Intisari-Online.com - Panasnya api perseteruan tak selamanya abadi. Kadangkala keyakinan yang sama mampu mendamaikannya.
Seperti konflik yang terjadi di antara Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Pramoedya Ananta Toer.
Dua tokoh sastra kenamaan Indonesia itu bersebrangan paham. Namun pada akhirnya, Islam jualah yang mendamaikan mereka.
Perseteruan di antara Hamka dan Pram bermula pada awal tahun 1963.
Jagad sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar di Jakarta, yakni Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran tersebut berafiliasi pada Partai Komunias Indonesia (PKI) di masa itu.
(Baca juga: Demo 4 November: Belajar dari Soekarno, Hatta, dan Hamka)
Keduanya memberitakan karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan hasil jiplakan.
Rubrik Lentera dalam koran Harian Bintang Timur yang diasuh Pram, secara detil mengulas cara Hamka mencuri karangan itu.
Karya tersebut diduga milik sastrawan asing, Alvonso Care.
Berbulan-bulan lamanya kedua koran tersebut terus menerus memojokan Hamka. Bahkan, kedua koran itu tak hanya mengkritik karya Hamka. Mereka juga menyerang Hamka secara pribadi.
Irfan Hamka, putra Hamka yang menuliskan memoar tentang ayahnya, dalam buku yang berjudul Ayah, mengaku sering dipojokan oleh guru sastra Indonesianya semasa SMA.
Gurunya saat itu memang dekat dengan tokoh Lekra seperti Pram.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR