Penulis
Intisari-Online.com -Kejeniusan Gadjah Mada dalam menaklukan tanah-tanah di Nusantara di bawah kerajaan Majapahit ternoda oleh sebuah acara lamaran yang gagal.
Saat perang dan politik seolah sudah mendarah daging dalam dirinya, sang mahapatih gagal dalam menjalankan misi 'lamaran'.
Ironisnya, justru politik juga yang melandasi keinginan Gadjah Mada melamar dan peranglah yang pada akhirnya menghancurkan segala rencana besar.
Kisah yang banyak dikenal orang sebagai Perang Bubat itu, pada akhirnya mulai menggirin kaki sang mahapatih untuk keluar dari berbagai urusan duniawi, terutama perang dan politik.
Baca Juga: Kekaisaran Khmer, Monarki Raksasa di Asia Tenggara yang Tak Kalah Digdaya Dibanding Majapahit
Kendati asal-usul Gadjah Mada belum bisa dipastikan menurut Kitab Pararaton mahapatih yang mampu menyatukan seluruh kepulauan di Nusantara itu lahir sekitar tahun 1.300.
Dari cerita legenda rakyat Bali, konon Gadjah Mada tidak memiliki orang tua dan merupakan penjelmaan Sang Hiang Narajana.
Yang pasti dari sejumlah prasasti yang ditemukan para arkeolog antara daerah Malang hingga Singasari tertulis bahwa pada tahun 1321 Gadjah Mada diberitakan telah menduduki jabatan penting di Kerajaan Majapahit.
Sebelum mengabdi kepada Majapahit, semasa mudanya, Gadjah Mada dikenal sebagai pemuda yang tangkas dan pintar serta bercita-cita tinggi.
Baca Juga: Ternyata Selama Ini Kita Salah, Buah Maja, Rasanya Ternyata Tidak Sepahit Akhir Kisah Majapahit
Ia bahkan mengidamkan kejayaan Singasari yang pernah runtuh bisa bangkit kembali.
Ketangkasan dan kepintaran Gadjah Mada rupanya telah menarik perhatian seorang Patih Majapahit.
Ia kemudian diangkat sebagai anak didik dan dijodohkan dengan puteri Sang Patih yang bernama Ni Gusti Ayu Bebed.
Gadjah Mada lalu memasuki dunia keprajuritan Majapahit dan terpilih sebagai panglima pasukan khusus pengawal raja, Pasukan Bhayangkara.
Jabatan panglima atau bekel itu berlangsung pada pemerintahan Prabu Jaya Negara (1309-1328).
Dalam karirnya sebagai panglima pasukan khusus pengawal raja, Gadjah Mada dan anak buahnya berkali-kali berhasil melumpuhkan upaya untuk mendusta kekuasaan Prabu Jaya Negara.
Tantangan terbesar adalah ketika di Majapahit meletus pemberontakan yang dilancarkan oleh rekan Gadjah Mada sendiri, Ra Kuti.
Pembeontakan yang dilancarkan oleh pasukan dalam jumlah besar itu nyaris melumpuhkan Majapahit.
Namun berkat ketangguhan Pasukan Bhayangkara yang dipimpin oleh Gadjah Mada, pemberontakan Ra Kuti berhasil ditumpas.
Atas jasanya, Gadjah Mada pada tahun 1319 kemudian diangkat sebagai Patih di Kahuripan yang merupakan bagian dari wilayah penting Majapahit.
Beberapa tahun setelah sukses menjabat patih di Kahuripan, Gadjah Mada lalu diangkat sebagai patih di Kediri.
Prestasi Gadjah Mada sebagai patih di Kediri ternyata sangat membanggakan dan namanya semakin masyhur di masyarakat.
Pada tahun 1329, patih Majapahit, Aryo Tadah bermaksud mengundurkan diri dari jabatan dan menunjuk Gadjah Mada sebagai penggantinya.
Saat itu Gadjah Mada merasa belum siap dan tidak langsung menerima jabatan prestise tersebut.
Tapi atas desakan ratu Majapahit, Tribhuana Tungga Dewi Maharejasa Jayawisnuwardhana yang berkuasa dari tahun 1328-1350, Gadjah Mada menerima jabatan itu dan kemudian digelari Mahapatih Amangkubumi.
Saat menjabat sebagai patih Majapahit, Gadjah Mada mengucapkan sumpahnya yang sangat terkenal, Sumpah Palapa.
Maknanya, Gadjah Mada belum akan menikmati palapa atau rempah-rempah sebelum berhasil menyatukan seluruh Nusantara.
Sumpah itu sendiri berhasil karena pulau-pulau yang menjadi target Gadjah Mada seperrti, Pahang, Dompo, Palembang, Bali, dan lainnya berhasil dikuasai serta di persatukan di bawah kekuasaan Majapahit.
Semasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389), Gadjah Mada bahkan berhasil mengembangkan kekuasaannya sampai ke wilayah timur seperti Seram, Makasar, Buton, Sumba, Saparua, Solor, Bima, Ambon, Timor, Dompu, dan lainnya.
Tapi prestasi emas Gadjah Mada sempat ternodai oleh Perang Bubat yang melibatkan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran.
Kisahnya, Hayam Wuruk bermaksud menjadikan puteri raja Pajajaran, Dyah Pitaloka, sebagai permaisuri dan Gadjah Mada serta pasukannya dikirim untuk melamar.
Ketika rombongan Gadjah Mada sampai di daerah Bubat, mereka dicegat pasukan Pajajaran.
Gadjah Mada mengira pasukan Pajajaran merupakan pasukan penyambut tapi ternyata bukan.
Secara tiba-tiba pimpinan pasukan Pajajaran mengajukan syarat agar Hayam Wuruk sendiri yang datang menjemput calon permaisuri.
Bagi Gadjah Mada, jika Hayam Wuruk sendiri yang datang melamar itu sama saja berarti Majapahit secara politik telah ditaklukan oleh Pajajaran.
Gadjah Mada berusaha keras mengadakan negosiasi agar Pajajaran menerima dirinya.
Tapi Patih Ane Paken sebagai pemimpin pasukan Pajajaran tetap bersikeras dan perang pun pecah.
Raja Pajajaran dan puterinya akhirnya tewas dalam perang habis-habisan itu.
Sedangkan Hayam Wuruk yang kemudian tahu kejadian yang sebenarnya menjadi sangat kecewa.
Gadjah Mada sendiri kemudian mengundurkan diri dari kekuasaan sebagai patih dan dunia politik Majapahit.
Dia lalu memilih meninggalkan keduniawaian dan berlaku tapa di hutan.
Tahun 1364 Gadjah Mada meninggal dan seiring kepergiannya secara perlahan kejayaan Majapahit pun pudar.
Baca Juga: Peninggalan Majapahit: Tengkorak Manusia dan Runtuhan Menara Ditemukan di Situs Kuno Jombang