Penulis
Intisari-Online.com - Togutil merupakansuku yang mendiami hutan diHalmahera Timur, Maluku Utara.
Saat ini, kurang lebih terdapat 21 kelompok Suku Togutil yang mendiami pedalaman Hutan Halmahera bagian tengah dan timur.
Pola hidup mereka berbeda-beda.
Sebagian telah dirumahkan oleh pemerintah dan sebagian lain masih bertahan dengan tradisi nomaden.
Pola hidup juga dipengaruhi faktor internal, ketika terdapat perselisihan antar anggota kelompok.
Melansir Kompas.com, ketergantungan Suku Togutil pada hutan cukup tinggi, bahkan hutan dalam kosmologi mereka adalah rumah, sehingga mereka melarang penebangan hutan.
Mereka memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di hutan untuk dapat bertahan hidup, baik dengan meramu sagu, dan berburu berbagai jenis binatang.
Kegiatan subsisten ini masih dipertahankan hingga sekarang.
Hutan Halmahera menyimpan sumberdaya alam yang cukup untuk kebutuhan hidup Suku Togutil dalam waktu yang cukup lama.
Namun seiring waktu pembukaan lahan dan hutan untuk kepentingan perusahaan kayu, tambang, dan aktifitas masyarakat pesisir yang merambah ke wilayah mereka.
Hal itu membuat kelompok ini makin terjepit dan tersingkir dari ruang hidup mereka.
Sumber-sumber makanan mereka pun makin sulit di dapat.
Beberapa kejadian yang dialami kelompok Akejira, salah satu nama kelompok Suku Togutil, yang menunjukan fakta tersebut benar-benar terjadi.
Sebanyak 11 anggota kelompok Akejira terpaksa harus keluar dari hutan karena kekurangan sumber pangan untuk bertahan hidup.
“Akejira sendiri saat ini berada di wilayah aktivitas perusahan tambang nikel yang menguasai wilayah hidup suku ini."
"Sementara 2 tahun lalu kelompok Woesopen (nama kelompok suku Togutil) terpaksa harus keluar meminta bantuan beras di perusahan kayu dengan alasan yang sama."
"Bahkan jika taman nasional memberlakukan aturan hukum secara ketat, dipastikan kelompok ini akan kehilangan akses pada ruang hidup dan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan tersebut,” kata Munadi Kilkoda dari AMAN Maluku Utara pada 2019 silam saat terjadi kasus penyerangan oleh Togutil.
Krisis pangan ini, jelas Munadi, akan menghantui kehidupan Suku Togutil.
Mereka harus menghadapi kekuatan luar demi mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka.
Selain itu, mereka dipaksa harus keluar dari hutan dan berbaur dengan masyarakat desa, namun sisi lain pola pendekatan yang dilakukan pemerintah jauh dari karakter, budaya dan tradisi yang mereka miliki.
Munadi mencontohkan kasus kelompok Waleino yang terpaksa memilih menetap di hutan sekalipun sudah disediakan rumah oleh Dinas Sosial.
“Pemerintah tidak benar-benar serius mendampingi kelompok tersebut. Akses pelayanan pendidikan dan kesehatan serta kebutuhan lainnya tidak dijamin terpenuhi disaat mereka dirumahkan,” ujarnya.
Hal lain yang diabaikan adalah jaminan hak hidup untuk tetap bisa memanfaatkan sumberdaya alam, serta mempertahankan tradisi dan budaya mereka sebagai sebuah identitas yang sah secara konstitusional.
(*)