Penulis
Intisari - Online.com - Meskipun ekonomi Indonesia bisa terbilang baik dibandingkan negara-negara Asia Tenggara, negara ini mengalami tingginya harga pangan dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Selama satu dekade terakhir, kebijakan pemerintah Indonesia terfokus pada swasembada pangan justru berkontribusi pada masalah ini.
Dengan kebijakan ekonomi Indonesia menjadi sorotan setelah Indonesia jadi ketua G20 untuk pertama kalinya, banyak yang berpendapat Indonesia harus menggunakan momentum ini untuk menjauh dari "nasionalisme pertanian".
Salah satunya adalah Kyle Springer, jurnalis dan pengamat hubungan bilateral Indonesia dan Australia.
Mengutip artikelnya di Lowy Institute, ia menyatakan untuk menstabilkan harga pangan dan meningkatkan taraf hidup, mengaktifkan kemitraan keamanan pangan dengan Australia menawarkan kemenangan cepat bagi Indonesia.
Australia sendiri merupakan anggota G20.
Keamanan pangan dalam pembuatan kebijakan Indonesia bersinonim dengan swasembada pangan.
Menurutnya, pemerintah telah mendorong kebijakan perdagangan dan pertanian menuju menumbuhkan cukup banyak makanan untuk memberi pangan warga sendiri, berharap bisa menghindari defisit perdagangan dan risiko dari bergantung pada rantai pasokan internasional.
Namun, hal ini telah menuntun pada kerentanan pangan yang tidak bisa dicegah.
Selanjutnya yang terjadi adalah harga meningkat, kekurangan pangan dan investasi lesu serta rendahnya inovasi dalam sektor pertanian.
Harga daging sapi kini dua kali lipat dari rujukan harga dari Bank Dunia.
Bahan pangan dasar seperti beras juga sangat mahal, dua kali lipat rata-rata global.
Kombinasi berbagai faktor berkontribusi pada masalah ini termasuk efek mengganggu dari kelangkaan akibat pandemi Covid-19.
Namun aturan kebijakan pemerintah bertujuan mencapai swasembada pangan yang dibayar dengan kemitraan perdagangan internasional adalah yang paling berbahaya.
Kebijakan-kebijakan ini juga telah menghalangi investasi asing di Indonesia yang diperlukan dalam industri pangan lokal untuk berpacu dengan pertumbuhannya yang cepat.
Kebijakan ini justru menahan ekonomi Indonesia untuk bisa pulih dari Covid-19.
Strategi apapun untuk pemulihan ekonomi Indonesia pasca Covid-19 menurut Springer harus dilandaskan pada keamanan pangan.
Harga pangan yang tidak stabil juga menyulitkan warga miskin Indonesia, dengan keluarga miskin menghabiskan 64% dari pendapatan mereka pada pangan, dibandingkan dengan 20% keluarga kaya di Indonesia yang menghabiskan 42% saja untuk pangan.
Untuk membuat kondisi lebih buruk, pandemi Covid-19 telah mendorong satu juta warga Indonesia kembali miskin.
Meskipun Indonesia bersikeras membangun swasembada pangan, Indonesia masih terus mengimpor banyak komoditas dasar, yang ditunjukkan oleh peningkatan impor lima kali lipat untuk pangan kelas tinggi dan terproses selama 20 tahun terakhir.
Namun, ini pun dilakukan dengan tangan pemerintah, menggunakan tarif dan kuota untuk membatasi ketergantungan impor.
Kini di tengah ketidakpastian ekonomi, Indonesia perlu mengubah pendekatannya dan mengembangkan kemitraan perdagangan agar menurunkan harga pangan dan bisa memenuhi permintaan domestik.
Kesepakatan Indonesia dengan Australia adalah sebuah contoh di satu tempat Indonesia berniat mengalah untuk mencapai kerjasama perdagangan dan ekonomi dengan eksportir pertanian yang bisa diuntungkan.
Springer menyebut Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) menjadikan Australia sebagai mitra keamanan pangan Indonesia.
Kesepakatan ini adalah pertama kalinya Indonesia setuju pada sistem kuota tingkat tarif (TRQ) untuk produk pertanian asing.
Artinya, produk-produk dan pedagang Australia tahu dengan pasti berapa banyak produk mereka yang akan diizinkan oleh Indonesia dengan tarif yang dikurangi atau nol.
Di bawah TRQ gandum, Indonesia memperbolehkan impor sampai 500 kiloton barley untuk tahun pertama, yang meningkat dalam tahun-tahun berikutnya.
Ternak dan sapi hidup Australia punya akses lebih besar ke pasar Indonesia di bawah kesepakatan ini juga.
Kemudian dengan Indonesia mencari cara menstabilkan harga pangan menjelang pandemi, kemitraan dengan Australia di bawah kerangka IA-CEPA akan kritis.
Namun walaupun IA-CEPA menjanjikan, beberapa masalah masih ada.
Sebuah laporan pemerintah Australia yang dirilis awal bulan ini memperingatkan walaupun kesepakatan perdagangan seperti IA-CEPA telah membantu Indonesia untuk bebas mendapat pangan bagi warga, proses aturan yang rumit terus ada untuk membuat ekspor ke Indonesia sulit.
Pengekspor Australia sering memiliki kesabaran kecil untuk kemudian pindah ke pasar yang lebih mudah dijangkau.
Baca Juga: Tingkatkan Ketahanan Pangan, Pemerintah Dorong Akes KUR untuk Petani Milenial
Australia sendiri juga perlu memperbaiki ketidakpercayaan di masa lalu untuk membangun kemitraan lebih dalam.
Larangan tiba-tiba untuk ekspor Australia tahun 2011 di bawah pemerintah Gillard telah merusak hubungan bilateral dan membuat reputasi Australia sebagai mitra yang terpercaya hancur.
Walaupun larangan itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, kerusakan jangka pendek terhadap perdagangan telah terjadi.
Sejak saat itu, Indonesia telah mengurangi ketergantungan dari impor pangan ternak sejak Desember 2011 dan ekspor tidak pulih seutuhnya sampai 2014.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini