Sejarah Quick Count di Indonesia, Ternyata Sempat Diancam oleh KPU

Ade S

Editor

Hasil hitung cepat Pilpres 2024 Litbang Kompas pukul 16.40 WIB. Artikel ini mengungkap sejarah quick count di Indonesia, metode penghitungan suara cepat yang sempat diancam oleh KPU pada 2004.
Hasil hitung cepat Pilpres 2024 Litbang Kompas pukul 16.40 WIB. Artikel ini mengungkap sejarah quick count di Indonesia, metode penghitungan suara cepat yang sempat diancam oleh KPU pada 2004.

Intisari-Online.com -Quick count adalah metode penghitungan suara cepat yang dilakukan oleh lembaga independen.

Kehadirannyabertujuan untuk mengawasi dan mengontrol jalannya pemilu, serta memberikan informasi yang akurat kepada publik.

Namun, tahukah Anda sejarah quick count di Indonesia?

Siapa yang pertama kali melakukannya? Dan apa tantangan yang dihadapi? Simak ulasan lengkapnya dalam artikel ini.

Sejarah Quick Count

Melansir Kompas.ID, pada tahun 1986, Filipina menjadi negara pertama yang menerapkan hitung cepat dalam pemilu.

Komite independen yang bernama National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL) bertugas mengawasi jalannya pemilu Filipina saat itu, yang dipimpin oleh presiden Ferdinand Marcos.

Dua kandidat yang bertarung adalah Ferdinand Marcos dan Corazon ‘Corry’ Aquino.

Dengan melakukan hitung cepat, NAMFREL berhasil memantau pemilu dengan baik.

Peran NAMFREL sangat penting untuk mengungkap dan menemukan adanya kecurangan yang dilakukan oleh rezim Marcos untuk mencurangi suara dan merampas kemenangan Corry, lawannya dalam pemilu.

Baca Juga: Sejarah Pemilu Presiden di Indonesia, Lengkap dari 2004 Hingga 2019

Hal ini menimbulkan protes besar-besaran yang akhirnya mengakhiri kekuasaan otoriter Marcos.

Metode hitung cepat kemudian diadopsi oleh beberapa lembaga survei di negara-negara yang sedang menuju demokrasi, sebagai alat untuk mengontrol pemilu, seperti Chile pada 1988, Panama pada 1989, Yugoslavia dan Peru pada 2000, serta Indonesia pada 2004.

Hitung Cepat dalam pemilu di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Dalam edisi Kompas tanggal 10 Juli 2004, Entjeng Shobirin Nadj menyebutkan bahwa LP3ES telah mempelajari metode Parallel Vote Tabulation/PVT untuk hitung cepat sejak 1993 dengan mengutus staf ke tiga negara yang memiliki lembaga polling, yaitu Amerika Serikat (AS), Filipina, dan Korea Selatan.

Lalu, LP3ES mencobanya pada Pemilu 1997, untuk daerah DKI Jakarta.

Pada Pemilu 1999, LP3ES melakukan hitung cepat di beberapa daerah di Jawa dan Nusa Tenggara Barat.

Hasilnya sama dengan hasil pemilu.

Namun, LP3ES tidak berani mempublikasikannya karena takut akan berpengaruh secara politis (“Entjeng Shobirin Nadj: “Hitung Cepat” Bukan Hal Baru”, Kompas, 10 Juli 2004).

Pada Pemilu 2004, LP3ES bekerjasama dengan National Democratic Institute for International Affairs (NDI) untuk melaksanakan hitung cepat pada Pemilu Legislatif 5 April 2004 dan Pemilu Presiden 5 Juli 2004, setelah hasil uji coba hitung cepat memuaskan.

Hasil hitung cepat LP3ES-NDI sangat mengesankan.

Dengan menggunakan sampel perhitungan suara di TPS, hitung cepat dapat memprediksi perolehan suara dengan cepat dan akurat.

Baca Juga: Tata Cara Pencoblosan pada Pemilu 2024, Jangan Lupa Dokumen Ini

Pada pemilu legislatif, LP3ES-NDI berhasil mengumumkan hasil penghitungan sehari setelah pemungutan suara dan hanya berbeda 0,15 persen dari hasil akhir penghitungan resmi KPU (“Statistik Terapan Dominasi Prediksi Pemilu”, Kompas,7 Juli 2004).

Pada waktu itu, hitung cepat mendapat kritik dan keraguan. Hitung cepat oleh LP3ES-NDI juga sempat menimbulkan ketegangan dengan KPU.

Bahkan, KPU mengancam akan mencabut akreditasi LP3ES-NDI sebagai pemantau dalam pemilu.

Sebab, LP3ES-NDI dinilai melanggar aturan pemantau, yaitu harus menyampaikan hasil pemantauan kepada KPU terlebih dahulu sebelum dipaparkan kepada publik (“Ketua KPU Ancam Akreditasi LP3ES dan NDI Dapat Dicabut”, Kompas, 8 Juli 2004).

Meskipun demikian, LP3ES-NDI tetap melanjutkan Hitung Cepat.

Pada pemilu presiden, hasil Hitung Cepat yang diumumkan LP3ES-NDI pada 6 Juli 2004 juga tidak jauh berbeda dari perhitungan suara oleh KPU yang diumumkan 26 Juli 2004.

Hasil penghitungan KPU menyatakan bahwa pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 22,15 persen suara, Megawati-Hasyim memperoleh 26,61 persen suara, pasangan Amien-Siswono memperoleh 14,66 persen suara, pasangan Yudhoyono-Kalla meraih 33,57 persen, dan pasangan Hamzah-Agum 3,01 persen.

Sedangkan, dari penghitungan cepat, pasangan Wiranto-Wahid memperoleh 23,3 persen suara, pasangan Megawati-Hasyim meraih 26 persen, pasangan Amien-Siswono dengan 14,4 persen, pasangan Yudhoyono-Kalla memperoleh 33,2 persen suara, dan pasangan Hamzah-Agum meraih 3,1 persen suara.

Pada pilpres putaran kedua, proyeksi hitung cepat kembali terbukti cukup akurat.

Hasil penghitungan KPU menyatakan pasangan Yudhoyono-Kalla unggul dengan meraih 60,62 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,38 persen.

Sementara hasil hitung cepat menunjukkan, pasangan Yudhoyono- Kalla unggul dengan meraih 60,20 persen dan pasangan Megawati-Hasyim dengan 39,80 persen.

Sejak saat itu, Hitung Cepat menjadi populer di Indonesia karena tingkat keakuratannya tinggi.

Hitung Cepat menjadi acuan untuk mengikuti jalannya pemilu.

Banyak lembaga riset atau penelitian yang kemudian juga melakukan penghitungan cepat pada pemilu-pemilu berikutnya, baik untuk pilpres, pileg, atau pilkada.

Beberapa stasiun televisi juga ikut meramaikan, meliput dan menyiarkan ajang penghitungan suara cepat pemilu.

Demikianlah sejarah quick count di Indonesia, metode penghitungan suara cepat yang telah banyak membantu proses demokrasi di negeri ini.

Semoga quick count terus berkembang dan berkontribusi untuk pemilu yang lebih baik di masa depan.

Baca Juga: Gaji Panwaslu TPS Pemilu 2024, Ternyata Ada yang Gajinya Bulanan

Artikel Terkait