Mendengar penuturan rencana kami, Barak terlihat kaget. Barangkali ia menganggap kami gila, berani mengajukan permintaan tesebut. Jelas, ia tak habis mengerti mengapa hanya untuk seorang nyawa warga AS ia harus menyerahkan Abu Abbas, sementara setiap hari ia menyaksikan mayat bergelimpangan sebagai korban pertikaian Irak - Iran, belum lagi operasi "pembersihan" oleh rezim Saddam Hussein atas lawan politiknya di dalam negerinya.
Sebaliknya, Barak justru menuduh kami tidak memberi dukungan intelijen yang mencukupi pada tentara Irak. Memang saat itu posisi tentara Irak di Semenanjung Al Faw terdesak. Padahal bila Iran berhasil memenangkan perang di Al Faw, mereka akan merambah Basra dan akhirnya membahayakan rezim Irak. Barak mengeluh mengapa AS tak memberi tukungan intelijen pada front ini, terutama ketidakberdayaan armada udara
Irak menggempur fasilitas minyak dan sasaran militer Iran.
Padahal bukan di situ masalahnya. Justru para pejabat militer Irak sendiri yang tidak tahu bagaimana cara mengggunakan data intelijen tersebut dalam penugasannya kepada pilot tempur yang membutuhkannya. Apalagi, lantaran takut akan rudal pertahanan pihak Iran, para pilot Irak tak berani terbang di bawah 40.000 kaki untuk menjatuhkan bom dan roket. Terang saja, tembakan mereka tidak akurat. Toh, kenyataan itu tak bisa mereka terima, apalagi para pejabat tinggi militer Irak tidak bisa mengecek ke lapangan.
Terpaksa, Goodspeed menjelaskan panjang-lebar kepada analis intelijen Irak.
Meskipun sebagai kepala dinas intelijen Irak, saya tahu kata akhir persetujuan atas nasib Abu Abbas bukan hanya di tangan Barak. Saddam Hussein yang akan memutuskan dengan atau tanpa persetujuan Barak. Ketika saya mendesak agar ia segera mengatur waktu pertemuan dengan Saddam, Barak malah acuh tak acuh. Sementara kami makan siang, Barak bercakap-cakap di telepon. Rupanya mereka mengulur-ulur waktu saja. Barangkali ini karena di awal kedatangan kami sudah melakukan "kesalahan", yakni mengatakan bahwa kami hanya singgah di sini selama 12 jam. Dengan demikian mereka tinggal menunggu habisnya waktu.
Benar saja, ketika saya katakan kami bisa tinggal di sini lebih lama sampai tujuan kami tercapai, tampaknya mereka mulai berpikir untuk melakukan sesuatu.
"Sesuatu" yang dimaksud, kami harus menemui juru bicara pemerintah Irak, yakni Menlu Tariq Aziz di kantornya. Bangunan kementerian luar negeri itu amat megah, dengan atapnya yang rendah dan perabotan mewah. Barangkali karena masih dalam suasana perang, lampu di semua ruangan redup. Tepat pukul 21.00 Tariq Aziz yang berperawakan pendek gemuk itu menyambut kami. Asing rasanya melihat seorang menlu berseragam militer dengan pistol di pinggang.
Tak jauh berbeda dengan yang kami hadapi sebelumnya, pertemuan kami dengan Aziz tidak mendatangkan manfaat, kecuali hanya saling melontarkan gagasan. Menurut Aziz, permintaan kami tidak mungkin dapat dipenuhi. Ia meyakinkan kami bahwa pernyataannya itu sudah sepengetahuan Saddam Hussein, meski kalau mau kami bisa bertemu Saddam Hussein. Tahu bahwa ini sekadar basa-basi kami akhirnya memutuskan pulang saja. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.00.
Begitu kembali ke vila, Barak masih mendesak kami tentang dukungan intelijen dari AS. Ketika kami tanyakan lagi kapan bisa bertemu Saddam Hussein mengingat waktu kami sudah hampir habis, Barak lalu menelepon seseorang. Setelah itu ia mengatakan bahwa Presiden Saddam Hussein temyata tidak bisa menemui kami karena harus.menghadiri acara di Al Faw.
Kami akan segera ke bandara, tapi bahkan setelah makan malam, Barak masih menahan keberangkatan kami. Perundingan demi perundingan ini justru memusingkan kami berdua. Sejumlah pertanyaan berkecamuk dalam benak. Benarkah Saddam Hussein masih mempertimbangkan untuk menerima kami? Atau bisa jadi ini semua hanya provokasi Barak.
Kini sudah pukul 24.00. Kami masih berada di vila. Apa lagi yang harus ditunggu? Ketika telepon berdering Barak terlibat percakapan cukup lama dengan suara di seberang. Rupanya itulah jawaban, kami sudah boleh meninggalkan negeri ini. Pupus sudah harapan kami untuk bisa bertemu Saddam.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR