Sebuah sedan Mercedes datang. Barak membuka pintu dan ternyata ia sendiri yang mengantar kami ke bandara. Saya duduk di kursi depan sementara Goodspeed di belakang. Tak pernah saya melihat orang mengemudikan mobil sekencang ini.
Ibaratnya roket darat, mobil ini berlari 200 km lebih/jam. Dalam hati saya marah-marah ternyata Irak tidak bisa dipercaya. Mengapa AS mau memberi dukungan kepada negeri ini sementara Baghdad tetap saja melindungi para penjahat. Saya amat kecewa dengan kegagalam misi ini.
"Katakan pada Abu Abbas, saya mencarinya. Begitu saya dapatkan akan saya bunuh!" Begitu teriak saya keras-keras kepada Barak di tengah deru mobil. Padahal dalam tugas ini kami dilarang melakukan tindak pembunuhan. Mendengar omelan saya, ternyata Barak cuma tersenyum.
Kami sudah terlambat 1,5 jam dari jadwal penerbangan Air France, ketika tiba di bandara. Anehnya, pesawat tersebut terlihat masih nongkrong di situ. Ternyata sebuah panser tentara Irak diparkir melintang di depan hidung pesawat. Akhirnya, kami dilepas setelah sebelumnya diberi oleh-oleh bingkisan masing-masing sekotak kurma yang terbungkus rapi. Sekali lagi, dengan wajah tanpa ekspresi Barak mengantar kami ke pintu masuk pesawat dan mengucapkan selamat jalan. Meski lega, pandangan mata sinis dan sambutan tak ramah dari para penumpang Air France yang sudah menunggu cukup lama membuatkami merasa kecut.
Cukup berharga
Tahun 1968, saya diangkat sebagai kepala CIA di Istanbul, Turki. Saat itu perhatian pemerintah AS masih terfokus pada pembunuhan Martin Luther King dan Bobby Kennedy. Namun mata dan telinga CIA lebih tertarik pada suhu politik Cekoslowakia yang memanas. Pasukan Uni Sovyet didukung sekutunya anggota Pakta Warsawa menyerbu Praha, Agustus 1968. Insiden ini berakhir dengan tergulingnya penguasa resmi Alexander Dubcek yang kemudian digantikan dengan pemerintahan boneka Sovyet.
Tak lama kemudian saya menerima pesan dari Markas Besar CIA.
"Mengingat situasi Cekoslowakia semakin gawat dan diramalkan bisa memicu peperangan yang meluas di Eropa, maka kerahkan seluruh tenaga kalian untuk merekrut agen dari Sovyet atau negara Blok Timur di wilayahmu."
Markas Besar menginginkan pemahaman yang lengkap atas implikasi pendudukan Uni Sovyet di Cekoslowakia. Apakah itu hanya sebuah insiden lepas atau bisa menjadi pemicu lahirnya peperangan yang berpotensi menyulut konflik NATO dengan Pakta Warsawa. Dengan upaya merekrut agen dari Blok Timur mereka berharap bisa memperoleh masukan untuk memperkirakan tujuan manuver Sovyet.
Bagi tim kami di Istanbul tugas ini tidak mudah. Sebelumnya, kami pernah melakukan hal tersebut tanpa memperoleh hasil. Apalagi para agen dari Sovyet atau negara Eropa Timur pun diam-diam melakukan rencana serupa. Ini tercermin dari pengalaman saya beberapa kali melakukan kontak dengan para anggota KGB.
Kami anggap upaya merekrut agen dari Blok Timur selama Perang Dingin ini akan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Sebagai gantinya kami mengalihkan perhatian dengan mendekati orang-orang yang sering berhubungan dengan para perwira Sovyet atau negara-negara Blok Timur.
Kebetulan di bulan November 1968, saya berkenalan dengan pasutri Wladyslaw dan Irina Adamski, karyawan Konsulat Jenderal Polandia di Istanbul. Saat itu saya berada di sebuah feri yang sedang melayari Selat Bosporus, dari Yalova kawasan Turki yang masuk daratan Asia ke Sirkeci yang termasuk daratan Eropa. Wladyslaw atau yang kerap dipaggil Slava ini adalah lelaki tampan yang fasih berbahasa Inggris dan Turki. Sementara sang istri, Irina, cukup cantik meski mode pakainnya kuno seperti layaknya wanita Eropa Timur.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR