Menurut Jakarta Globe, untuk menghormati tanah air mereka, setiap tahun pada tanggal 1 kalender lunar, pedagang Tionghoa di Pasar Gede menghentikan semua aktivitas perdagangan dan produksi untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
Ini membuat operasi pasar terhenti dan membuat pelanggan lokal mereka tidak senang.
Namun, karena kekuatan ekonomi kelompok Tiongkoa di Pasar Gede terlalu besar, masyarakat Indonesia tidak bisa memaksa mereka untuk tidak merayakan Tahun Baru Imlek dan kembali membuka toko.
Untuk 'menyenangkan' para pedagang Tionghoa, banyak orang Indonesia juga membantu mereka merayakan Tahun Baru Imlek.
Pada abad ke-19, Tahun Baru Imlek menjadi salah satu hari libur besar de facto di Indonesia.
Dalam kurun waktu 1960-1998, akibat pengaruh Perang Dingin, kelas pedagang Tionghoa di Indonesia banyak mengalami kendala sosial dan politik.
Pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Isi dari Inpres ini di antaranya adalah pelaksanaan Imlek yang harus dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.
Semua acara, kegiatan, dan tradisi untuk merayakan Tahun Baru Imlek tidak boleh dilakukan di tempat umum.
Penyiaran lagu, berita Tahun Baru dan tarian singa dan naga komunitas Tionghoa dilarang keras.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Tatik Ariyani |
KOMENTAR