dari pada Nixon dan Kissinger!"
Kata Sihanouk: "Saya menyukai Prancis, karena lebih mudah untuk mengunjungi negara lain dari situ, tapi di samping Phom Penh saya paling menyenangi Pyongyang. Ketika ditanyakan apa yang paling dirindukannya dari Phnom Penh. "Sexophone saya," katanya.
Pada pangeran umur 61 tahun ini kadang-kadang memang orang masih bisa menangkap gambaran mengenai seorang pangeran berusia delapan belas tahun, yang menitikkan air mata sewaktu dikeluarkan dari sekolah dan kemudian mendapatkan singgasana di Kamboja.
"Dulu saya seorang playboy," katanya, "tapi Korea Utara bukanlah tempat untuk playboy. Pyongyang bukanlah Cannes. (Philip Brooks)
(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1985)