Menjelang tengah hari Che minta ketemu dengan Julia. Che tahu bahwa sebentar lagi ia akan dibunuh. Apa yang hendak dikatakannya sebelum meninggal? Tetapi Julia tak mau datang.
“Saya tidak tahu mengapa, mungkin karena saya tak berani menatap matanya. Saya menyesal sekali tak mengabulkan permintaannya yang terakhir,” tutur Julia.
Pada saat-saat terakhir ini helikopter angkatan darat terus menerus naik turun di La Higuera, membawa jenderal-jenderal, kolonel-kolonel, dan pejabat-pejabat penting lainnya yang ingin bertemu muka dengan Che dan coba memancing sesuatu dari mulutnya.
Satu per satu mereka berdefile di depan orang yang tak gentar menghadapi maut ini. Dan mereka semua tahu bahwa tak mungkin membuka mulut Che.
Yang dapat mereka harapkan hanyalah kata-kata pedas dan pandangan penuh cemooh.
Lama kelamaan perasaan menang pada para perwira berubah menjadi kemarahan yang tak berdaya.
Che duduk di atas bangku, kedua tangannya terbelenggu, punggung membelakangi tembok.
Usaha untuk membuka mulutnya diteruskan. Salah satu yang terakhir menemui Che adalah Laksamana Muda Hugarteche.
Begitu masuk ruangan, perwira tinggi ini segera mundur marah-marah. Mukanya diludahi Che.
Keputusan terakhir telah dijatuhkan oleh para atasan. Tinggal menunggu pelaksanaannya.
Jam 13 Che bangun. Ia mendengar suara gaduh di luar ruangan. Ternyata tentara-tentara yang sedang bertengkar.
“Saya yang pergi,” kata seorang di antara mereka. “Saya dulu,” tukas yang lain.
“Kau, kau mengerjakan Willy dan “El Maestro", teriak seorang lagi. “El Maestro" adalah salah seorang anak buah setia dari Che.
Pintu kamar Che terbuka. Opsir muda Mario Teran masuk, tangannya memegang karaben M2.
“Ayo duduk,” perintahnya. “Untuk apa,” jawab Che tenang, “aku toh akan kau bunuh.”
“Tidak, ayo duduk,” kata Mario.
Sambil memandang ke bawah untuk menghindari tatapan mata tawanannya, Mario berpaling, pura-pura hendak pergi.
Tetapi tiba-tiba ia berbalik sambil memberondongkan pelurunya. Che rebah. Dibelakangnya pada tembok peluru membuat dua lobang berdarah sebesar tinju.
Kemudian Perez masuk memegang revolver, untuk mengakhiri sakratul maut Che dengan tembakan ditengkuknya.
Sesudah itu masih masuk dua tiga orang yang ingin menembakkan peluru pula pada gerilyawan ulung yang lama tak terkalahkan itu.
Diperbolehkan Perez asal tembakan itu tidak di atas pinggang. Maka peluru diarahkan pada kaki almarhum. Che sudah tak bernyawa.
Seorang opsir membuka pantalon dan jasnya untuk menghitung Iuka-lukanya. Lima di kaki, satu di perut sebelah kiri, satu di kerongkong, satu di bahu kanan, dan satu lagi di lengan kanan.
Sesaat setelah Che Ernesto Guevara meninggal, seorang wanita datang membawa air untuk membersihkan muka almarhum.
“Alangkah indah wajahnya. Seperti seorang nabi,” gumam wanita yang memberikan jasa terakhir itu. (Paris Match 30 Des. 1967).
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1968)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR