Hal ini menimbulkan protes besar-besaran yang akhirnya mengakhiri kekuasaan otoriter Marcos.
Metode hitung cepat kemudian diadopsi oleh beberapa lembaga survei di negara-negara yang sedang menuju demokrasi, sebagai alat untuk mengontrol pemilu, seperti Chile pada 1988, Panama pada 1989, Yugoslavia dan Peru pada 2000, serta Indonesia pada 2004.
Hitung Cepat dalam pemilu di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Dalam edisi Kompas tanggal 10 Juli 2004, Entjeng Shobirin Nadj menyebutkan bahwa LP3ES telah mempelajari metode Parallel Vote Tabulation/PVT untuk hitung cepat sejak 1993 dengan mengutus staf ke tiga negara yang memiliki lembaga polling, yaitu Amerika Serikat (AS), Filipina, dan Korea Selatan.
Lalu, LP3ES mencobanya pada Pemilu 1997, untuk daerah DKI Jakarta.
Pada Pemilu 1999, LP3ES melakukan hitung cepat di beberapa daerah di Jawa dan Nusa Tenggara Barat.
Hasilnya sama dengan hasil pemilu.
Namun, LP3ES tidak berani mempublikasikannya karena takut akan berpengaruh secara politis (“Entjeng Shobirin Nadj: “Hitung Cepat” Bukan Hal Baru”, Kompas, 10 Juli 2004).
Pada Pemilu 2004, LP3ES bekerjasama dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI) untuk melaksanakan hitung cepat pada Pemilu Legislatif 5 April 2004 dan Pemilu Presiden 5 Juli 2004, setelah hasil uji coba hitung cepat memuaskan.
Hasil hitung cepat LP3ES-NDI sangat mengesankan.
Dengan menggunakan sampel perhitungan suara di TPS, hitung cepat dapat memprediksi perolehan suara dengan cepat dan akurat.
Baca Juga: Tata Cara Pencoblosan pada Pemilu 2024, Jangan Lupa Dokumen Ini
KOMENTAR