Dr. Cipto meneruskan perjuangannya. Akhirnja dibuang ke Banda. Di sana ia sesakitan. Belanda berkata: Kau saya bebaskan tetapi dengan satu syarat, jangan Iagi turut pergerakan. Syarat ditolak mentah, Dr. Cipto lebih suka terus menderita.
Banjak jalan ditempuh oleh pemerintah penjadjahan untuk menakuti dan mengendorkan semangat kaum nasionalis.
Seorang guru kepala HIK dipecat karena ia menjadi anggota partai nasional. Ia kehilangan gaji 350 gulden setiap bulan. Hampir-hampir pecah keluarganya, karena peristiwa itu. Tetapi Sanusi Pane – demikianlah nama guru kepala itu - tetap teguh pada pendiriannya. Ia menang, keluarganya insaf dan tetap tegak disampingnya.
Seorang pejuang kemerdekaan Iain menggadaikan seluruh harta miliknya. Ya, seluruh harta miliknya, hanya karena ia harus membantu teman seperjuangan. Siapa orang itu ?
Nayoan, seorang pemimpin komunis pada tahun dua puluhan yang kemudian dibuang ke Digul dan meninggal di sana.
Kehidupan ekonomi kaum “ekstremis" umumnya morat-marit. Sumber keuangan tak menentu. Setiap waktu dapat dipecat dari pekerjaannya dan dimasukkan penjara. Kalau polisi Belanda menggeledah rumahnya, hampir selalu di ketemukan surat gadai.
Baca juga: Harapan Bung Karno Kalau Bendera Pusaka Sudah Terlalu Usang dan Tidak Bisa Dikibarkan Lagi
Anak-anaknya dipersulit masuk sekolah pemerintah, jabatan-jabatan tertentu tertutup baginya, malahan seperti contoh diatas diasingkan dari lingkungan keluarganya sendiri. Tak semua orang berani bergaul dengan mereka.
Tetapi diantara mereka sendiri, tumbuh kesetiakawanan yang mengharukan, Kalau suami masuk pendjara atau menganggur, anak dan isteri menjadi tanggungan bersama.
Lain lagi pengalaman Liem Koen Hian, seorang penulis yang terkenal tajam penanya. Ia seorang nasionalis. Pada suatu hari dituntut dimuka pengadilan, karena tulisannya dituduh menghina. Hakim menjatuhkan hukuman.
Beberapa tahun kemudian, Liem harus maju ujian. Ia seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Pengujinya? Hakim yang dulu menjatuhi hukuman. Apa boleh buat. Keduanya pura-pura tak saling mengenal.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR