Kedua, ia memiliki semangat juang yang kuat. Tidak mudah ia menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan dalam hidupnya.
Salah satunya adalah ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap terlibat dalam peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965.
Selain itu, ia juga pernah mundur dari jabatan Ketua MUI pada tahun 1981 karena merasa ditekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Hal ini terkait dengan fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal bersama yang dikeluarkannya pada tahun 1976.
Ketiga, ia memiliki pandangan terbuka dan toleran dalam beragama dan bermasyarakat.
Perbedaan pendapat dan mazhab dalam Islam dihormatinya. Keragaman budaya dan etnis di Indonesia juga dihargainya.
Ia pernah berkata: “Indonesia adalah negara yang besar dan luas dengan berbagai macam suku bangsa dan adat istiadat. Kita harus saling menghormati dan menghargai kekayaan budaya kita.”
Buya Hamka menggunakan Mahzab apa?
Buya Hamka adalah seorang ulama yang mengikuti Mahzab Salaf dalam hal akidah dan ibadah.
Mahzab Salaf adalah Mahzab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka berkata: “Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Mazhab Salaf, yaitu Mazhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dan Ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal akidah dan ibadah, semata-mata taslim artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi.”
Baca Juga: Diklaim Sebagai Karya Agung Buya Hamka, Benarkah Tafsir Al-Azhar Dirampungkan di Dalam Penjara?
KOMENTAR