Intisari-Online.com - Seperti apa isi Perjanjian Giyanti yang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua?
Mungkin banyak orang kini hanya mengenal adanya Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Tahukah Anda bahwa keduanya berasal dari satu kerajaan yang sama yaitu Kerajaan Mataram?
Pecahnya Kerajaan Mataram menjadi dua bermula dari konflik internal keluarga kerajaan, saat beberapa keturunan Sultan Agung berebut kekuasaan sebagai Raja Jawa.
Saat terjadi gejolak politik di dalam keluarga kerajaan tersebut, VOC, sebuah persekutuan dagang asal Belanda yang punya kepentingan di wilayah tersebut ikut turun tangan.
Pangeran Mangkubumi pun menekan dan membujuk VOC untuk mengakuinya sebagai penerus sah tahta Mataram.
Sementara itu, Paku Buwono II yang telah berada di Kartasura tetap bersikukuh terhadap hak tahta Mataram.
Konflik internal kerajaan tersebut mencapai puncaknya dengan disepakati Perjanjian Giyanti, namun perjanjian itu sekaligus semakin memperkuat kekuasaan VOC, memang apa isinya?
Lahirnya Perjanjian Giyanti
Pada 23 September 1754, tercipta nota kesepahaman antara Mangkubumi dan VOC yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram.
Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Sementara Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.
Itu dicapai setelah pertemuan khusus dengan VOC yang dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo, dan Tumenggung Rangga.
Sementara, N Harting, Gubernur VOC untuk Jawa bagian utara didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.
Menurut dokumen register harian milik N Harting dikutip Kompas.com, Gubernur VOC tersebut berangkat menuju Semarang pada 10 September 1754 untuk menemui Pangeran Mangkubumi.
Pendeta Bastani menjadi juru bahasa dalam perundingan tersebut.
Tawar-menawar wilayah antara keduanya terjadi, dan setelah beberapa perundingan berjalan, nota kesepahaman tersebut pun tercipta.
Selanjutnya nota kesepahaman itu diterima oleh Paku Buwono III yang menggantikan Paku Buwono II yang telah mangkat sebelumnya.
Dari situlah penandatanganan Perjanjian Giyanti dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.
Dalam buku Sejarah Panjang Mataram karya Ardian Kresna (2011), perjanjian itu ditandatangani di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karangayar, Jawa Tengah.
Penandatanganan perjanjian tesebut dihadiri oleh kubu Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi, dan dimediasi oleh VOC.
Tujuan utama Perjanjian Giyanti yaitu tentang pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram, dengan mengangkat Mangkubumi sebagai penguasa separuh wilayahnya.
Mangkubumi mendapatkan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa di wilayah yang sekarang merupakan Yogyakarta.
Sedangkan, Sunan Paku Buwono III harus bisa menerima kenyataan dalam perjanjian tersebut dan berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kartasura-Surakarta.
Namun, di antara pasal-pasal perjanjian ini, ada poin yang menguntungkan VOC dengan memberinya hak-hak tertentu.
Perjanjian Giyanti terdiri dari sembilan pasal dan satu penutup dan ditandatangani pihak yang terlibat.
Berikut isi Perjanjian Giyanti:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur.
Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746.
Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Pasal 9
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
Itulah bagaimana Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan pada abad ke-16 terpecah menjadi dua melalui Perjanjian Giyanti.
Juga bagaimana konflik internal kerajaan tersebut memberikan kesempatan pada VOC untuk semakin mencengkeramkan pengaruhnya di wilayah tersebut.
(*)