Advertorial
Intisari-Online.com – Tulisan berikut ini dicukil dari Buku Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno yang ditulis oleh Fatmawati, diterbitkan oleh Sinar Harapan, 1983.
Cukilan bukunya pernah dimuat di Majalah HAI edisi 20-IX-1985, dengan judul asli Pengalaman Otentik dari Istana Negara.
Hingga kini, memang belum banyak kita temukan buku yang berbentuk otobiografi tokoh wanita.
Buku biografi para pejuang wanita memang ada kita temukan, tetapi khusus mengenai otobiografi benar-benar sangat langka.
Buku Fatmawati Ini termasuk yang menarik perhatian, karena ia merupakan otobiografi, kenang-kenangan beliau semenjak kanak-kanak hingga memasuki Istana Negara di Jakarta, dan kemudian keluar dari Istana atas suatu prinsip yang dianutnya.
Dan itu semua dicatatnya dalam bentuk tulisan yang bisa kita telusuri seperti kita menyusuri sebuah bentangan jalan.
Baca juga: Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno
Hampir dapat dipastikan bahwa bagi masyarakat kita yang telah berusia sekitar 20 tahun kini telah mengenai Fatmawati Ibu Negara Rl (Pertama).
Beliau dilahirkan di Bengkulu pada hari Senin, 5 Februari 1923, puteri pertama Hassan Din. Ibunya Siti Chadijah. Mereka hidup secara sederhana di kota Bengkulu, yang waktu itu merupakan karesidenan daiam kawasan Sumatera Selatan.
Sebagai karyawan Borsumny (Borney — Sumatra Ulaatschapy) memang kehidupan keluarga ini tidaklah kekurangan, tetapi jelas mereka bukanlah keluarga berada. Tetapi Hassan Din sendiri adalah orang yang terpandang di Bengkulu karena ia tokoh pergerakan Muhammadiyah.
Sebenarnya sejak kecil itu, Ibu Fatmawati telah diramalkan (saat itu usianya 4 tahun, tahun 1927), bahwa ia akan menjadi seorang istri orang besar Indonesia, walau mereka sendiri tidak percaya.
Baca juga: Maksud Hati Ingin Curhat eh Fatmawati Malah Ditembak Bung Karno dengan Pernyataan Cinta
Ternyata benar, sebab saat pembuangan Bung Karno, di mana pada akhirnya Fatmawati dititipkan untuk tinggal dengan keluarga Bung Karno ke Bengkulu pula, Bung Karno mempunyai anak angkat yang sebaya dengan Bu Fat, yaitu Ratna Djuwani (yang kemudian menjadi istri Asmara Hadi).
Dari sini berkembanglah cinta antara Bu Fatmawati dengan Bung Karno, walaupun saat itu Bung Karno telah menikah dengan Bu Inggit Garnasih. Tetapi karena Bu Inggit tidak punya anak, merupakan alasan yang tepat bagi Bung Karno untuk mengambil seorang istri lagi, dan pilihannya jatuh pada Bu Fat, yang waktu itu masih berusia 18 tahun.
Dan dalam buku Ku Antar ke Gerbang susunan Ramadhan KH, Ibu Inggit menceritakan perasaannya saat mengetahui hubungan Bung Karno dengan Fatmawati. Dan karena Bu Fatmawati tidak mau dimadu, ia mintai cerai.
Ternyata setelah Bung Karno menikah dengan Bu Fat, beliau memperoleh putra-putri. Jadi apa yang diinginkan oleh Bung Karno yaitu anak, telah terpenuhi.
Baca juga: Gara-gara Harus Memberikan Sumbangan pada Bung Karno, Diturunkan Pangkatnya di Istana Merdeka
Buku ini memang catatan harian, yang melukiskan pengalamannya selama menjadi istri Bung Karno, sehingga dapat diikuti secara kronologis.
Karena itu pula buku ini dibagi dalam periode-periode, misalnya periode Bengkulu, periode zaman Jepang, periode Yogjakarta, periode Istana Merdeka, periode Sriwijaya, yaitu suatu masa di mana Bu Fat meninggalkan istana Merdeka karena beliau memprotes perkawinan Bung Karno dengan Ibu Hartini.
Setiap bagiannya dihiasi dengan foto-foto dalam periode tersebut dan memang karena sifatnya merupakan buku harian, pemaparannya subyektif sekali.
Bu Fat menulis dengan jujur dan dengan cara yang sederhana, mengabadikan apa-apa yang terpikir dan terasa, apa yang terjadi dan yang kejadiannya diketahui, sehingga ia merupakan kisah-kisah yang otentik.
Baca juga: Terbiasa Hidup Susah, Bung Karno Pun Jadi 'Penyelundup' Saat Diasingkan ke Flores
Setelah Bung karno dengan resmi bercerai dengan Ibu Inggit, secara resmi Bung Karno melamar Ibu Fatmawati dan mereka menikah secara sederhana, juga bagaimana pengalamannya diculik para pemuda ketika menjelang hari Proklamasi.
Mereka dibawa ke Rengas Dengklok. Dan menarik juga kisah bendera pusaka yang dijahit Bu Fat, yang sekarang tidak lagi dikibarkan, karena sudah tua. Bendera itu sebenarnya dijahit tanpa mengetahui tujuannya yang sebenarnya.
Dengan nada yang sederhana Bu Fat menulis kejadian itu begini, "Pada waktu hamil, pernah aku bermimpi ada pedang putih (seperti samurai) turun dari langit suatu hari, tatkala kandunganku berusia 9 bulan, datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok. Yang satu blok berwarna merah, sedang yang lain berwarna putih.
Mungkin dari kantor Jawa Hokokai. Mempergunakan jahit tangan aku buat sehelai bendera merah putih yang besar, sebab tidak bolah lagi mempergunakan jahit kaki".
Baca juga: Bukan karena Dibentak, para Pengawal Justru akan Gemetar Jika Bung Karno Sudah Pegang Sapu
Kemudian bendera itu terpakai saat proklamasi dikumandangkan. Ibu Fat menulis ulang tentang suasana itu dengan mengesankan begini: "Setelah selesai memberikan pidatonya mulailah Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Aku lihat beberapa orang mengucurkan air mata, gembira bercampur haru. Tampak olehku Pak Suwiryo terisak-isak, demikian juga aku sendiri. Saat itu aku melihat banyak lelaki yang mengucurkan air mata. Aku lihat Bung Karno dan Bung Hatta bersalaman, sementara itu Pak Latief Hendraningrat mempersiapkan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Aku bersama-sama dengan S.K. Trimurti menuju ke tiang Bendera. Upacara bendera dipimpin oleh Pak Latief dengan diiringi lagu Indonesia Raya, tanpa musik."
Masa-masa di Yogyakarta adalah masa yang sukar. Karena masa itu adalah masa yang setiap saat menyabung nyawa.
Baca juga: Saat Bung Karno Terseret Mobil dan Tangannya Terjepit Pintu Mobil
Misalnya saja aksi militer Belanda pertama dan kedua yang meminta korban nyawa dan harta benda.
Bu Fat termasuk orang terjun langsung dalam kancah perjuangan itu, di mana dia punya andil yang cukup besar bagi Revolusi, karena secara langsung bersama Bung Karno dan pemimpin masuk dalam arus pemerintahan dan medan laga.
Sebagai Ibu Negara, mau tidak mau setiap saat siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Dan dengan mencatat berbagai peristiwa yang dialami dan dilihat, diketahui dalam buku ini secara jujur, ia dapat dijadikan patokan sejarah.
Walaupun buku ini tidak dimaksudkan pengarangnya sebagai buku sejarah, tidak juga karya ilmiah. Hal tersebut dinyatakan Bu Fat secara jujur.
Memang di sinilah harga buku ini, ia jadi berarti karena diangkat dari pengalaman yang otentik, tanpa interpretasi dan tanpa polesan yang bergagah-gagah.
la ditulis seperti apa adanya. Ia adalah kesaksian hidup dari orang yang pernah berperan di dalam sejarah perjuangan bangsa kita.
Saya kira, buku seperti ini besar artinya bagi kita, khususnya bagi kaum wanita. agar kita dapat melihat bagaimana para pendahulu kita. Khususnya mereka yang punya arti bagi nusa dan bangsa. (Parwantoro)
Baca juga: Dwitunggal yang Akhirnya Tanggal: Saat Bung Hatta Berpisah Jalan dengan Bung Karno