Intisari-Online.com - Isi Perjanjian Salatiga yaitu tentang pengangkatan Raden Mas Said sebagai Mangkunegara I, serta batas-batasnya sebagai penguasa Mangkunegaran.
Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh pemberontakan terus menerus oleh Raden Mas Said yang dimulainya pada 1742.
Dengan ditandatangani perjanjian ini pada tahun 1757, berakhirlah pemberontakan tersebut.
Perjanjian ini kembali memecah Mataram, setelah sebelumnya Perjanjian Giyanti membagi kekuasaan Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Sejarah Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga pun memiliki kaitan satu sama lain. Keduanya, sama-sama mengakhiri pemberontakan dan konflik perebutan kekuasaan mataram di antara keturunan Amangkurat IV.
Raden Mas Said merupakan cucu dari Amangkurat IV, sekaligus keponakan Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).
Ayah Raden Mas Said adalah Pangeran Arya Mangkunegaran, putra sulung Amangkurat IV dari selir Mas Ayu Karoh.
Seperti apa pemberontakan yang dilakukan Raden Mas Said dan isi Perjanjian Salatiga?
Latar Belakang: Pemberontakan Raden Mas Said
Raden Mas Said lahir pada 25 April 1725 di Keraton Kartosuro. Namun ia harus hidup dalam keprihatinan tak seperti keturunan raja pada umumnya.
Ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegaran, terusir dari istana dan dibuang ke Afrika Selatan lalu Srilanka oleh Belanda karena dituduh mendukung pemberontakan.
Sementara ibunya, Raden Ajeng Wulan, meninggal saat ia masih kecil.
Raden Mas Said kemudian dibesarkan oleh sang nenek Raden Ayu Sumarno.
Ketika beranjak dewasa, Raden Mas Said mulai menyadari apa yang terjadi dengan ayahnya.
Kesadarannya itu memunculkan keinginan untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang didapatkan keluarganya.
Terlebih dengan sikap Pakubuwono II yang menempatkannya sebagai Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram.
Ia pun kemudian memutuskan keluar dari istana dan melakukan pemberontakan bersama temannya, Raden Mas Sutowijoyo, dan pamannya Wirodiwongso.
Setelah pasukan terbentuk, pada 1742, ia mencoba melakukan penyerangan ke Keraton Kartosuro hingga membuat tembok benteng keraton jebol.
Itu menjadi permulaan dari pemberontakan belasan tahun yang dilancarkannya.
Aksi pemberontakan Raden Mas Said pun membuat VOC khawatir yang saat itu memiliki pengaruh di Mataram.
Kemudian, Pakubuwono II mengadakan sayembara untuk meredam aksi pemberontakan Raden Mas Said yang disanggupi Pangeran Mangkubumi.
Keberhasilan Pangeran Mangkubumi meredam aksi pemberontakan Raden Mas Said pula yang menjadi pemicu pemberontakan oleh Pangeran Mangkubumi sendiri.
Hal itu karena Pangeran Mangkubumi merasa dikhianati setelah janji hadiah 3.000 hektar tanah untuk siapa saja yang berhasil meredam pemberontakan tidak ditepati.
Namun, setelah pemberontakan Pangeran Mangkubumi berhasil dihentikan dengan Perjanjian Giyanti, perlawanan semakin berat bagi Raden Mas Said.
Raden Mas Said harus melawan tiga kekuatan sekaligus, yaitu pasukan Pakubwono III yang telah menggantikan Pakubuwono II, pasukan Pangeran Mangkubumi yang telah diangkat sebagai Hamengkubuwono I, serta pasukan VOC.
Disepakatinya Perjanjian Salatiga
Pemberontakan Raden Mas Said akhirnya berhasil dihentikan dan ia mau melakukan genjatan senjata bersama pasukannya setelah berbagai bujukan.
Tahun 1756, Pasukan Raden Mas Said bersedia kembali masuk Keraton Surakarta.
Adapun isi Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1957, yaitu sebagai berikut:
Raden Mas Said diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan sisa wilayah Mataram sebelah timur.
Wilayahnya terdiri dari bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), kemudian seluruh wilayah Kaupaten Karanganyar, Wonogiri, dan sebagian wilayah di Gunung Kidul.
Raden Mas Said diberi gelar Kanjeng Gusti Adipati Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I dan berhak secara mutlak berhak memimpin Mangkunegaran.
Dengan begitu, Perjanjian Salatiga dikenal sebagai perjanjian yang kembali memecah wilayah Mataram.
(*)