Siapa Berani Hardik Bung Karno jika Bukan Bung Tomo Pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Bung Tomo kecil-kecil cabe rawit. Tak hanya kepada musuh, pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945 ini juga berani hardik Bung Karno (Dok Kompas)
Bung Tomo kecil-kecil cabe rawit. Tak hanya kepada musuh, pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945 ini juga berani hardik Bung Karno (Dok Kompas)

Bung Tomo kecil-kecil cabe rawit. Tak hanya kepada musuh, pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945 ini juga berani hardik Bung Karno. Artikel ini digubah dari tulisan "Bung Tomo" yang tayang di Majalah HAI pada 1984.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Dua puluh lima tahun usianya, tapi dia berani menanggalkan jabatan Pemred Antara dan mendirikan radio yang tak punya izin pemerintah. Lewat radio itu, dia mengumumkan korban perang serta memanggil para jago untuk ikut turun ke medan juang.

Dia siaran menggunakan berbagai bahasa, Inggris, Belanda, membuat musuh terkecoh. Tertawanya bagai orang Sunda, marahnya adalah marah orang Madura, sementra diplomasinya ala Jawa. Jangan salah, Bung Karno pun dihardiknya karena kecewa.

Dialah Sutomo, yang suka dipanggil Bung Tomo, pahlawan Pertempuran Surabaya 10 November 1945.

"Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah, yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah putih, selama itu tidak akan kita suka membawa bendera putih untuk menyerah pada siapa pun!" begitu teriaknya.

Satu tekad Bung Tomo: mempertahankan kemerdekaan dengan mengajak seluruh rakyat Surabaya bangkit dan kembali bersemangat melawan siapa saja yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Dirikan Radio Pemberontakan tanpa izin pemerintah pusat

Demi kemerdekaan itu, Sutomo yang dalam usia 25 tahun telah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Antara Jawa Timur meletakkan jabatan. Setelah bebas dari jabatan resmi, Sutomo mengajak kawan-kawan seperjuangan mendirikan Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia.

Radio itu menjadi wadah yang penuh semangat berontak terhadap penjajahan di Indonesia. Sekaligus sebagai tempat menuangkan cita-cita organisasi bawah tanahnya, Pemimpin Pemberontakan Rakyat.

Seperti disinggung di awal, pendirian radio itu sendiri tanpa izin Menteri Penerangan, Amir Syarifuddin, alias ilegal. Dia terpaksa berbohong pada kawan-kawannya soal izin ini. Menteri Amir sendiri ketika itu ingin mengadakan pendekatan dengan cara diplomasi.

"Tapi aku berharap rakyat tetap dikobarkan semangatnya untuk menghadapi saat-saat revolusi Indonesia. Kehendak itu bukan kehendakku sendiri, tapi hasrat rakyat Indonesia, terutama mereka-mereka yang menyaksikan adanya tanda-tanda hendak dikembalikannya penjajahan di atas bumi Indonesia yang sudah merdeka. Mana yang harus kuutamakan? Akhirnya aku memutuskan, rakyat!" kata Bung Tomo.

"Hari itu, tanggal 13 Oktober 1945, jam 17.30 pidatoku mulai kubaca," Kata Bung Tomo mengingat saat pertama kali mengudara.

"Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di studio. Seolah di depanku ada beribu-ribu, bahkan berpuluh-puluh ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan para pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap menghadapi bahaya yang mendatang... Tak dapat kulukiskan betapa gembiraku ketika selesai aku membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi mukaku, kalau bukan kawan-kawan yang memperingatkan akan hal itu."

Pemuda Sutomo tahu betul bahwa tindakannya mengandung banyak risiko. Sambil tergelak dia mengenang kembali keberaniannya saat itu, "Keberanian itu tidak begitu saja muncul. Keberanian itu tidak. bisa disulap! Tapi secara umum, bagi pemuda yang hidup di zaman perang waktu itu, rasanya malu kalau tidak berani. Jadi, setengahnya terpaksa berani."

Tapi kemudian Bung Tomo menerangkan kemungkinan keberaniannya itu memang bakat dari leluhurnya. Konon nenek moyangnya berasal dari prajurit Mataram yang menolak bekerja sama dengan Belanda. Sejak kecil pula dia sudah sering mendengar keperwiraan mereka.

Gabungan Sunda, Madura, Jawa

Neneknya sendiri berasal dan Jawa Barat sedang kakek dari Madura. "Kalau lagi tertawa, itu ciri orang Sunda. Kalau lagi berang, keluar darah Madura. Tetapi diplomasinya tetap diplomasi Jawa," katanya tertawa.

Ayah Sutomo, Kartawan Ciptowijoyo, dipecat dari jabatannya sebagai kontroler pajak di kantor kotamadya. Dia pun memindahkan keluarganya ke kampung dan rumah yang sempit. Dalam keadaan yang sangat miskin ayah tidak bekerja, Sutomo sebagai anak tertua merasa bertanggung jawab terhadap keempat adiknya.

Pagi hari setelah sarapan singkong dan minum teh dengan gula jawa ia pergi ke stasiun Pasar Turi, menjajakan koran. Siangnya dia berusaha mengingat pelajaran yang pernah diterimanya dan malam hari menambah pelajaran sendiri.

Sutomo memutuskan keluar dari sekolahnya, di kelas dua Mulo (SMP). Lalu dia meneruskan SMA-nya secara tertulis. Sore hari dia menjadi pembantu tukang penatu, pengantar pakaian ke langganan. Di waktu senggangnya dia menjadi kacung bola di lapangan tenis dan membantu kawannya di sebuah percetakan.

Berkat kawan di percetakan ini, Sutomo yang dilahirkan tanggal 3 Oktober 1920 ini berhasil menerbitkan tulisannya tentang tokoh pujaannya, Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden Powell. "Saya menangis waktu mendengar orang yang saya kagumi itu meninggal. Saya dengar berita kematiannya dari radio tetangga," kenangnya.

Dalam pertempuran 10 November 1945, Radio Pemberontakan mempunyai peran yang sangat besar. Cara pidato Bung Tomo yang selalu penuh semangat dan menggelegar seperti Bung Karno ini mudah membangkitkan semangat juang pendengarnya. Mirip atau tidak dengan Bung Karno, tak jadi soal baginya.

"Yang penting bagiku pidatoku dapat diterima oleh rakyat!"

Di bawah dentuman meriam, rentetan bunyi mitraliur atau pesawat udara musuh yang mengintai, Sutomo dan kawan-kawannya tetap setia mengudara. Radio Pemberontakan benar-benar merupakan jiwa daripada api perlawanan rakyat terhadap Inggris dan Belanda kala itu, terang Bung Tomo.

Radio ini tidak hanya mengumumkan korban-korban yang tewas dalam pertempuran 10 November, tapi juga memanggil jago-jago dari beberapa daerah di sekitar Surabaya untuk bergabung dalam usaha mempertahankan Surabaya.

Setiap malam Radio Pemberontakan menyiarkan pidato dalam berbagai bahasa daerah dan logatnya, bahasa Inggris, Belanda. Tak jarang radio ini siarannya membuat Inggris bingung. Komando diberikan agar rakyat bergerak ke Timur, misalnya, tapi kenyataannya rakyat digerakkan ke Timur dan Barat sambil menyerang tentara Inggris.

Sayang, Radio Pemberontakan yang sudah berjasa selama pertempuran 10 November 1945, dipaksa hilang dari udara akhir Desember 1947.

"Pada waktu itu Menteri Setiadjit dengan alasan hendak melayani Belanda secara lebih baik, dapat menggerakkan pemerintah melarang siaran-siaran Radio Pemberontakan. Kawat yang berisi perintah dari Presiden kepadaku sebagai Mayor Jenderal TNI untuk tidak berpidato radio lagi kuterima di Tawangmangu. Sebagai prajurit yang terikat oleh disiplin, aku tunduk oleh perintah itu," kata Bung Tomo.

Hardik Bung Karno

Sutomo yang oleh teman-teman dekatnya mendapat julukan si Bung Kecil ini tidak hanya berani menghadapi musuh. Terhadap pemerintah sendiri pun kalau dilihatnya salah, dia tak segan-segan mengeluarkan pendapatnya.

Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, pemuda Sutomo berangkat ke Jakarta untuk melihat perkembangan di ibukota.

"Tetapi betapa kecewa hatiku! Bendera Belanda yang sudah tidak laku di Jawa Timur, kulihat berkibar dengan megahnya di muka sebuah tangsi Angkatan Laut Belanda. Tidak dapatkah pemerintah pusat kita menghalang-halangi hal yang demikian? Apa artinya merdeka?" tanya Sutomo.

Hatinya makin sakit ketika melihat beratus-ratus orang preman dan serdadu serikat bersorak-sorak, seolah mereka telah bertempur mati-matian merebut kota Jakarta. "Terbayang kembali ke mukaku segenap peristiwa perebutan kekuasaan di Surabaya, lengkap dengan darah pemuda yang telah men-de facto-kan Kemerdekaan Republik Indonesia."

Jiwanya menjerit waktu melihat perwira Jepang mendapat hotel mewah sambil menunggu saat penyerahan. Maka ketika datang kesempatan bicara di hadapan pembesar Jepang dan pemimpin Indonesia, Sutomo mengeluarkan uneg-unegnya.

"...Bung Karno! Saya kecewa melihat kalian, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia. Kalian selama ini menganjurkan pada kami, seluruh rakyat Indonesia, untuk membantu dan bekerja sama dengan pihak Jepang. Ternyata bangsa yang kita bantu itu tak lebih dari bangsa penjajah yang menindas bangsa kita sendiri. Mereka hidup makmur dan mewah, seolah di negaranya sendiri dan seperti tidak dalam keadaan perang. Sementara itu bangsa kita hidupnya miskin, papa dan tertindas! Sekarang saya tahu, kenapa kalian selama ini berdiam diri saja. Karena kalian sudah dibungkam dan mabuk oleh kemewahan yang diberikan oleh Jepang pada kalian. Makan enak, tidur di kasur empuk, dikasih mobil, rumah dan seterusnya. Saya kecewa padamu, pada kalian! Saya tidak tahu, kalau begini sikap kalian, siapa yang akan memimpin bangsa Indonesia apabila kelak kita merdeka...!"

Semua terdiam. Pemuda kurus, berumur 25 tahun dan tingginya tak lebih dari 160 cm ini begitu berani. Dalam kesempatan bertemu muka langsung, Bung Tomo minta penjelasan sikap pemerintah pusat dan pendirian pribadinya.

Kemudian dengan sungguh-sungguh Bung Karno memberi penjelasan.

"Adik, saya harap Adik jangan hanya mengukur kekuatan kita dengan keadaan di Jawa Timur. Coba Adik lihat daerah-daerah lainnya. Banyak pasukan Nippon yang belum menyerahkan senjatanya pada kita. Sekarang sebaiknya kita berusaha dulu merebut senjata tentara Nippon di seluruh Indonesia."

Dengan hati yang sarat oleh kekecewaan, Bung Tomo kembali ke Surabaya dengan satu niat, berjuang menurut caranya dan berdirilah gerakan bawah tanah yang dia namakan Organisasi Pemimpin Pemberontakan Rakyat.

Tanggal 10 November merupakan hari yang paling bersejarah bagi rakyat Surabaya. Tindakan mereka, anak-anak kecil, pemuda bahkan orang tua, tanpa diperhitungkan lagi.

"Pada tanggal itu rakyat melupakan segala-galanya kecuali Republik Indonesia tetap merdeka. Tidak penting lagi arti golongan, tingkatan, perbedaan agama dan paham. Saat itu negara Proklamasi 17 Agustus 1945 sedang terancam bahaya. Kemerdekaan tanah air sedang terganggu," kata Bung Tomo.

"Pergi" di Tanah Suci

Malam itu,tanggal 9 November bertahun-tahun kemudian, di atas meja terletak beberapa surat kabar yang memuat gambar Bung Tomo di halaman terdepan. Itu adalah surat kabar yang menyambut hari Pahlawan esok harinya.

"Tak tertahan air mataku. Aku Menangis, kutumpahkan air mata itu di depan istriku. Gelisah, cemas, berdebar-debar perasaanku kala itu. Gambarku dimuat di halaman depan surat-surat kabar, namaku dibaca oleh khalayak ramai … sedangkan sesungguhnya tidak besar arti perbuatanku pada 10 November 1945 bila dibandingkan dengan keikhlasan beribu-ribu saudara yang telah tewas binasa, hancur lebur karena ikut menyebabkan menjadi besarnya arti Hari 10 November itu", kenang Bung Tomo.

"Bila ada yang dianggap pahlawan pada hari itu, maka segenap rakyat itulah yang hams dinamakan pahlawan."

Putra sulung Kartawan Ciptowijoyo dari kampung Baluran, Surabaya, ini tetap meledak-ledak dan berani, setelah tanggal 10 November '45 berlalu jauh. Bicaranya masih blak-blakan, nyrempet-nyrempet bahaya. Tak hanya lewat pidato dia pintar mengkritik pemerintah, tapi juga lewat puisi 'Sajak Sepasang Sendok dan Garpu'.

Keberaniannya menyatakan sikap tak pernah luntur dari dada bekas jendral dan pemimpin pasukan yang mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo. Keberaniannya pula yang mengajaknya memenuhi panggilan suci panggilan agama, menunaikan ibadah haji, pada 1981.

"PadaMu aku datang ya Tuhanku".

Dia datang memenuhi panggilan itu. Dalam perjalanannya itu Bung Tomo meninggal dunia di Mekah. Dia memang telah pergi meninggalkan kita semua, tapi Bung Tomo tetap 'hidup' dan dikenang, apalagi menjelang peringatan Hari Pahlawan, 10 November.

Artikel Terkait