Intisari-Online.com -Baru-baru ini muncul trailerdari film "Buya Hamka" yang disutradarai oleh Fajar Bustomi dan dibintangi oleh Vino G. Bastian sebagai Hamka.
Film ini adalah film biopik yang mengisahkan perjalanan hidup Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka, seorang ulama, pemikir, penulis, dan pejuang Islam di Indonesia.
Namun, tahukah Anda siapa sebenarnya sosok Buya Hamka yang menjadi penulis novel terlaris itu?
Apa saja karya dan pemikiran beliau yang berpengaruh bagi Islam dan Indonesia?
Bagaimana perjalanan hidup dan perjuangan beliau sebagai ulama, pemikir, penulis, dan pejuang?
Latar Belakang Pendidikan dan Pergerakan
Buya Hamka adalah salah satu tokoh Islam terkemuka di Indonesia yang dikenal sebagai ulama, pemikir, penulis, dan pejuang.
Ia lahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah pada 17 Februari 1908 di Tanah Sirah, Sumatera Barat.
Ia merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Siti Shafiah.
Ayahnya adalah seorang ulama yang memimpin gerakan Islam Kaum Muda di Minangkabau, sedangkan ibunya berasal dari keluarga seniman.
Baca Juga: Diklaim Sebagai Karya Agung Buya Hamka, Benarkah Tafsir Al-Azhar Dirampungkan di Dalam Penjara?
Sejak kecil, Buya Hamka sudah terbiasa mendengar perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham agama.
Saat ia berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan pondok pesantren "Sumatera Thawalib" di Padang Panjang, tempat ia belajar banyak ilmu agama.
Namun, pada usia 16 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta untuk mempelajari pergerakan Islam modern dari tokoh-tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin.
Di sana ia mengenal perbedaan antara gerakan politik Islam Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan sosial Muhammadiyah.
Pada tahun 1925, Buya Hamka pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar lebih dalam tentang Islam.
Ia kembali ke tanah air setelah tujuh bulan di sana dan mulai bekerja sebagai penulis di majalah Pelita Andalas di Medan.
Setelah menikah dengan Siti Raham pada tahun 1928, ia lebih aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah dan menjabat sebagai ketua cabang Padang Panjang.
Ia juga mendirikan majalah Pedoman Masyarakat pada tahun 1930 sebagai media dakwah dan pemikiran Islam.
Karya Tulis dan Pemikiran
Buya Hamka adalah seorang penulis yang produktif dan berbakat.
Ia menulis berbagai karya tulis, baik fiksi maupun nonfiksi, yang mencerminkan pandangan dan pengalamannya tentang Islam dan Indonesia.
Baca Juga: Benarkah Teori Makkah Jadi Teori Masuknya Islam di Indonesia yang Paling Kuat?
Salah satu novelnya yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang menceritakan kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang oleh adat Minangkabau.
Novel ini kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama pada tahun 2013.
Selain itu, ia juga menulis novel-novel lain seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah, Merantau ke Deli, Tenungku Pada Langit Malaya, dan Ayahku.
Selain fiksi, Buya Hamka juga menulis banyak karya nonfiksi yang membahas tentang sejarah, filsafat, tasawuf, tafsir, hadis, fiqih, politik, dan sosial.
Beberapa karyanya yang terkenal adalah Sejarah Umat Islam (6 jilid), Falsafah Hidup (4 jilid), Lembaga Hidup (3 jilid), Tasauf Modern (2 jilid), Kenang-Kenangan Hidup (4 jilid), Tafsir Al-Azhar (30 jilid), Hadis Nabi (2 jilid), dan Fiqih Sunnah (2 jilid).
Karya-karya ini menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu serta pemikiran Buya Hamka tentang Islam dan kemanusiaan.
Sebagai pemikir, Buya Hamka mempromosikan Islam moderat, yaitu Islam yang menghormati keragaman, toleransi, demokrasi, dan kemajuan.
Sikapnya menentang Islam radikal yang cenderung eksklusif, intoleran, otoriter, dan stagnan.
Selain itu, ia juga menolak sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Menurutnya, Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, yaitu rahmat bagi seluruh alam.
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan akal sehat.
Untuk itu, ia mengajak umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.
Baca Juga: Alasan Buya Hamka Menolak Teori Gujarat dan Pilih Teori Makkah