[ARSIP HAI]
Bila berbicara Hari Pahlawan, namanya harus disebut. Peranannya di masa itu berbeda dari Bung Tomo, kemenakannya. Aksi Bung Tomo lebih banyak lewat radio, sementara dia lebih banyak turun ke lapangan mengangkat senjata, menggerakkan anak buahnya melawan penjajah.
Pertama tayang di HAI pada Oktober 1986
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Namanya Moestopo. Pangkatnya Mayor Jenderal purnawirawan.
Belum cukup, setumpuk keahlian dalam ilmu bedah rahang mulut, ahli perawatan gigi, ahli pengawetan gigi, ahli kesehatan gigi masyarakat, ahli gigi palsu, ahli dalam biologi dan gelar Panc yang diartikan seorang pengamal Pancasila. Dia dipanggil Tuhan pada 29 September 1986 lalu dalam usia 73 tahun.
Menjelang 10 November
Mengenang Moestopo memang lebih banyak mengenang peristiwa menjelang pecahnya pertempuran yang menewaskan Brigjen Mallaby yang dikenal dengan peristiwa 10 November 1945 di kota buaya Surabaya.
Saat-saat itu nama Moestopo amat beken, selain karena waktu itu dia telah bergelar dokter (lulus 1937) yang mengajar di sekolah kedokteran gigi Surabaya, Moestopo waktu itu juga sebagai Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Karesidenan Surabaya yang bermarkas di Tegalsari.
Peristiwa penurunan bendera Belanda di hotel Oranje Surabaya adalah satu contoh keberaniannya. Waktu itu tanggal 19 September 1945, seorang wartawan yang dikenal dengan Pak Petruk melaporkan bahwa di puncak hotel Oranye berkibar bendera merah putih biru.
"Saya menelpon pemilik hotel, minta agar bendera Belanda itu diturunkan. Indonesia sudah merdeka dan punya bendera sendiri. Tapi pemilik hotel itu menolak," cerita Moestopo semasa hidupnya dalam surat kabar Buana Minggu.
Tak lama kemudian, kemarahan terjadi bukan di dalam dada Moestopo saja. Tapi juga di dada para tukang becak. Mereka mendesak Moestopo agar mengizinkan mereka menurunkan bendera Belanda. Moestopo pun mengizinkan.
Dan secara serentak para tukang becak menurunkan bendera itu. Insiden kemudian direnteti oleh pengepungan markas tentara Jepang oleh rakyat.
Banyak senjata Jepang dirampas rakyat. BKR pun mengeluarkan resolusi untuk menurunkan bendera Jepang di puncak Gubernuran di Jatim. Akhirnya resolusi itu diterima. Bendera Jepang yang berkibar di Gubernuran diganti bendera Merah Putih.
Hari-hari selanjutnya bukan kedamaian yang tercipta di kota Surabaya. Jepang memang menyerah pada Sekutu karena Nagasaki dan Hiroshima dibom. Tapi di Surabaya, Jepang belum mau menyerah.
Oleh sebab itu Moestopo yang mendengar kota Surabaya akan dibom Jepang, ia langsung menemui Syucokan (Gubernur Jepang) untuk meminta supaya Surabaya jangan dibom. Dia membujuk dengan kata-kata manis.
"Bukan pihak kami saja yang rugi, pihak Nippon pun akan jadi korban. Mereka kan masih rindu sama istri dan anak-anak," kata Moestopo.
Pemboman pun digagalkan. Tapi ada lagi yang ingin diperoleh Moestopo yaitu senjata-senjata Jepang. Pikir Moestopo, pasti tidak lama lagi Jepang ini akan pulang ke negerinya.
Daripada susah-susah bawa senjata, lebih baik diserahkan ke rakyat Indonesia. Namun untuk memperoleh yang satu ini, kuncinya terletak pada diri Jenderal Iwabe, pucuk pimpinan angkatan darat Jepang di Jawa.
Lagi-lagi dalam pertemuan dengan Iwabe, Moestopo pakai bahasa diplomatis. Iwabe agak keras memang. Tapi manakala Iwabe bertanya seandainya Inggris ke Surabaya mencari senjata-senjata Jepang, siapa yang ingin menjawab kesulitan Inggris itu?
Moestopo berkata dengan lantang, dialah yang akan menjawab semua pertanyaan tentara sekutu yang sebentar lagi masuk ke Surabaya.
Iwabe pun runtuh. Senjata-senjata Jepang diserahkan kepada rakyat Surabaya menyusul kepergiannya dari bumi pertiwi. Bayangkan, penyerahan senjata-senjata itu pakai upacara kebesaran segala. Oleh Moestopo senjata-senjata itu tidak saja dipergunakan oleh pejuang-pejuang Surabaya tapi juga dikirim ke Garut, Klender, Solo, Bali juga ke tempat lain yang memerlukan.
Memang jumlah senjata yang diterima cukup banyak, bukan yang berada di tangan tentara Jepang saja tapi juga di gudang-gudang. Begitu juga peralatan perang lainnya, bukan senjata tangan saja tapi juga kapal perang, tank dan banyak lagi.
Dianggap ekstremis
Jepang kemudian kembali ke negerinya. Diganti oleh sekutu di bawah pimpinan Brigjen Mallaby. Atas perintah dari Jakarta, Mallaby di tempatkan di pabrik gas. Pemerintah dari Jakarta memang mengharuskan Moestopo untuk menyambut baik kedatangan sekutu di Surabaya. Namun dia memperoleh dokumen penting ketika menggerebek hotel Yamato.
Dalam dokumen itu ditunjukkan bahwa Belanda akan kembali datang ke Indonesia. Karena menurut perjanjian Postdam antara negara 5 besar (Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Cina dan Rusia) telah diputuskan bahwa Indonesia harus diserahkan kembali kepada Belanda.
Namun dokumen ini masih dirahasiakan Moestopo. Dia memerintah Bung Tomo untuk menggerakkan pasukan bawah tanah yang dipimpin oleh Katam Hadi. Selain itu ia juga mempersiapkan pertempuran dengan sekutu, dengan persenjataan yang diperoleh dari Jepang.
Pimpinan pertempuran diserahkan kepada Bung Tomo, karena dia tahu saat itu dirinya tengah disorot. Ini terbukti manakala ia tengah memeriksa persiapan di Mojokerto, ia bersama 3 temannya disergap sekutu. Lalu akan dibunuh. Tapi rencana pembunuhan itu gagal ketika prajurit yang disuruh membunuh itu tidak tega membunuh Moestopo yang telah dikenalnya.
Setelah lolos dari rencana pembunuhan Moestopo kembali kepada perintah-perintahnya sampai akhirnya dia diperintah menghadap Bung Karno dan Bung Hatta di Gubernuran tanggal 30 September 1945. Ini berkaitan pada aksi-aksinya yang oleh kedua pimpinan tertinggi negara itu diminta pertanggung jawabannya.
Moestopo sebelum menghadap proklamator itu mengambil dokumen yang ditemukannya di hotel Yamato yang dia simpan di kolong kandang kuda milik Kyai Yusremo.
Ketika sampai di Gubernuran belum sampai pada tahap pembicaraan, Bung Hatta sudah berseru. "Nah, ini dia orangnya yang perang terus. Ekstrimis!"
Mendengar kata-kata Bung Hatta wajah Moestopo merah padam. Dengan maju beberapa langkah ke arah Bung Hatta, dia berdiri tegak, sikap seorang militer. Tangan kirinya meraih ujung Merah Putih dan ia berkata tegas:
"Bung, tembak saya di sini, di depan para opsir bule itu biar mereka menyaksikan dengan puas. Arahkan mulut senapan itu kepada saya dan semburkan pelurunya kalau saya selesai memberi hormat pada Bung. Bagi saya, daripada harus dijajah kembali, lebih baik mati, Bung!"
Suasana pun menjadi senyap. Namun tiba-tiba Bung Karno membentak dengan suara geledek memecahkan kesenyapan: "Tidak! Hanya saya Presiden Republik Indonesia yang bisa membunuh Moestopo!"
Keadaan pun menjadi jelas, ketika Moestopo menjelaskan penemuannya di hotel Yamato. Bagaimanapun kedua pimpinan itu mengharapkan pertempuran dihentikan. Keputusan lain, Moestopo dipensiunkan dari jabatannya di Jatim. Jabatan baru sebagai penasehat agung militer.
Dia menurut perintah atasannya itu. Tapi di hatinya bergejolak. Sekutu pun salah duga. Disangkanya tindakan itu mengendorkan semangat arek-arek Surabaya. Tapi justru mengobarkan semangat juang rakyat. Moestopo pergi, Bung Tomo yang mengambil alih. Dan meletuslah peristiwa 10 November yang terkenal itu.
Pencopet dan WTS dimanfaatkan
Jabatan penasehat militer tetap dipegang dengan serius dan patuh pada atasannya. Dia bukan saja sebagai penasehat militer Bung Karno tapi juga penasehat militer Panglima Besar almarhum Jenderal Sudirman.
Ketika terjadi serangan Belanda pada pasukan Divisi Siliwangi, Moestopo memperoleh advis dari seorang tua yang ada di sebelah kamar Bung Karno. Advis itu mengatakan agar dia membantu Divisi Siliwangi.
Advis itu kemudian dijalankan, berdasarkan surat perintah Bung Karno dan Sudirman yang ditandatangani Urip Soemohardjo, Moestopo bersama sekitar 100 orang berangkat ke Priangan melalui Bukanagara. Seratus orang yang dibawa Moestopo itu adalah Barisan Teratai yang terdiri dari para pencopet, perampok dan para wanita tuna susila.
Menurut Abdul Haris Nasution, pemanfaatan para pencopet dan WTS ini sebagai ide yang unik, nyentrik. Perampok dan pencuri disuruh melakukan aksinya di daerah musuh. Sedang para WTS bikin penyakit serdadu NICA.
Ide unik juga pernah dilakukan, yakni dengan bambu runcing. Di bagian runcingnya tidak didiamkan begitu saja, melainkan diberi tahi kuda. Tahi kuda dapat mengakibatkan penyakit tetanus pada orang yang kena tusukannya.
Tahun 1950-1951, Moestopo diserahkan untuk menjabat Kepala Kesehatan Gigi Angkatan Darat merangkap Kepala Bagian Bedah Rahang RSPAD di Jakarta. Th. 1951-1957, menjabat Deputi Kepala Kesehatan Gigi Angkatan Darat, juga sebagai Wakil Ketua Front Pembebasan Irian Barat.
Jabatan-jabatan itu merupakan jabatan terakhir dalam hidup Moestopo yang diartikan sebagai perjuangan secara fisik.
Perjuangan yang tidak pernah henti adalah pengabdiannya di bidang kesehatan dan pendidikan. Pada masa perjuangan dia sering mempraktikkan keahliannya sebagai dokter gigi ke rakyat jelata. Siang jadi dokter, malam merayap bergerilya.
Pengabdiannya tak pernah berhenti. Perang telah usai, pengabdiannya berlanjut. Dia mendirikan sekolah-sekolah, bukan hanya sekolah kedokteran gigi, bidang yang sangat dikuasainya tapi juga bidang komunikasi massa.
Tak meleset kalau kemudian dia mendapat sebutan Bapak Komunikasi Indonesia. Untuk jasa-jasanya pemerintah menganugerahi Bintang Mahaputra Utama pada putra kelahiran Kediri 13 Juni 1913 ini.