Oleh Mikke Susanto dan Duls Rumbawa, Kurator Pameran Temporer 'Daulat & Ikhtiar'
Intisari-Online.com–Pameran ini dimulai dari sebuah monumen. Letaknya tepat di kilometer nol Yogyakarta. Dikelilingi oleh empat gedung bersejarah: Kantor Pos Besar, Gedung BNI 46, Istana Kepresidenan Republik Indonesia, dan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Inisiatornya adalah Kepala Staf Angkatan Darat saat itu Mayjen TNI. Widodo. Adapun pembuatnya adalah pematung Saptoto.
Seturut informasi dari buku MacGregor, monumen ini merupakan satu dari sejumlah proyek Seminar Angkatan Darat III pada 1972.
Karya berukuran tinggi lebih kurang 8 meter ini merupakan monumen pasif yang menjadi salah satu ikon era Orde Baru, selain Monumen Pancasila Sakti Jakarta dan Monumen Ambarawa.
Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1 Maret 1973 tersebut terdiri atas Gunungan besar yang berdiri kokoh di bagian tengah-belakang. Gunungan berbahan perunggu tersebut ditopang oleh bentangan dinding horison bergaris pinggir warna abu-abu layaknya taferil lakon wayang.
Di bawahnya bertuliskan “Monumen 1 Maret 1949”. Pada bagian bawah terdapat sejumlah 25 relief berwarna gelap menggambarkan prolog terjadinya peristiwa.
Adapun bagian depannya tersaji dan berdiri kokoh 5 patung berbahan perunggu menggambarkan figur manusia dengan berbagai asesoris.
Kelima figur yang berdiri di “panggung” beton setinggi 3 meteran digambarkan sebagai bentuk kemanunggalan yang kuat dalam sebuah peristiwa yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia menyebut peristiwa itu dengan “Serangan Umum 1 Maret 1949”.
Baca Juga: Daulat dan Ikhtiar: Memaknai Serangan Umum 1 Maret 1949 melalui Seni
Baca Juga: Arti Penting Serangan Umum 1 Maret 1949 yang Terjadi Usai Agresi Militer Belanda II
Peristiwa tersebut merupakan respon terhadap agresi militer Belanda II yang terjadi pada 19 Desember 1948. Agresi militer Belanda tersebut dilakukan untuk menduduki Ibukota negara Yogyakarta.
Tujuannya untuk melakukan propaganda bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada, sehingga Belanda dapat melakukan klaim pendudukan atas Indonesia. Para pejabat negara seperti Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan beberapa menteri ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa.
Sementara Panglima perang Jenderal Sudirman memutuskan untuk keluar dari Ibukota Yogyakarta melakukan perjuangan merebut kembali ibukota Yogyakarta melalui perang gerilya.
Serangan umum 1 Maret 1949 merupakan penyerbuan terpadu dari beberapa kekuatan dan latar belakang. TNI sendiri telah melakukan serangan secara serentak sebanyak 4 kali sebelum tanggal bersejarah tersebut.
Keberadaan pasukan gerilya dengan operasi penyerangan itu mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik masyarakat, ibu-ibu yang mendirikan dapur umum, bahkan penguasa Yogyakarta yaitu Sultan Hamengku Buwono IX.
Dukungan masyarakat seperti para pemuda, pelajar, kaum tani, dan rakyat biasa juga tertaut sesuai bidang dan kemampuan masing-masing. Mereka melakukan aksi manunggal demi mempertahankan kedaulatan bangsa.
Dari sisi pembuatnya, Saptoto (1927-2001) memahami benar kebutuhan sejarah. Alasannya karena ia sendiri adalah salah satu pelaku peristiwa tersebut. Saptoto pernah menjadi anggota Tentara Pelajar pada 1945-1949. Ia sempat berpangkat letnan muda, namun karena rasionalisasi pada 1948, pangkatnya menjadi sersan.
Sempat pula ditugaskan sebagai petugas penghubung di Ponorogo, Pacitan dan Wonogiri. Salah satunya ditugaskan untuk menyampaikan surat khusus kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman saat berada di Pakis Jawa Timur.
Baca Juga: Tentara Indonesia Serang Belanda di Yogyakarta, Apa Tujuan Serangan Umum 1 Maret 1949?
Baca Juga: Buktikan TNI dan NKRI Masih Utuh, Apa Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949?
Uniknya, keinginannya untuk menjadi seniman ya … atas arahan dan dorongan langsung dari sang panglima besar.
Selain berjuang di medan laga, Saptoto berhasil menjadi seorang pematung yang namanya masuk dalam sejumlah buku sejarah seni di Indonesia. Ia sempat menjadi anggota Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dan Sanggar Pelukis Rakjat pada 1946-47 di Yogyakarta.
Pada masa setelahnya ia menjadi mahasiswa ASRI Yogyakarta. Sampai akhirnya mengajar di Jurusan Seni Patung dan sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta.
Saat mengerjakan monumen yang menelan biaya Rp. 20.870.000 ini Saptoto bertindak sebagai pelaku, pembuat, sekaligus penikmat. Bersama tim sejarah ia berhasil memadu-padankan kompleksitas sejarah peristiwa. Berhasil meringkas opininya tentang peran penting sejumlah elemen masyarakat sebagai cara ungkap.
Elemen-elemen berupa 1) dua puluh lima adegan relief, 2) gunungan sebagai representasi alam semesta, dan 3) lima karakter yang “maju ke depan” adalah tanda-tanda atas perjuangan bangsa yang riuh akan khasanah dan peristiwa.
Meskipun ada pula catatan kritis yang menyatakan bahwa monumen ini merupakan bagian dari “monumen indoktrinasi” Orde Baru, termasuk framing politik berbau motif Jawa kuno yang kental.
Tidak salah jika dilihat dari aspek isi dan tujuan pembangunannya, monumen ini digolongkan sebagai “Tugu Peringatan” sekaligus “Monumen Kemenangan” dengan sejumlah catatan. Perlu diketahui bahwa ragam dan jenis monumen di suatu wilayah ada belasan jenis dan tipe. Salah satu contoh monumen kemenangan yang ada di negara lain adalah Arc de Triomphe di Paris - Prancis.
Jika dirunut lebih luas lagi, peristiwa yang diungkap dalam pameran ini memiliki posisi “politis” yang kuat. Setidaknya selama masa awal kemerdekaan (1945) hingga tahun 1950-an, perjuangan menegakkan kedaulatan antara lain melewati sejumlah perundingan dan pertempuran penting.
Baca Juga: Berani Cetuskan Serangan Umum 1 Maret, Sultan HB IX Tunjukkan Dirinya Bukan Sekadar Seorang Raja
Baca Juga: Gara-Gara Raja Yogyakarta Menolak Kerja Sama, Belanda pun Gagal Menjajah Indonesia Lagi
Perundingan-perundingan tersebut yaitu 1) Perundingan Hoge Valuwe yang gagal; 2) Perundingan Linggajati, 15 November 1946; 3) Agresi Belanda I, 21 Juli 1947; 4) Perundingan Renville, 17 Januari 1948; 5) Agresi Belanda II 19 Desember 1948; 6) Konferensi Meja Bundar (KMB) 2 November 1949.
Artinya jauh sebelum Serangan Umum 1 Maret, telah terjadi serangkaian peristiwa yang meninggalkan banyak masalah, arsip. Tinggalan lainnya adalah berupa artifak. Beberapa diantaranya adalah yang kini tersimpan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan sejumlah museum lainnya. 3
Sejumlah puluhan artifak dalam pameran ini direspons oleh 5 perupa. Dipilihnya lima perupa (2 diantaranya kolektif) muda asal Yogyakarta ini berdasarkan kebiasaan dalam berkarya dengan konsep pendekatan kritis.
Karya-karya mereka sebelumnya mengungkap sisi kontekstual (dan historis) terhadap situasi dan kondisi. Dengan pendekatan kreatif yang berbeda, kelima perupa berproses melalui riset lapangan dan kajian penelitian.
Setiap perupa mendapat tugas menelaah satu karakter profesi yang digambarkan dalam Monumen Serangan Umum, termasuk kemudian memilih peninggalan artefaknya. Akhirnya karya yang ditampilkan tersaji mulai dari lukisan, patung, instalasi, video, dan seni ranah virtual, berdasarkan kreativitasnya melalui 5 karakter yang ada pada monumen tersebut.
Respons kerja kreatif semacam ini bertujuan untuk menampilkan gagasan baru tentang peristiwa sejarah agar lebih segar dicerna generasi hari ini.
Tujuan lainnya adalah untuk “menghidupkan” koleksi melalui imajinasi seniman, sehingga koleksi tersebut dapat melahirkan kisah selain yang selama ini ditulis dalam buku sejarah.
Namun, hal yang juga tak kalah pentingnya adalah menawarkan kepada generasi muda untuk lebih peduli akan kelestarian sejarah dan warisan yang ditinggalkannya.
Baca Juga: Operasi Gagak, Agresi Militer Belanda di Yogyakarta yang Gagal Membunuh Bung Karno
Tujuan yang juga menarik adalah untuk mendukung usulan peristiwa Serangan Umum 1 Maret sebagai hari besar nasional Indonesia dan menjadikan kisah ini sebagai warisan sejarah dunia.
Secara singkat dapat diterangkan sejumlah 5 hasil karya yang telah dikerjakan oleh para peserta.
Pematung Lutse Lambert Daniel Morin dalam pameran ini memilih karakter tentara atau TNI sebagai dasar berkarya. TNI sebagai kesatuan pembela negara dibentuk untuk mempertahankan kadaulatan negara atas gangguan yang datang dari manapun.
Sejak agresi militer Belanda II sebenarnya TNI tercerai berai. Termasuk melakukan wingate (gerakan mundur) keluar kota untuk menyusun kekuatan.
Para petinggi TNI menjadikan gunung-gunung, desa-desa, maupun lembah sebagai markas perjuangan. Mereka melakukan perjuangan gerilya dengan markas yang selalu berpindah-pindah.
Dalam karya ini Lutse menggunakan bahan temuan (found object) berupa helm tentara dan senjata bekas perang sebagai medium. Ia membangun ulang peristiwa dengan mengkonstruksi helm sebagai simbolisasi wilayah atas peristiwa yang berpindah-pindah.
Pada karya lainnya, ia membangun simbolisasi melalui tangan dan helm sebagai bentuk dan upaya untuk menggelorakan kembali semangat perjuangan atas kedaulatan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Adapun koleksi orisinal berupa senjata, seragam, jam dinding beserta artefak tentara lainnya disajikan bersama dalam 1 ruang kaca untuk mendekatkan karya seni rupa secara langsung. Lutse ingin memberikan sentuhan masa kini dan masa depan dalam karya ini.
Baca Juga: Melalui Stasiun Radio AURI di Playen, Berita Serangan Umum 1 Maret 1946 Sampai ke Telingan PBB
Baca Juga: Serangan Umum 1 Maret Cara Indonesia Bongkar Kebohongan Belanda
Berbeda dengan Dedy Sufriadi. Dengan cara membangun dinding buku, ia merespons karakter pelajar atau Tentara Pelajar (TP). Mereka adalah kesatuan pelajar pejuang yang kemudian dalam TNI terintegrasi dalam Batalyon III Brigade XVII.
Besar peranan mereka dalam perjuangan, bahkan tidak sedikit yang gugur di usia muda demi menegakkan kedaulatan. Salah satu tetenger terkait adalah Monumen Rejodani di Yogyakarta, yang dibangun untuk memperingati peristiwa gugurnya 8 orang anggota TP dalam pertempuran 29 Mei 1949.
Secara simbolis Dedy berujar bahwa semasa perjuangan revolusi pelajar tidak memungkinkan hanya belajar di kelas tanpa peduli situasi. Peristiwa perang menyebabkan mereka harus turut membantu perang, bahkan harus turun ke lapangan meninggalkan bangku sekolah.
Buku ditutup sementara, disimpan dengan kuat dalam sanubari untuk dijadikan monumen ingatan, agar seusai perang pelajar dapat belajar kembali.
Dengan ungkapan yang monumental pula, Dedy menawarkan pada publik bahwa belajar adalah bagian dari perang terhadap kebodohan. Jangan sampai otak para pelajar membeku atau dibekukan oleh tujuan selain memuliakan kemanusiaan.
Perupa Rara Kuastra dan Putut yang tergabung dalam kolektif “Tempa” memilih karakter perempuan atau ibu-ibu dalam pameran ini. Sebagian perempuan berjuang di garis depan sebagai Laswi (laskar wanita Indonesia). Sebagian lainnya berjuang di garis belakang sebagai PMI dan di dapur umum. Bahkan ada yang berani bertindak sebagai kurir.
Bukan hanya surat yang dikirimnya, namun juga senjata untuk pejuang. Hasil karya mereka yang unik dan penting dirasakan yaitu dengan adanya NUK (nasi untuk kerja), semacam logistik bagi para pejuang.
Salah seorang tokoh dapur umum di Yogyakarta yang cukup terkenal adalah Ibu Ruswo yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota Yogyakarta. Dapur umum dan PMI sangat identik dengan kaum wanita pada masa revolusi fisik tahun 1948-1949.
Melalui ketokohan Ibu Ruswo dan sejumlah nama lain, Tempa menyajikan simbolisasi dapur umum sebagai monumen kreatif dan kolektif. Tempa membangun karya dengan medium alat pembakaran dari gerabah, disusun menjadi sebuah karya instalasi.
Melaui karya ini, Tempa ingin menunjukkan bahwa peran perempuan tidak hanya berada di belakang, namun juga memiliki dimensi penting dan salah satu titik depan dalam perjuangan.
Nama-nama yang ditera dalam karya instalasi tersebut merupakan perumpamaan tentang sikap kebersamaan sebagai perempuan yang tidak tinggal diam dalam menjaga kedaulatan negara.
Pada karya Ryan K., peran petani menjadi pilihan. Petani adalah gambaran masyarakat kelas sosial bawah di Yogyakarta.
Mereka tidak selalu memiliki tanah sawah, namun juga yang hanya sebagai penggarap. Meski demikian pada masa revolusi, tidak sedikit yang merelakan harta benda miliknya untuk perjuangan.
Ada yang merelakan rumahnya untuk dijadikan markas dengan berbagai risiko yang dihadapinya. Ada pula yang rela memberikan bahan makanan. Bahkan ada diantaranya sebagai pembawa barang bagi para perjuang.
Karya Ryan dalam pameran ini diakumulasi dari sejumlah wilayah dan gagasan. Ia membangun peristiwa dengan menggunakan instalasi multimedia dengan bekal koleksi, arsip dan rekaman kisah audio visual.
Dengan latar geografi sungai (sekaligus monumen) legendaris “Selokan Mataram” yang diinisiasi oleh Sultan Hamengku Buwono IX, karya ini mengajak penonton untuk memikirkan air sebagai lintasan peristiwa.
Meskipun Selokan Mataram secara historis tidak berhubungan secara langsung dengan Serangan Umum, namun keberadaannya sangat penting dalam kesejahteraan petani dan masyarakat. Kemapanan pangan adalah salah satu kunci untuk menegakkan kedaulatan. Petani adalah salah satu sumber penting dari kemapanan tersebut.
Disamping itu gagasan karya ini dilandasi dengan pemikiran petani sebagai akar gerakan politik dan ekonomi. Utamanya pada masa yang sama dengan peristiwa Serangan Umum.
Petani, menurut Ryan, memiliki peran ganda. Mereka menopang sisi ekonomi melalui hasil pertanian. Pada sisi lain, ia juga turut berjuang atas tanah kelahirannya.
Termasuk pemilihan artefak alat-alat pertanian dalam karya ini seperti clurit, bendo (parang), di samping sebagai alat untuk bertani, namun juga bisa dipakai sebagai senjata dalam perjuangan.
Tak kalah unik, kolektif Brokenpicth menyajikan karya berbasis karakter Pemuda. Pemuda sebagai representasi generasi baru. Pemuda sebagai benteng keamanan kampung. Potret pemuda sebagai representasi hidup kita sehari-hari.
Di masa revolusi, ada yang turut menjadi kurir maupun penyebar semangat juang. Ada yang berperan sebagai mata-mata. Tidak sedikit pula diantara mereka yang bergabung dengan badan kelaskaran. Peran para pemuda cukup besar dalam kancah revolusi.
Brokenpicth dalam pameran ini membangun “diorama interaktif” untuk merespons karakter pemuda beserta koleksinya. Diorama tersebut untuk menunjukkan narasi dan rekonstruksi sisi lain dari perang.
Jika biasanya perang digambarkan dengan sisi heroik, patriotisme dan penokohan figur, mereka justru menawarkan kehidupan sehari-hari yang terjadi di masa perang. Hal di luar persoalan kekerasan dan bingkai kematian serta kekejaman perang. Mereka menawarkan kisah yang rileks, bahkan “lucu” untuk ukuran buku sejarah.
Sejumlah lukisan dan foto sezaman digunakan dalam sajian mereka. Ada lukisan yang menggambarkan tentara Belanda menyambar ayam kampung, asmara di tengah perang, jualan rokok sambil melukis, serta nyanyian atau himne di masa perang.
Karya Brokenpicth bersifat interaktif karena menawarkan keikutsertaan penonton, bernyanyi, dan lifesize photo booth, serta momentum bagi-bagi stiker tentang sisi lain perang yang harus ditempel pada dinding ruang atau dibawa pulang. Dari karya ini, kita “diakrabkan” oleh perang dengan cara rileks dan senda gurau.
Semua hal yang menarik di atas, jelas bersimpul pada satu hal. Ide tentang eksisnya kelima karakter untuk menengarai keberhasilan mempertahankan kemerdekaan.
Keberhasilan Serangan Umum 1949 jelas ditopang semangat gotong-royong berbagai elemen masyarakat, dan dengan model perjuangan yang berbeda pula.
Karena itulah, simpul penting dalam pameran ini adalah pernyataan bahwa serangan umum sebagai upaya mempertahankan daulat kemerdekaan ternyata dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk.
Inilah ragam ikhtiar yang diwujudkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Perang, daulat, dan ikhtiar adalah satu kesatuan untuk menjaga harga diri bangsa dan kemanusiaan.
Baca Juga: Isi Perjanjian Giyanti Ditandatangani Menandai Berdirinya Kesultanan Yogyakarta, Ini Awal Mulanya
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari