Ternyata Selama Ini Kita Salah, Buah Maja, Rasanya Ternyata Tidak Sepahit Akhir Kisah Majapahit

Tatik Ariyani

Editor

Buah Maja ternyata rasanya tidak pahit
Buah Maja ternyata rasanya tidak pahit

Intisari-Online.com –Maja (Aegle marmelos (L.) Correa, suku jeruk-jerukan atau Rutaceae) adalah tumbuhan yang berasal dari daerah Asia tropika dan subtropika.

Tanaman ini mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan yang keras, seperti suhu yang ekstrem.

Banyak orang menganggap buah Maja rasanya pahit sehingga jarang yang mengonsumsinya.

Padahal, buah maja sebetulnya berukuran relatif lebih kecil, rasanya juga tidak pahit, melainkan manis dan enak dimakan.

Baca Juga: Jadi Simbol Keberuntungan dan Kemakmuran di Berbagai Penjuru Dunia, Misteri 'Piggy Bank' alias Celengan Babi Nyatanya Mulai Terbongkar Berkat Peninggalan Majapahit

Lantas, mengapa ada nama Majapahit, maja yang pahit?

Menurut kisah yang selama ini kita percaya, buah maja terkait dengan asal-usul Kerajaan Majapahit (1293 - 1527).

Konon, saat Raden Wijaya dan para pengikutnya babat alas Tanah Tarik, mereka menemukan banyak pohon maja yang sedang berbuah.

Menurut mereka, buah yang mereka temukan itu rasanya pahit. Karena itu, mereka kemudian memberi nama daerah itu sebagai maja-pahit.

Baca Juga: Terancam Tidak ada Mudik Tahun ini Karena Corona, Ternyata Ritual Mudik Sudah Dilakukan Sejak Kerajaan Majapahit Masih Berjaya

Nama ini lantas menjadi nama kerajaan yang dipimpin Raden Wijaya, yang kemudian pada zaman Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada dianggap berhasil menyatukan wilayah Nusantara.

Kisah selanjutnya Anda pasti lebih fasih menceritakannya.

Pohon maja yang selama ini kita kenal adalah tanaman perdu dan banyak ditemukan di taman-taman.

Buahnya sebesar bola voli, berwarna hijau, dengan kulit (tempurung) sangat keras. Daging buahnya sama sekali tidak enak dimakan dan hanya digunakan sebagai bahan obat herbal.

Justru tempurungnya yang sekeras dan sekuat tempurung kelapa itu yang sering dimanfaatkan.

Bedanya ukurannya dua kali lipat, dan biasa digunakan sebagai bahan perkakas rumah tangga, mulai dari gayung air, takaran beras, sampai tempat menyimpan biji-bijian.

Dibawa bangsa Eropa

Buah yang selama ini kita kenal sebagai maja itu sebetulnya adalah berenuk, kadang dilafalkan brenuk atau bernuk (calabash tree, huingo, krabasi, atau kalebas).

Baca Juga: Kapal Iran dan Panama Ketahuan Lakukan Aktivitas Ilegal di Laut Indonesia, Terbongkar Lewat Tumpahan Minyak

Ada tiga spesies bernuk, yakni Crescentia cujete, Crescentia alata, dan Crescentia portoricensis.

Di Indonesia tumbuh berenuk spesies Crescentia cujete. Ketiga berenuk itu merupakan tanaman asli daerah tropis Benua Amerika, dan bukan tanaman asli Indonesia.

Rombongan berenuk masuk ke negeri kita karena dibawa bangsa Portugis dan Belanda. Jadi logikanya, tidak mungkin tumbuhan ini sudah ada di Jawa pada masa Kerajaan Majapahit.

Dengan kata lain, kalaupun Raden Wijaya dan anak buahnya saat itu mengklaim menemukan banyak pohon maja, sangat mungkin pohon maja itu bukan berenuk.

Berenuk spesies Crescentia alata berbentuk sama dengan Crescentia cujete, cuma ukuran buahnya saja yang lebih kecil.

Bentuk buahnya memanjang seperti labu air, berwarna hijau tua. Sering dijumpai tumbuh liar di halaman rumah atau kebun, juga sebagai tanaman peneduh jalan atau di taman perkotaan.

Bentuk tanaman, tajuk (percabangan), serta buah yang indah memang membuatnya cocok digunakan sebagai tanaman hias di taman.

Apalagi ketika ia sedang berbuah sangat lebat. Bentuk buahnya yang bulat, warnanya yang hijau segar serta ukurannya yang besar membuat buah ini kelihatan indah.

Baca Juga: Sekali Dapat Selat Malaka Maka Samudera Hindia Bisa Jatuh ke China, Begini Rencana Tiongkok Menguasai Dunia Lewat Jalur Perdagangan Laut, Bagaimana Upaya Indonesia?

Ada juga maja asli Indonesia yang disebut bael (Aegle marmelos). Genus Aegle terdiri atas enam spesies: Aegle barteri, Aegle correa, Aegle decandra, Aegle glutinosa, Aegle marmelos, dan Aegle sepiaria.

Dari enam spesies ini, yang merupakan tanaman penting hanya Aegle marmelos. Selain disebut maja, tanaman ini juga dinamai maja batu atau maja manis.

Penambahan kata manis di sini jelas untuk membedakannya dari maja yang memang selama ini kita kenal berasa pahit.

Habitat asli bael tersebar mulai dari Pakistan, India, tenggara Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Selain disebut bael, di negara-negara habitatnya, buah ini juga disebut Bilva, Bilwa, Bel, Koovalam, Koovalam, Madtoum, Beli Fruit, Bengal quince, Stone apple, atau Wood apple.

Di Jawa, tanaman maja tumbuh di dataran rendah, terutama di kawasan yang beriklim sangat kering.

Kawasan sekitar Mojokerto (lokasi bekas Kerajaan Majapahit), memang habitat tanaman maja.

Antara maja dan berenuk saja sudah berbeda sosoknya. Percabangan bernuk mengarah ke samping, sementara tajuk maja tumbuh menjulang ke atas.

Pohon maja bisa tumbuh sampai setinggi 20 m. Kayunya sangat keras. Tajuknya mirip dengan tanaman kawista (Limonia swingle) dan asam keranji {Dialium indum), tapi daun maja sedikit lebih lebar dari keduanya.

Koleksi tanaman maja Aegle marmelos di Indonesia bisa kita temui di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur, yang terletak di antara jalan raya Surabaya - Malang.

Kalau dilihat sekilas, tanaman ini mirip kawista yang kalau dijadikan sirup rasanya hampir mirip coca cola itu.

Bedanya, kawista adalah tanaman pendatang dari India, sedangkan maja termasuk tanaman asli Indonesia sekalipun tanaman ini lebih dikenal berasal dari India.

Bunga maja sangat harum. Saat tanaman ini berbunga, aroma wanginya bisa tercium dari jarak beberapa meter.

Buah maja Aegle marmelos berbentuk bulat agak lonjong, dengan tonjolan di bagian pangkalnya, kulitnya halus, berwarna cokelat gelap.

Diameter buah antara 5 - 12 cm, lebih kecil daripada ukuran buah maja yang rasanya pahit, ukurannya bisa sebesar bola voli.

Buah maja juga tampak mirip dengan kawista. Maklum, keduanya memang masih bersaudara. Dua tanaman ini memang masih sama-sama famili Rutaceae.

Buah maja maupun kawista juga bertempurung sangat keras. Tekstur buah serta biji maja juga mirip kawista.

Bedanya, buah kawista berbentuk bulat sempurna, bagian pangkalnya tidak menonjol, kulit buahnya kasar, warnanya abu-abu.

Titisan Dewa Syiwa

Di Pakistan, India, Srilanka, Nepal, dan Bangladesh, buah maja punya peran penting dalam budaya masyarakat setempat.

Di masyarakat wilayah Asia Selatan itu, daging buah maja biasa dikonsumsi baik dalam keadaan segar maupun sudah dikeringkan. Daging buahnya bisa dijadikan jus atau sharbat.

Sharbat adalah minuman tradisional terbuat dari daging buah maja yang dihaluskan lalu dicampur dengan air, gula (atau sirup), kadang ditambah susu dan es.

Mereka yang meminum biasanya punya masalah dengan buang air besar atau terkena gangguan pencernaan. Biar BAB lancar gitu loh!

Selain dikonsumsi dalam keadaan segar, daging buah maja juga bisa dikonsumsi setelah dikeringkan lebih dulu. Daging buah diiris-iris lalu dikeringkan dengan sinar Matahari.

Irisan daging buah yang telah kering selanjutnya direbus dengan air dan rebusannya inilah yang diminum.

Daun tanaman ini juga bisa dikonsumsi. Pucuk daun tanaman maja merupakan sayuran yang populer di negara-negara Asia Selatan.

Dalam ilmu pengobatan tradisional India (ayurveda), maja dipercaya bisa mengobati berbagai gangguan kesehatan, antara lain demam dan gangguan pencernaan, terutama sembelit kronis.

Dalam tradisi Hindu, maja merupakan tumbuhan "titisan" Hyang Syiwa. Karena itu tanaman maja selalu ada di halaman pura Hindu.

Selain pucuknya untuk sayuran, daun maja juga merupakan perangkat ritual penting dalam agama Hindu.

Di Nepal, buah maja dipakai dalam ritual upacara perkawinan. Buah ini dianggap sebagai penjelmaan Hyang Syiwa.

Karena itu, saat prosesi pernikahan, sang gadis dianggap menikah dengan Hyang Syiwa, bukan dengan suaminya. Ritual ini bertujuan untuk memperoleh kesuburan (keturunan) dari Hyang Syiwa.

Apabila sang suami meninggal, perempuan itu tidak perlu malu berstatus janda, sebab ia tetap menjadi istri Hyang Syiwa.

Modal buah maja

Dari kesakralan buah maja inilah diduga nama Majapahit berasal. Seperti kita tahu, dalam tradisi Hindu Jawa, banyak nama tokoh menggunakan nama binatang atau tumbuhan, seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Mahesa Wong Ateleng, dan Iain-lain.

Karena itu tidak mengherankan nama buah sakral ini pun dipakai sebagai nama kerajaan. Kita tahu, Majapahit adalah kerajaan Hindu.

Lalu bagaimana dengan kisah tentang Raden Wijaya dan anak buahnya? Menurut legenda yang selama ini kita anggap benar, saat para pengikut Raden Wijaya lapar dan haus sewaktu membuka Tanah Tarik, mereka makan buah maja yang rasanya pahit.

Kemudian mereka sepakat memberi nama Tanah Tarik sebagai Majapahit.

Cerita inilah yang kita dengar di sandiwara radio, di sinetron, termasuk di dalam novel-novel cerita tentang Majapahit. Diduga kuat, cerita ini hanya rekaan.

Versi lain yang mungkin lebih bisa dipercaya mengatakan, kata "pahit" dalam nama Majapahit bukan berasal dari kata pait yang bukan berarti rasa pahit, tapi kata pait yang berarti modal.

Dalam bahasa Jawa, Majapahit dilafalkan majapait (tanpa bunyi "H"). Pait (atau pawii) dalam bahasa Jawa sebenarnya punya beberapa makna.

Makna utama memang rasa pahit, namun juga bisa berarti modal. Jadi Majapahit bukan maja yang rasanya pahit, tetapi maja yang dijadikan modal karena kesakralannya.

Entah mana yang lebih bisa dipercaya dari dua versi ini, wallahu a'lam.

Tanaman ini bukan hanya punya nilai historis tinggi bagi Indonesia, tetapi juga bisa menjadi komoditas buah yang menarik.

Pemerintah, terutama Pemerintah Provinsi Jawa Timur, terlebih lagi Pemerintah Daerah Mojokerto, mestinya memperhatikan nasib tanaman ini.

Mestinya, maja menjadi tanaman yang bisa dijumpai di sepanjang jalan di sekitar situs Majapahit sehingga bisa menjadi ikon Mojokerto.

Sama halnya dengan kawista yang sudah menjadi buah khas Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Tanaman maja (mestinya) menjadi tanaman khas Mojokerto. Sehingga, mereka yang mengunjungi situs Majapahit bisa sekaligus mengenal tanaman ini. Buah maja? Ya Mojokerto. Begitu, mestinya. (Teguh Jiwabrata)

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2009)

Artikel Terkait