Penulis
Intisari-online.com -Tahun 2020 lalu, dunia sudah melihat betapa agresifnya militer angkatan laut China.
Perairan internasional diburu oleh China untuk segera dikuasai.
Aksi mereka secara brutal dilaksanakan di Laut China Selatan, dan juga secara luas China pun mulai melirik Samudra Hindia.
Sebenarnya China berhak-berhak saja untuk berlayar di Samudra Hindia, tapi hal itu membuat negara lain cukup curiga.
Seperti yang dialami oleh India.
Dilaporkan dari The Economic Times, sebuah artikel Desember 2020 lalu melaporkan kemungkinan China mendominasi Samudra Hindia.
Hal ini dimulai dari pengiriman kapal perang China ke Teluk Aden.
Mereka mengirimkan kapal perang ke sana untuk bergabung dengan upaya menangani bajak laut.
Trio kapal perang pertama kali datang pada Desember 2008, dan gugus tugas telah sering berada di sana sejak itu.
Selanjutnya kapal perang China tetap ada meskipun serangan bajak laut sudah tidak ada di seluruh wilayah itu.
Namun, aset seperti itu juga telah digunakan untuk operasi evakuasi tanpa perang di Yaman dan Libya, dan kapal juga tersedia untuk operasi bantuan kemanusiaan.
Tidak heran jika China khawatir mengenai perlindungan wilayah lautnya, sebuah jalur yang membawa bahan mentah (9,3 juta barel minyak per hari, dengan 44% impor minyak China datang dari Timur Tengah di tahun 2018) dan terus dikirim dalam bentuk produk jadi ke Afrika dan Eropa (20% dari GDP China).
Baca Juga: Ini Alasan China Kepincut Setengah Mati oleh Timor Leste, Ternyata Bukan untuk Adang Australia
Pakar menyebut ini sebagai jalur komunikasi laut (SLOC) dan Beijing ingin melindunginya dari ancaman di masa damai melawan kekuatan yang bisa menyebabkan perang.
Investasi ekonomi China terus tumbuh, seiring dengan diaspora warganya.
Timur Tengah dan Afrika menjadi bagian penting proyek Xi Jinping untuk menguasai dunia, yaitu Belt and Road Initiative.
Kepentingan ini terlihat dari fakta Xi telah mengunjungi wilayah itu 18 kali sejak ia memimpin di tahun 2012 lalu.
Lebih jauh lagi, ada titik-titik penting dalam SLOC, lokasi di mana kapal-kapal berlabuh sebentar dan menjadi rentan.
Titik paling utama adalah Selat Malaka yang terletak antara Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Titik lainnya adalah Selat Hormuz, Bab-el-Mandab dan Terusan Suez.
Kepentingan China di Samudra Hindia adalah produk dari tumbuhnya kepentingan komersial, dengan militer China diberi tugas menjaga mereka.
Hal ini bukanlah kekhawatiran baru, karena Laporan Pertahanan Beijing 2015 lalu sudah nyatakan jika "dengan tumbuhnya kepentingan nasional China, keamanan nasionalnya lebih rentan terhadap pergolakan internasional dan regional…dan keamanan kepentingan luar negerinya terkait energi dan sumber daya alam, komunikasi strategis lewat jalur laut seperti halnya institusi, personil dan aset di luar negeri telah menjadi isu penting."
Faktanya, tiga faktor kritis mempengaruhi bagaimana China dapat memproyeksikan kekuatannya, melindungi SLOC dan menjaga titik-titik itu tetap terbuka.
Militer China, PLA, sesungguhnya sadar akan tiga hal itu, dan banyak upaya dilakukan untuk mengurangi kerugian yang saat ini ada.
Pertama adalah kehadiran angkatan laut China di Samudra Hindia, dibandingkan dengan kehadiran India dan AS sendiri di sana, mereka hadir dengan intensitas yang tidak begitu sering.
Kedua adalah pertahanan udara angkatan laut China yang terbatas dan kapasitas kapal perang anti-kapal selam.
Ketiga adalah logistik China cukup terbatas di sepanjang periferal Samudra Hindia.
Jika China berniat mendominasi Samudera Hindia, mereka harusnya menangani kekurangan itu.
Menariknya, US Naval War College Desember lalu juga mempublikasikan laporan yang menyatakan penguatan militer angkatan laut China di Samudra Hindia.
Ditulis oleh Jeffrey Becker, laporan menuliskan Mengamankan Garis Hidup China di sepanjang Samudra Hindia menyediakan gambaran mengenai ambisi China.
Laporan itu juga merangkum tindakan China : "Untuk menangani tantangan ini, Beijing telah lakukan rangkaian inisiatif, termasuk meluaskan kemampuan pangkalan militer China di Djibouti dan meningkatkan kemampuan kapal komersial negara untuk mengirimkan bantuan logistik.
"Bukti tunjukkan jika China juga mengejar kebijakan lain, seperti meningkatkan jumlah aset canggih angkatan laut dikirim ke wilayah itu dan membangun fasilitas militer luar negeri tambahan."
Becker tapi juga mengakui, "meskipun kemampuan angkatan laut beroperasi di Samudra Hindia meningkat secara drastis, kemampuan untuk memproyeksikan kekuatannya di wilayah itu dan mempertahankan akses SLOC mereka di waktu krisis tetap terbatas."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini