Find Us On Social Media :

Dendam Kesumat Perang Bubat Belum Tuntas, Ayah dari Raja Terbesar Pajajaran Ini Malah Nikahi Perempuan Majapahit, Picu Pertarungan Sedarah

By K. Tatik Wardayati, Jumat, 3 Desember 2021 | 13:10 WIB

Ilustrasi Perang Bubat yang konon mejadi penyebab mitos larangan pernikahan Jawa Sunda

Intisari-Online.com –Pada 1279 Saka atau 1356 M, pada abad ke-14, Perang Bubat terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk.

Perang ini terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda.

Perat Bubat dikenal juga sebagai Pasundan Bubat.

Peristiwa Perang Bubat ini juga disebutkan dalam Cerita Parahyangan, Serat Pararaton, Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana.

Baca Juga: Enam Abad Berkuasa di Tanah Pasundan, Kalah dalam Perang Bubat Lawan Majapahit, Tersurat dalam Karya Sastra Peninggalan Kerajaan Pajajaran, Termasuk Prasasti yang Dikira Tinggalkan Harta Karun

Namun, Kitab Negarakertagama karangan Mpu Tantular yang dianggap sebagai sumber utama sejarah Majapahit, tidak menyebutkan peristiwa itu sama sekali.

Rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda, Prabu Linggabuana, merupakan awal dari terjadinya Perang Bubat.

Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Linggabuana untuk melamar putrinya dan menyatakan bahwa pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit.

Meskipun sebenarnya keberatan dengan lokasi pernikahan, namun Linggabuana tetap berangkat bersama rombongan ke Majapahit, yang kemudian diterima dan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Baca Juga: Tewas dalam Perlawanan Melawan Majapahit di Perang Bubat, Kematian Sosok Raja Sunda Galuh Ayah Dyah Pitaloka Ini Justru 'Melahirkan' Raja Terbesar Pajajaran yang 'Bertahan' Tiga Generasi

Sementara, Gajah Mada yang berambisi menguasai Kerajaan Pajajaran (Sunda) demi memenuhi Sumpah Palapa, menganggap kedatangan rombongan Sunda itu sebagai bentuk penyerahan diri.

Maka Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai upeti, dan bukan sebagai pengantin.

Mengutip dari buku Perang Bubat, tulisan Reiza Pimayandi, inilah yang memicu perselisihan antara pihak Sunda dengan Gajah Mada.

Belum juga Hayam Wuruk memberikan keputusannya, Gajah Mada telah mengerahkan pasukannya ke Pesanggrahan Bubat dan memaksa Linggabuana mengakui superioritas Majapahit.

Pihak Sunda yang tidak terima dan merasa terhina akhirnya memutuskan untuk melawan meski jumlah tentara yang mereka bawa hanya sedikit.

Dan terjadilah pertempuran tidak seimbang antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, yang memakan banyak korban.

Dikisahkan seluruh rombongan Linggabuana dikabarkan tewas, hanya tersisa Dyah Pitaloka Citraresmi, yang kemudian akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan menancapkan tusuk konde ke jantungnya.

Hayam Wuruk pun meratapi kematian Dyah Pitaloka Citraresmi dan menyesalkan tindakan Gajah Mada, yang dianggap lancang dan gegabah.

Hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun menjadi renggang, kemudian raja Majapahit itu memberikan tanah di Madakaripura, Probolinggo kepada sang Mahapatih, dengan maksud untuk mengakhiri kiprahnya sebagai mahapatih.

Baca Juga: Jadi Raja Terbesar dalam Sejarah Majapahit, Hayam Wuruk Pernah Menyulut Perang dengan Kerajaan ini Cuma Gara-gara Perkara Asmara

Namun, tidak sampai di situ, rupanya pasca kejadian Perang Bubat ini, terjadi pernikahan antara kerabat Dewa Niskala dengan salah satu pengungsi dari Majapahit.

Ini dikisahkan dalam buku Hitam Putih Pajajaran: dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran tulisan Fery Taufiq El Jaquene.

Kerajaan Majapahit yang tengah mengalami kemunduran, membuat wilayahnya diserang sehingga warganya mengungsi hingga ke Jawa Barat, ibu kota Kawali, Galuh.

Tetapi pernikahan antara raja Kerajaan Galuh dengan perempuan asal Majapahit memicu kemarahan Raja Susuktunggal.

Ketika itu Kerajaan Galuh terpecah menjadi dua bagian usai raja Galuh Rahyang Wastu mangkat.

Kerajaan Galuh kemudian terpecah menjadi dua bagian, pecahan pertama dipimpin oleh Raja Dewa Niskala, pecahan kedua dipimpin oleh Raja Susuktunggal, keduanya memiliki gelar yang sama.

Ulah Dewa Niskala yang menikah dengan perempuan Majapahit inilah yang dianggap Raja Susuktunggal melanggar perjanjian.

Ketika itu Kerajaan Sunda Galuh telah menyepakati bahwa masyarakat Sunda tidak boleh menikah dengan masyarakat Jawa, khususnya Majapahit setelah terjadi Perang Bubat.

Karena dianggap melanggar, Raja Susuktunggal melampiaskan kemarahannya, yang membuatnya bertarung melawan Raja Dewa Niskala.

Baca Juga: Kala Mahapatih Gadjah Mada Putuskan Tinggalkan Segala Urusan Duniawi Setelah Gagal Lamar Permaisuri Raja, Awal dari Akhir Kedigdayaan Majapahit

Bukan hanya masalah melanggar hukum, tetapi masalah harga diri masyarakat Sunda.

Dewan Penasihat kedua kerajaan kemudian saling bertemu, mengupayakan agar peperangan tidak berlanjut.

Mereka pun berhasil membuat kesepakatan yang saling menguntungkan.

Jalan perdamaian yang ditempuh ini dengan mengangkat penguasa baru, yaitu Prabu Jayadewata atau kita kenal dengan nama Prabu Siliwangi.

 Baca Juga: Setelah Gagal Lamar Permaisuri Raja, Patih Gadjah Mada Memilih Tinggalkan Dunia Politik dan Kekuasaan

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari