Pekerjaan fisik yang berat juga suhu musim dingin di Jerman membuat banyak dari teman-teman Ambar gampang sakit, tetapi beberapa dari mereka tidak diperbolehkan cuti saat sakit.
Apartemen tempat Ambar tinggal selama di Jerman pun diisi oleh 20 orang yang dipatok dengan harga mahal dengan fasilitas yang tidak memadai.
Bagi Nita, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.
“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujarnya.
Padahal, pihak kampus sebelumnya meminta Nita dan rekan-rekannya untuk cukup fokus berkegiatan di Jerman dan masalah konversi nilai bisa dibicarakan nanti.
“Kami mahasiswa sudah lelah mau tuntut ini-itu,” ujarnya.
Ambar dan Nita sama-sama enggan menyebut nama universitas ataupun nama kota di Jerman tempat mereka tinggal dan magang.
Menurut Ambar, tempat kota dirinya dan rekan-rekan magang sangat spesifik sehingga membuatnya akan mudah dilacak.
Salah satu yang menjadi persoalan para korban mahasiswa ini adalah soal dana talangan.
Menurut Nita, dana talangan mencapai Rp 37 juta termasuk biaya awal dan tiket pulang-pergi.
Dia mengatakan pemasukannya selama kerja di Jerman bahkan tidak bisa menutup biaya ini.
“Padahal sosialisasi dari pihak penyelenggara, gaji itu bisa menutup dana talangan. Saya pribadi dan teman-teman saya belum bayar (dana talangan) tapi pihak kampus menyuruh kami untuk segera membayar,” ujarnya.
Nita juga mengecek kabar dari rekan-rekannya di kampus lain – cerita mereka bervariasi.
“Aku enggak bakal nyebut kampus apa, tapi ada kampus yang bilang kalau mahasiswanya tidak membayar dana talang, mahasiswanya enggak boleh masuk kuliah. Tapi ada juga kampus yang menahan mahasiswanya untuk jangan membayar sebelum kasus ini selesai,” ujarnya.
Sementara Ambar belakangan mengetahui gaji bersih yang diterimanya yakni sekitar 600-700 euro (sekitar Rp 11,9 juta) per bulan adalah jauh di bawah gaji kotornya yaitu 2.000 euro (sekitar Rp 34,2 juta).
Ambar mengatakan, uangnya akan habis jika harus membayar dana talangan yakni Rp 24 juta.
“Saya pribadi masih simpan uangnya kalau-kalau nanti ditagih sama agen. Karena sampai saat ini pihak agensinya tidak kasih kejelasan info, bahkan ada yang tanya pun gak ada respon,” ujarnya.
Bagi Ambar, meskipun punya kesan tersendiri terkait kunjungannya ke Jerman, secara keseluruhan dia tetap merasa dirugikan.
Terutama soal gaji.
Dia bilang, gaji yang dia dapatkan ternyata tak transparan sementara harga sewa apartemen sangat mahal.
Dia bilang, harganya dua kali lipat dari harga normal.
Hal lainnya, dia merasa dirugikan karena dipaksa bekerja kasar dan tidak sesuai dengan jurusannya kuliah.
Ke depan, baik Ambar maupun Nita sama-sama berpesan supaya mahasiswa hanya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Kemendikbud Ristek seperti MBKM.
"Harus sering cari info-info yang valid jika ingin mengikuti kegiatan seperti ini," tutup Ambar.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR