Intisari-Online.com – Dalam sebuah video yang viral di media sosial, terekam aksi seorang pria yang belum diketahui identitasnya, melakukan perusakan pada sesajen makanan di lokasi bencana erupsi Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur.
Polisi kini tengah mencari pria tersebut, yang aksinya dalam video viral tersebut diiyakan ooleh Kapolres Lumajang AKBP Eka Yekti Hananto Seno, melansir kompas.com.
Menurut Eka, pihaknya saat ini masih memburu pria dalam rekaman video yang menendang sesajen tradisi ruwatan tersebut.
Diduga perusakan yang dilakukan oleh pria tersebut dengan membuang makanan itu berasal dari tradisi ruwatan warga Sumbersari, Lumajang.
Tradisi ruwatan biasanya dilakukan oleh warga untuk memohon keselamatan dan bencana usai erupsi Gunung Semeru.
Banyak warganet yang menyayangkan aksi perusakan tersebut.
Dalam video yang viral tersebut, terdengar suara pria yang mengatakan, “Ini yang membuat murka Allah, jarang sekali disadari bahwa inilah yang mengundang murka Allah hingga menurunkan adzabnya.”
Kejadian itu sangat disesalkan oleh banyak warganet, tidak hanya kepolisian yang kemudian memburu pria tersebut, bahkan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Lumajang, Muhammad Muslim, pun menyesalkan adanya tindakan dalam video tersebut.
Tindakan itu telah mencederai kerukunan beragama yang ada di Lumajang, menurut Muslim.
Tindakan tersebut telah mencederai moderasi beragama yang selama ini sudah disepakati antartokoh agama di Kabupaten Lumajang.
Bila benar aksi itu, aksi perusakan sesajen itu kemungkinan sesajen yang dilakukan oleh Suku Tengger yang berada di Lumajang.
Suku Tengger merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang disebut-sebut sebagai keturunan terakhir Majapahit, yang mendiami dataran tinggi di sekitar Pegunungan Tengger, meliputi wilayah Gunung Bromo dan Semeru.
Mengutip buku Perubahan Ekologis Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger karya Yulianti, menyebutkan bahwa secara etimologi, kata ‘tengger’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti tegak, diam tanpa bergerak.
Namun, bila dikaitkan dengan kepercayaan dalam kehidupan mereka, ‘tengger’ adalah singkatan dari tengering budi luhur.
Menurut kepercayaan Hindu di Pulau Jawa, pegunungan Tengger dianggap sebagai tempat suci yang dihuni oleh abdi spiritual dari Sang Hyang Widi Wasa, abdi ini disebut juga sebagai hulu.
Dari Prasasti Walandhit yang berangka 851 Saka atau 929 Masehi, dituliskan bahwa sebuah desa bernama Walandhit di Pegunungan Tengger adalah tempat suci yang dihuni olhe Hyang Hulun atau abdi Tuhan.
Prasasti Walandhit ini ditemukan di daerah Penanjakan (Desa Wonokitri) Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, yang berangka tahun 1327 Saka, atau 1405 M.
Rakyat di daerah Tengger masih mempertahankan identitasnya dari pengaruh Mataram, termasuk ketika harus takluk dengan pemerintah Belanda di tahun 1764.
Pada akhirnya kondisi sosial Suku Tengger berbeda dengan lainnya, karena mengisolasi diri dari luar selama bertahun-tahun, bahkan mereka masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit meski hampir semua peradaban Jawa lainnya telah didominasi ajaran Islam.
Para leluhur Suku Tengger menganut aliran kepercayaan Siwa-Buddha yang berkembang menjadi agama Hindu seperti yang dipegang oleh Suku Tengger kini.
Bagi orang Tengger, Gunung Bromo merupakan gunung suci, lokus singgasananya Dewa Brahma.
Meski demikian Suku Tengger tidak menarik diri dari masyarakat, mereka justru memiliki karakteristik budaya yang berbeda dari budaya masyarakat Jawa secara umum.
Bagi orang Tengger, semua orang didudukkan sama (padha) dan satu keturunan (sakturunan).
Konsep padha dan sakturunan inilah yang membentuk hubungan sosial masyarakat Tengger menjadi cenderung bersifat egaliter, tidak mengenal sistem stratafikasi yang kaku, tidak bergaya hidup priyayi, dan juga memiliki rasa kekeluargaan serta solidaritas sosial tinggi.
Dari penelitian Ayu Sutarto tahun 1990, tercatat bahwa hasil studi lapangan selama lima tahun melihat keluhuran masyarakat Tengger dengan hasil yang menakjubkan, yaitu angka kejahatan di desa-desa Tengger hampir dipastikan selalu nol.
Jika ada tindak kriminal maka pelakunya dipastikan bukanlah Suku Tengger, mereka adalah Wong Ngare, yang tinggal di dataran rendah.
Perilaku Suku Tengger yang jauh dari tindakan jahat ini bisa dikatakan bahwa mereka sudah mengikuti Pancasila sebagai ideologi hidup.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari