Baca juga: Kisah Cinta Fatmawati dengan Bung Karno dalam Buku Harian yang Ditulisnya Sendiri
Generasi sekarang tak kenal, siapa dia PID? Semacam kenpetai atau gestapo. Oleh pemerintah penjajahan ditugaskan menguntit terus-menerus pemimpin-pemimpin pergerakan, karena mereka dianggap “perusuh".
Berat juga tugas PID. Kemanapun “tuannya" pergi harus selalu diikuti, tak peduli hujan atau panas. Mereka setia menunggu di depan rumah. Tak jarang yang harus dijaga iba hati, dipersilahkannya mereka masuk rumah.
Diberi minuman, obrolan akhirnja penerangan dan diskusi tentang kemerdekaan. Beberapa dari mereka terkena “wabah kemerdekaan" dan sadar yang mereka jaga bukanlah “pengacau ketertiban dan keamanan umum” melainkan pembela rakyat. Maka bertobatlah menjadi pengikut pergerakan kemerdekaan. Senjata makan tuan!
Boleh piato, tetapi harus minta izin lebih dulu! Boleh pidato, tetapi tanpa mengucapkan kata merdeka. Ini siasat pemerintah penjajahan. Sebagai bangsa yang “demokratis", mereka tidak melarang terang-terangan kemerdekaan berbicara tetapi dicarinya cara licin untuk menjerat dan mencapai tujuannya.
Baca juga: Terkenal Gagah Berani, Bung Karno Ternyata Tidak Tegaan Melihat Binatang Tersiksa atau Diburu
Sekali waktu pada tahun 1928 Bung Karno minta ijin pidato pada kantor polisi Solo. la harus pidato menjelaskan asas dan tujuan PNI. Jelas pada Anggaran Dasarnya tertulis, tujuan PNI kemerdekaan. Tetapi kata itu tabu, tak boleb disebut. Tak kurang akal!
Mulailah Bung Karno berpidato: “Rakjat Indonesia, kamu harus menjadi seperti orang Belanda di negeri Belanda, harus menjadi seperti orang Jerman dinegeri Jerman . . . ".
Mula-mula hadirin tidak mengerti maksudnya, kemudian tahu juga. Orang Belanda di negerinya bangsa yang merdeka, begitu pula orang Jerman. Jadi kita pun harus seperti mereka, merdeka.
Maka bersorak-soraklah mereka menyambut pidato itu.
Baca juga: Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka
PID gigit jari, tak dapat berbuat apa-apa, karena Bung Karno tak mengucapkan sepatah pun kata merdeka.
Lain lagi pengalaman Bung Hafta. Bersama seorang rekan, ia menghadiri rapat di kota Jawa Timur. Berlaku syarat yang sama. Rekan itu berpidato tanpa menyebut merdeka pada mulanya.
Tetapi ditengah-tengah ia menjadi bersemangat dan berapi-api sehingga khilaf mengucapkan kata-kata merdeka. Hadirin menyambut hangat. Juga PID, yang segera bertindak membubarkan rapat.
Baca juga: Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR