Intisari-Online.com - Buya Hamka adalah salah satu ulama besar Indonesia yang dikenal sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah.
Ia juga seorang penulis yang menghasilkan karya-karya sastra seperti novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Namun, di balik kesuksesan dan pengaruhnya, Buya Hamka memiliki perjuangan, keistimewaan, dan mahzab yang digunakannya dalam beragama dan bermasyarakat.
Apa saja perjuangan Buya Hamka?
Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di Minangkabau dari keluarga yang berlatar belakang gerakan Islam Kaum Muda.
Ayahnya adalah Syaikh Abdulkarim Amrullah, seorang ulama yang mempelopori gerakan menentang ajaran Rabithah, yaitu sebuah gerakan yang menghadirkan guru dalam ingatan sebagai salah satu cara yang ditempuh oleh penganut tarekat.
Buya Hamka mulai belajar agama dari ayahnya di pondok pesantren Sumatera Thawalib yang didirikan oleh ayahnya di Padang Panjang pada tahun 1918.
Merantau ke Yogyakarta pada usia 16 tahun, Buya Hamka mulai belajar pergerakan Islam modern dari sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fakhruddin.
Dari mereka ia mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan sosial Muhammadiyah.
Kemudian ia bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi salah satu pemimpinnya.
Baca Juga: Perjalanan Hidup Buya Hamka: Dari Minangkabau hingga Ketua MUI Pertama
KOMENTAR