Selama 16 tahun Raden Mas Said berperang dalam melawan kekuasaan Mataram dan Belanda.
Mulai tahun 1741 sampai 1742, Mas Said memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda, lalu bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun.
Hingga kemudian pada 13 Februari 1755, terbentuklah Perjanjian Giyanti, yang menjadi hasil rekayasa Belanda yang berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua bagian, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Sebenarnya perjanjian ini sangat ditentang oleh Raden Mas Said karena memecah belah rakyat Mataram, akhirnya dia pun melanjutkan perjuangannya seorang diri.
Dia memimpin pasukan dalam melawan dua kerajaan, yaitu Pakubuwono II dan Hamengkubuwono I.
Raden Mas Said, dalam perlawanannya itu memiliki motto yang berbunyi tiji tibeh, yaitu mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh (gugur satu, gugur semua, sejahtera satu, sejahtera semua).
Baca Juga: Berkunjung Ke Kotanya Jokowi, Jangan Lupa Mampir Ke Mangkunegaran, Istananya Pangeran sambernyawa
Pada tahun 1752 – 1757 terjadi pertempuran hebat, antara pasukan Raden Mas Said dengan pihak VOC, yang membuatnya dijuluki Pangeran Sambernyawa, karena dalam setiap pertempurannya, dia selalu membawa kematian bagi para musuhnya.
Pertempuran pertama, Mas Said melawan pasukan Mangkubumi di Desa Kasatriyan, Jawa Timur.
Pertempuran kedua terjadi antara Raden Mas Said dengan dua detasemen VOC yang dipimpin oleh Kapten Van der Pol dan Kapten Beimen di selatan negeri Rembang.
Sedangkan pertempuran ketiga terjadi saat penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan Kesultanan Yogyakarta-Mataram, yang terjadi karena kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sembari membakar dan menjarah harta benda penduduk desa.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR