Intisari-Online.com – Coba Anda perhatikan, ada satu hal yang pasti disajikan dalam setiap acara perayaan atau syukuran secara tradisional.
Ya, nasi tumpeng sering kali menjadi hal yang utama untuk dihidangkan pada setiap acara perayaan atau syukuran di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Tidak hanya masalah menjadi utama yang dihidangkan, namun nasi tumpeng juga memiliki makna filosofis yang indah.
Nasi tumpeng sebagai bentuk representasi hubungan antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan sesamanya.
Melansir kompas.com, Dr. Ari Prasetiyo, S.S., M.Si, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, menjelaskan, “Dalam Kitab Tantupanggelaran (kitab dari zaman Majapahit) diceritakan saat Pulau Jawa terguncang.”
“Batara Guru dalam konsep Hindu memerintahkan membawa Puncak Mahameru di India untuk menstabilkan Pulau Jawa dan jadilah Gunung Semeru di Jawa Timur,” lanjutnya.
Menurut Ari, manusia memahami konsep Ketuhanan sebagai sesuatu yang besar dan tinggi serta berada di puncak.
Oleh karena itu, manusia juga percaya bahwa para dewa itu berada di Puncak Mahameru.
Maka, nasi tumpeng ini kemudian menjadi representasi dari puncak gunung atau konsep ketuhanan.
Demikianlah makna dari bentuk nasi tumpeng yang mengerucut dan menjulang tinggi (vertikal), sebagai lambang keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Setelah itu aneka lauk pauk dan sayuran diletakkan di sekeliling nasi tumpeng sebagai simbol isi alam, yang biasanya diletakkan secara horizontal.
Peletakan secara horizontal itu merupakan lambang hubungan manusia dengan sesamanya.
Sedangkan keragaman lauk pauk, menjadi lambang kehidupan dunia yang kompleks.
Kita mengenal dua warna tumpeng, yaitu kuning dan putih, yang memiliki makna berbeda.
Nasi tumpeng yang berwarna putih melambangkan kesucian, sedangkan warna kuning pada nasi tumpeng melampangkan kekayaan dan moral yang lurhur.
Beberapa lauk yang harus ada pun memiliki makna tersendiri, seperti ikan asin menandakan gotong royong, telur berarti kebulatan tekad, dan daging ayam yang menjadi simbol patuh terhadap Sang Pencipta.
Sayuran yang ada di sekeliling nasi tumpeng juga memiliki makna tersendiri, seperti kluwih, yang menjadi simbol keinginan untuk mendapatkan rezeki berlimpah-ruah.
Yang tak pernah ketinggalan adalah sayuran urap yang terdiri dari bayam, kangkung, dan toge, sebagai simbol dari kedamaian, keyakinan, serta kesuburan.
“Dalam konsep Jawa, dikenal ungkapan ‘sangkan paraning dumadi’(tahu dari mana dan akan ke mana segala makhluk, ‘mulih ing mulanira’ (kembali ke asalnya),” terang Ari.
“Agar kembali ke Tuhan atau kaitannya dengan konsep surga dan neraka, manusia harus berbuat baik dan berhati-hati dalam hidup di dunia yang penuh carut-marut seperti lambang dari lauk-pauk nasi tumpeng,” tambahnya lagi.
Nasi tumpeng ini biasanya disajikan sebagai syarat untuk menyelenggarakan upacara adat dari suku Jawa, Madura, Sunda, dan Bali.
Dan upacara adat yang dilakukan ini biasanya berkaitan dengan daur kehidupan seseorang, mulai dari kehamilan, kelahiran, perkawinan, hingga kematian, mengutip dari buku Aneka Kreasi Tumpeng.
Namun, kini nasi tumpeng pun tak hanya disajikan dalam upacara adat, tetapi juga disajikan dalam berbagai acara syukuran, seperti Hari Kemerdekaan Indonesia, yang terkadang disajikan dalam bentuk nasi tumpeng merah-putih, melambangkan warna bendera Indonesia.
Memotong tumpeng yang benar
Kalau dulu kita sering melihat memotong tumpeng dengan dipotong di bagian puncaknya terlebih dahulu baru kemduian potongan tersebut disajikan di piring dengan aneka lauk dan diberikan kepada orang yang sudah kita pilih.
Ternyata, proses pemotongan itu salah karena dianggap bisa menyalahi filosofi tumpeng.
Murdijati Gardjito, penleiti di pusat studi pandan dan gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjelaskan makna dan cara makan tumpeng yang benar, melansir kompas.com
Tumpeng yang berbentuk kerucut, lebar di bawah dan runcing di atas merupakan representasi Gunung Mahameru di India yang kemudian dipindahkan untuk menstabilkan pulau Jawa yang terguncang-guncang.
Gunung Mahameru dianggap sebagai tempat sakral, tempat bermukimnya para dewa.
Maka bagian atas tumpeng terdiri dari satu butir nasi yang merupakan simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, semakin ke bawah adalah umat dengan berbagai tingkat kelakuannya.
Menurut Murdjati, makin banyak umat yang kelakuannya tidak baik, sementara yang sempurna hanya sedikit.
Oleh karena itu, tumpeng tidak boleh dipotong puncaknya.
Memotong tumpeng di bagian puncaknya akan menyalahi filosofi tumpeng yang merupakan representasi hubungan manusia dengan Tuhan, yang berarti memotong hubungan umat dengan Tuhan.
Lauk yang berada di sekeliling bawah tumpeng pun tidak akan terambil jika memotong tumpeng di bagian puncak.
Menurut Murdjati, maka cara makan tumpen gyang benar adalha harus dimakan bersama-sama, istilahnya dikepung.
Yaitu dengan dimakan bersama-sama menggunakan tangan mulai dari bawah, diambil nasi bersamaan dengan lauknya.
Setelah itu bergeser ke puncaknya dan terus turun sampai akhirnya puncak itu menjadi satu dengan bagian dasar tumpeng.
Dengan cara memakan nasi tumpeng seperti itu memiliki arti ‘manunggaling kawulo lan Gusti’ atau ‘Sang Pencipta tempat kembali semua makhluk’.
Boleh saja menggunakan sendok cara memakan nasi tumpeng, asalkan dimulai dari bagian bawah, dan tidak lagi memotongnya di bagian puncak.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari