Intisari - Online.com -Sebagai kerajaan terbesar di bumi Nusantara, tidak heran Majapahit memiliki banyak penantang.
Tantangan dari kerajaan lain membuat Majapahit melancarkan perang yang merenggut ribuan nyawa.
Salah satunya adalah perang Bubat yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda.
Perang ini berdampak besar pada kedua kerajaan, karena Sunda nyaris runtuh karenanya.
Raja dan pejabatnya mati akibat serangan pasukan Bhayangkara komando Gajah Mada, dan perang ini telah meninggalkan luka besar bagi Kerajaan Sunda.
Patih Kerajaan Sunda, Patih Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati sampai naik tahta mengisi kekosongan raja Sunda yang wafat.
Patih Mangkubumi membuat instruksi khusus bagi rakyat Kerajaan Sunda untuk tidak menikah dengan orang Jawa, seperti dikisahkan lewat buku "Perang Bubat 1279 Saka: Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit" yang ditulis oleh Sri Wintala Achmad.
Raja mengeluarkah titah esti larangan ti kaluaran, isinya yaitu tidak boleh menikah dengan luar lingkungan kerabat Sunda, atau dengan pihak timur dari Kerajaan Sunda, Kerajaan Majapahit.
Instruksi ini juga buah dari pernikahan antara putri Dyah Pitaloka Citraresmi dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, dan mengabaikan beebrapa pinangan datang dari wilayah Sunda.
Tidak ingin terjadi hal yang sama, Kerajaan Sunda memutuskan membuat aturan tersebut.
Raja Sunda yang lain, Maharaja Linggabuana Wisesa mendapat julukan dari masyarakat Sunda, yaitu Prabu Wangi.
Ialah putranya, Niskala Wastu Kancana, yang tidak ikut dalam rombongan, akhirnya diberi kehormatan sebagai raja bergelar Prabu Siliwangi, artinya adalah keturunan raja yang harum namanya.
Prabu Siliwangi inilah yang menjadi raja paling terkenal baik di sejarah Indonesia dan sejarah Kerajaan Pajajaran.
Namun sejak itu hubungan diplomatik Kerajaan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih, karena seluruh hubungan diplomatik Sunda-Majapahit diputus total sejak pemerintahan Prabu Siliwangi.
Suatu kisah yang tertulis di Prasasti Horren yang ditemukan di wilayah Kediri selatan tepatnya di Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.
Wilayah Horren termasuk wilayah penting bagi Majapahit kala itu.
Prasasti berada di atas lembar keping tembaga berukuran panjang 32,6 sentimeter dan lebar 10,6 sentimeter, dikeluarkan pasca Perang Bubat tahun 1357.
Prasasti mencatat mengenai serangan Kerajaan Sunda, menghancurkan wilayah Horren, salah satu wilayah penting Majapahit.
Prasasti dikeluarkan pasca Perang Bubat tahun 1357, kemudian oleh peneliti sejarah dari Belanda, W.F. Stutterheim dianggap jika Kerajaan Sunda melakukan serangan ke Majapahit selepas Perang Bubat.
Namun tidak dijelaskan saat itu siapa yang memegang pemerintahan Sunda, apakah Prabu Bunisora Suradipati atau Niskala Wastu Kancana.
Dugaannya mengacu pada kalimat yang tertulis dengan menggunakan gaya bahasa era Majapahit: Ring kaharadara, nguniweh an dadyan tumangga - tangga datang nikanang catru Sunda, atau yang diartikan tentang kerusakan yang tiba-tiba, lagi pula secara mendadak datanglah musuh (dari) Sunda.
Stutterheim berpendapat serangan Sunda dilakukan lewat teknik senyap dan menyasar jantung kota Kerajaan Majapahit, karena tiba-tiba saja tentara Sunda sampai di Horren, wilayah utara Kadiri, tidak terlalu jauh dari kota Kerajaan Majapahit.
Wilayah ini sekarang dikenal juga sebagai Trowulan.
Logikanya pendapat ini bisa diterima terutama di bagian Sunda menghancurkan wilayah Horren.
Baca Juga: Gagal Lamar Permaisuri Raja, Patih Gadjah Mada Putuskan Tinggalkan Dunia Poltik dan Kekuasaan
Saat itu terjadi, Hayam Wuruk sudah menitahkan bagi Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada untuk pensiun secara halus.
Saat inilah pasukan Bhayangkara yang dikendalikan Gajah Mada akhirnya melemah, membuat angkatan darat dan laut Majapahit kerepotan menghadap serangan Kerajaan Sunda.
Namun, masih belum pasti juga mengenai serangan balasan Sunda ke Majapahit ini.
Banyak sejarawan yang menentang pendapat Stutterheim karena beranggapan Sunda tidak pernah menyerang Majapahit.
Perang Bubat sendiri dikisahkan pada Kidung Sundayana, Kidung Sunda, Serat Pararaton, Babad Dalem, Carita Parahyangan, dan Hikayat Sang Bima.
Semua kisah-kisah ini masih meragukan serangan balasan ini.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini