Sementara itu program AD tampaknya lebih keras, namun seseorang hanya menjalani penugasan di pasukan selama 6 bulan setelah itu kembali ke CIA, sekalipun Anda masih tercatat sebagai anggota pasukan sampai akhirnya menyelesaikan 2 tahun wajib militer.
Dari angkatan saya ada empat orang yang memilih wajib militer di angkatan darat. Salah satu di antaranya adalah John Stein, seorang sarjana lulusan Yale asal Rhode Island. la merupakan atlet olahraga dan pribadi yang menyenangkan. Selama orientasi kami cepat menjadi akrab dan menjalin persahabatan erat. Untunglah, saya dan Stein ditempatkan di unit pelatihan yang sama, sebuah batalion artileri Airborne Division 101 yang terkenal itu.
Komandan kami, seorang tentara senior, agak curiga begitu melihat kami berdua. Penampilan kami yang amat berbeda dengan prajurit-prajurit lain barangkali menimbulkan dugaan bahwa kami ini spion yang diselundupkan di dalam tentara. Maklum, tampang dan kelakuan kami yang berpendidikan universitas nyatanya terlihat mencolok di antara anggota lain yang rata-rata hanya sekolah menengah dan berasal dari Selatan.
Untunglah tak seorang pun di antara anggota batalion ini yang mengetahui hubungan saya dengan CIA. Apalagi setelah itu kami "dibuat" sama. Rambut potong pendek dan seragam militer yang serba hijau. Kami tidur di bawah tenda besar yang berkapasitas 20 orang. Air panas untuk keperluan mandi harus kami masak sendiri dengan tungku berbahan bakar batu bara.
12 jam di Baghdad
Hari itu di musim semi tahun 1986 saya berada di perut sebuah jet eksekutif yang melintas di atas daratan Timur Tengah. Di bawah terbentang jalur pipa minyak Trans-Arab yang menembus Arab Saudi, Yordania sampai Libanon. Jet kecil ini hanya berisi tiga penumpang. Selain pilot, tak ada orang lain kecuali mitra tugas saya, perwira CIA bernama samaran Wallace L. Goodspeed. Sudah menjadi kebijakan, demi keamanan, semua perwira yang betugas ke luar negeri harus memakai nama samaran, tak terkecuali saya dengan nama Dax P. Le- Baron.
Setelah penerbangan berlangsung 35 menit, pilot mengarahkan pesawat menuju ke Baghdad. Saat itu Perang Iran – Irak masih berlangsung sengit. Nah, lantaran khawatir kalau pihak Irak akan kalah, secara sembunyi-sembunyi AS membantu Irak dengan memberi dukungan jasa intelijen perang. Sebagai balasannya, Irak berjanji menghentikan kegiatan terorisme di seluruh dunia dan memberi informasi kepada AS tentang kegiatan para teroris. Selama ini AS sudah memberikan jasa serta dukungan intelijen untuk meningkatkan kinerja tentara Irak terutama dalam pertempuran udara melawan Iran. Tapi nyatanya Baghdad tidak memenuhi kewajibannya dalam membantu AS.
Kamis, 17 Oktober 1985, kelompok teroris Palestina pimpinan Abu Abbas membajak sebuah kapal pesiar Italia, Achille Lauro berpenumpang 454 orang, yang sedang dalam pelayaran dari Alexandria ke Port Said. Mereka membunuh seorang warga AS penumpang kapal tersebut yang cacat di kursi roda, Leon Klinghoffer dan melemparkannya ke laut. Pada akhirnya kapal tersebut ke Mesir. AS meminta pihak Mesir menyerahkan para pembajak termasuk Abu Abbas. Para teroris kemudian terbang ke Tunisia.
Letkol Oliver North beserta timnya dari Badan Keamanan Nasional AS tetap berupaya menangkap Abu Abbas dan kelompoknya. Caranya, mengirim pesawat tempur dari gugus tugas AL Armada ke-6 yang berlokasi di Laut Tengah, dan memaksa pesawat Egyptair yang ditumpangi Abbas mendarat di bandara milik NATO di Sisilia, Italia. Celakanya, pemerintah Italia pun tidak mau menahan Abbas. Malah kemudian memerintahkan pesawat itu ke Belgrade, Yugoslavia, untuk selanjutnya menuju Baghdad.
Nah, tindakan Saddam Husssein melindungi Abbas inilah yang dianggap AS melanggar persetujuan kerja sama timbal balik antar kedua negara. Selain itu Baghdad diduga masih menyimpan teroris lain semisal Abu Ibra yang dikenal sebagai pembuat bom yang andal. Barangkali Irak masih memerlukan Abu Ibra untuk melakukan teror balas dendam terhadap negara-negara yang memeranginya semisal Iran dan Suriah.
Sebagai perwira operasional bagian counter-terrorism, saya diberi tugas Washington membujuk Baghdad untuk bekerja sama memerangi tindak terorisme. Kongkretnya, meminta Abu Abbas untuk diadili. Rupanya rencana yang telah disusun tidak berjalan mulus. Untuk mendapat kepastian apakah bisa bertemu dengan Saddam Hussein saja kami harus menunggu selama seminggu, sebelum akhirnya mendapat lampu hijau untuk segera berangkat ke Baghdad.
Pukul 12.30 kami mendarat di bandara Kota Baghdad, bukan di bandara internasional yang berada di luar kota. Seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun berperawakan tinggi besar, berwajah keras, menyambut kami dengan berkacak pinggang. Dr. Fadil Barak, kepala Direktorat Intelijen Umum Irak (DGI). Tubuhnya dibalut seragam hijau khaki yang menjadi warna resmi Partai Baath, lengkap dengan sepucuk pistol di pinggang. Barak adalah doktor lulusan Universitas Patrick Lumumba, Moskwa, dan seperti layaknya para pejabat tinggi Irak, ia masih sanak familinya Saddam Hussein.
Kami tidak menuju markas besar DGI, melainkan dibawa ke sebuah vila tamu VIP yang berada di sebuah bangunan tertutup dikelilingi tembok di luar Kota Baghdad. Maklum, selama peperangan markas besar DGI merupakan sasaran rudal-rudal Scud yang ditembakkan Iran. Meskipun besok malam pukul 00.30 kami sudah harus keluar dari Baghdad untuk melanjutkan penerbangan dengan Air France ke Paris, Barak menyediakan fasilitas layaknya kami akan tinggal lama. Kamar tidur mewah, dengan tempat tidur super king-size dan bak mandi bertatahkan perhiasan yang mampu menampung tiga orang.
Tentu saya tidak naif berharap Saddam Hussein begitu saja mau melepaskan Abu Abbas. Kami sudah menyiapkan beberapa rencana alternatif untuk melakukan tugas ini. Antara lain, menangkap Abbas tanpa menimbulkan implikasi bagi pemerintah Irak meski menuntut kerja sama rahasia dengan Baghdad. Yakni agar Irak mengusahakan sebuah pesawat Irak yang diterbangkan ke Yaman dengan Abu Abbas di dalamnya. Yaman adalah salah satu di antara sedikit tempat yang masih terbuka bagi Abu Abbas. Kalau itu pun gagal, kami masih menyiapkan pilihan cara lain sambil mengharap pemerintah Baghdad menawarkan jalan keluar yang lebih baik.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR