Intisari - Online.com -Para raksasa militer sedang unjuk kebolehan dan rudal-rudal hipersonik sedang menjamur.
Namun hal ini membawa masalah perlombaan kekuasaan melawan senjata pengubah pertandingan.
Mengutip Asia Times, bagi Amerika Serikat, Standar Missile-6 (SM-6), rudal kebanggaan mereka, masih jadi torehan terbaik sistem pertahanan rudal.
Hal ini memberi sinyal kerentanan jelas melawan hipersonik bermanuver cepat.
SM-6 pertama kali mengudara pada 2013, merupakan rudal pertama keluarga "Standard" termasuk anti-udara tiga dalam satu, anti-permukaan dan kemampuan pertahanan terminal di laut yang memberi kemampuan menghadang rudal balistik dan rudal jelajah.
SM-6 diluncurkan dalam tiga rancangan "Blok", dengan SM-6 Blok I digunakan sebagai versi asli yang diluncurkan dengan kapal-kapal Angkatan Laut AS berkemampuan Aegis.
Blok IA yang menangani kesalahan teknis yang ada di versi pertama, dan SM-6 Dual yang terakhir bisa melawan target rudal balistik dan rudal jelajah.
Laporan telah menunjukkan SM-6 memiliki kemampuan baru lahir melawan target hipersonik.
Sementara SM-6 dapat menghancurkan rudal balistik yang terbang dalam kecepatan hipersonik, efektivitasnya melawan manuver target hipersonik masih dipertanyakan.
Tahun lalu, sepasang rudal SM-6 Dual diluncurkan dari kapal perang Aegis AS gagal menghadang target rudal balistik jangkauan medium.
Namun, SM-6 Dual secara berhasil diuji pada 2015 dan 2017, mengindikasikan sebuah catatan campuran melawan ancaman rudal balistik konvensional.
Dengan rudal balistik terbang di kecepatan hipersonik selama fase pengisian ulang, rudal terbang dengan kecepatan balistik yang bisa diprediksi, membuatnya mungkin untuk dihitung titik lengahnya.
Namun, menyerang sebuah target manuver hipersonik akan jauh lebih sulit.
Saat ini, kemampuan pertahanan rudal AS menghadapi ketegangan politik, teknik dan biaya yang signifikan, yang bisa membatasi efektivitas melawan ancaman hipersonik.
Sensitifitas politik untuk peluncuran sistem pertahanan rudal di negara-negara sekutu AS dapat meninggalkan blind spot yang membuka kerentanan lebih besar.
Negara-negara itu mungkin khawatir menjadi target serangan.
Hal ini terlihat dalam protes yang terjadi di Korea Selatan atas peluncuran sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), yang telah berlangsung sejak 2017.
Terbatasnya radar rudal pertahanan secara geogradis artinya tidak semua wilayah kritis dapat dilindungi melawan serangan itu.
Hal ini tercatat dalam fakta bahwa perisai rudal NATO tidak bisa melindungi Bulgaria, Yunani, Romania, dan Turki, dari serangan rudal datang dari Iran dengan sistem intersepsi tengah jalan di Polandia, membuat diperlukannya perkembangan kemampuan intersepsi tahap terminal.
Harga mahal rudal SM-6 Dual, diperkirakan sekitar 5 juta USD per rondenya, akan membuatnya sangat mahal untuk mengirimkan senjata yang secara potensial cukup untuk mengalahkan serangan jenuh rudal hipersonik, yang bisa dipersenjatai dengan pengecoh dan penghadang lain untuk memperdaya rudal pertahanan.
Mengingat tantangan biaya dan kemampuannya, logis jika berpikir alternatif pengembangan berarti mengalahkan senjata hipersonik sebagai bagian dari pertahanan rudal berlapis-lapis.
Satu pilihan jelas adalah menggunakan interseptor rudal di lapang.
Sementara SM-6 Dual memiliki beberapa kemampuan hipersonik, diyakini SM-6 ternyata terpinggirkan.
Hal ini karena Agensi Pertahanan Rudal AS (MDA) telah memberikan izin bagi Lockheed Martin, Northrop Grumman dan Raytheon Missiles and Defense untuk membuat konsep Glide Phase Interceptor.
Tahun 2020, MDA melaporkan masalah pendanaan dengan program itu dan menunda pengembangan interseptor hipersonik, menyarakan jika mereka akan mencari solusi lebih bisa dicapai dalam jangka dekat.
Namun upaya AS untuk mengembangkan pertahanan kontra-hipersonik berganting pada meningkatkan infrastruktur pertahanan rudal yang sudah ada.
Senjata api adalah pertahanan melawan senjata hipersonik lainnya yang bisa dikembangkan.
Dengan itu, satelit adalah kunci kerentanan dalam rantai pembunuhan hipersonik, dengan senjata-senjata ini bergantung pada satelit untuk menarget, melacak, dan memandu.
Peluncuran senjata anti-satelit dan kemampuannya bisa menjadi bagian dari rencana perkembangan kemampuan menyeluruh melawan ancaman rudal hipersonik yang meningkat.