Penulis
Intisari - Online.com -Indonesia memiliki beragam suku bangsa dengan keunikannya sendiri-sendiri, termasuk suku Tengger yang mendiami dataran tinggi di Pegunungan Tengger, meliputi wilayah Gunung Bromo dan Semeru.
Diyakini jika suku ini menjadi salah satu peradaban yang sudah ada sejak Kerajaan Majapahit.
Masyarakat suku Tengger yakin jika nenek moyang mereka berasal dari Majapahit.
"Wong (orang) Tengger secara harfiah diterjemahkan sebagai orang-orang dataran tinggi, tanpa bisa diketahui istilah Tengger itu terglong dalam bahasa apa," tulis G.P. Rouffear, dikutip dari Suku Tengger dan Kehidupan Bromo.
Kemudian dilansir dari Perubahan Ekologis Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger karya Yulianti, secara etimologi "tengger" berasal dari bahasa Jawa yang artinya tegak, diam tanpa bergerak.
"Sedangkan apabila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, tengger merupakan singkatan dari tengering budi luhur," papar Yulianti.
Namun legenda mengenai suku Tengger tidak hanya itu saja.
Konon dari cerita rakyat, suku Tengger berasal dari Joko Seger dan Rara Anteng.
Dari sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana / Pandhita baru saja melahirkan seorang putra yang fisiknya sangat bugar dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, dan karenanya bayi tersebut diberi nama ” Joko Seger “.
Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa.
Wajahnya cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu.
Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara.
Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai “Rara Anteng”.
Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas di wajahnya.
Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.
Meski begitu, asal usul Joko Seger sendiri masih ada beberapa versi.
Mengutip situs pemerintah daerah Pasuruan, pasuruankab.go.id, sejarah Tengger sendiri dimulai kurang lebih tahun 1.115 M atau 1.037 Saka, yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Airlangga.
Kemudian saat itu ada seorang resi bernama Resi Musti Kundawa, seorang resi yang mempunyai kesaktian tinggi karena mempunyai sebuah pusaka bernama Kiai Gliyeng.
Resi Musti Kundawa kemudian diangkat menjadi senopati dan berganti nama menjadi Resi Kandang Dewa.
Resi Kandang Dewa memiliki empat orang anak: Joko Lanang, Dewi Amisani, Joko Seger, dan Dani Saka.
Hanya Joko Seger-lah yang mewarisi ilmu dan pusaka Kiai Gliyeng dari ayahnya dan menjadi pendekar pilih tanding.
Kemudian di masa Kerajaan Kediri itu ada sebuah kadipaten bernama Kadipaten Wengker (daerah Ponorogo) dipimpin oleh Adipati Surogoto.
Adipati Surogoto memiliki putri cantik bernama Dewi Ratna Wulan, sayangnya ia menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan dari kecil hingga dewasa.
Adipati Surogoto melakukan berbagai upaya untuk menyembuhkan Dewi Ratna Wulan, termasuk sayembara untuk menyembuhkan putrinya itu, yang terdengar sampai ke seluruh wilayah Kediri.
Joko Seger yang ikut mendengar berita itu memutuskan mengikuti sayembara tersbut, ia langsung pergi menuju alun-alun untuk bersemedi sambil menancapkan pusaka Kiai Gliyeng.
Semedinya membuahkan hasil jika Dewi Ratna Wulan dapat sembuh jika diberi ramuan yang terbuat dari buah delima.
Kemudian nama Dewi Ratna Wulan juga perlu diganti sesuai dengan sakitnya.
Joko Seger kemudian kembali ke kadipaten dan melaksanakan petunjuk yang sudah ia peroleh, Dewi Ratna Wulan pun sembuh setelah meminum ramuan dari Joko Seger dan namanya diganti menjadi Rara Anteng.
Adipati Surogoto merasa sangat bahagia demikian pula dengan warga Kadipaten Wengker.
Adipati Surogoto kemudian menepati janjinya untuk menikahkan anaknya dengan Joko Seger lewat upacara selamatan kuno yaitu Tasyukuran untuk kebahagiaan anaknya dan suami anaknya.
Upacara ini masih dilaksanakan sampai sekarang oleh masyarakat Tengger.
Namun di dalam pernikahan mereka, Joko Seger dan Rara Anteng tidak juga dikaruniai anak, sehingga mereka semedi di Sanggar Pamujan dan mendapat beberapa petunjuk berisi jika mereka membuat satu kesalahan yang menyebabkan mereka tidak dikaruniai anak, untuk menebusnya mereka harus mengadakan upacara Selamatan Sepasar pada bulan Mengestin.
Mengadakan sadulur papat kelima badan dan mengadakan sesuci serta melaksanakan tolak brata selama 40 hari 40 malam (dari petunjuk inilah semua upacara yang dilaksanakan oleh Joko Seger dan Roro Anteng menjadi awal dari pelaksanaan upacara adat pujan Kapat sampai megeng dukun pada bulan kapitu dimana para dukun mengadakan tolak brata untuk penyucian diri dan mengasah japa mantranya sampai pujan).
Dalam melakukan tolak brata Joko Seger dan Roro Anteng diberikan petunjuk apabila ingin mendapat keturunan mereka harus bersedi di gunung yang diselimuti kabut di daerah Oro – oro Ombo yang kemudian oleh Joko Seger dinamakan Kawasan Gunung Bromo.
Setelah turun dari semedinya mereka segera mengadakan persiapan untuk mengadakan perjalanan menuju ke arah timur, sampailah mereka ke hutan belantara.
Karena keadaan yang sudah malam mereka menginap di hutan tersebut, mereka berteduh di bawah pohon yang rindang.
Tiba – tiba seekor singa dan seekor kera menyerang mereka. Dengan kemampuan pusaka Kyai Gliyang kedua hewan tersebut menjadi jinak dan daerah itu di beri nama Ludaya.
Akhirnya tibalah mereka pada Oro-oro Ombo dan mereka bersemedi, hasilnya pun tidak sia-sia karena mereka berdua mendengar suara gaib yang berasal dan gunung di Oro – oro ombo. Bahwa mereka telah lulus ujian dan melakukan lelaku dalam rangka memohon diberi keturunan. Oleh karena itu, mereka dikaruhi anak sebanyak 25 orang dalam waktu 44 tahun.
Namun anak terakhir mereka harus menetap di Oro-oro Ombo, hal itu membuat keduanya memberi wasiat kepada dua dari anak-anak mereka agar menjaga anak terakhir sebelum Rara Anteng dan Jaka Seger kembali ke kadipaten. Di perjalanan mereka meninggalkan berbagai jimat untuk membantu perjalanan mereka.
Kemudian saat itu Majapahit baru lahir dipimpin oleh Raden Wijaya, yang juga bertekad untuk bersemedi di kawasan Bromo dan mencari jimat-jimat milik Rara Anteng dan Jaka Seger, tapi ia gagal.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini