Intisari-Online.com - Pada dekade 60-an, sejumlah perwira muda dari jajaran Angkatan laut pernah 'kudeta.'
Biasanya, gejolak semacam ini muncul sebagai respon atas pergantian kepemimpinan elit militer dari figur populer kepada figur yang disukai para prajurit.
Pada 1966 juga sempat terbentuk 'pasukan liar' yang mengepung istana.
Pada tanggal 11 Maret 1966, ketika dilangsungkan Sidang Kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sempat dikabarkan ada 'pasukan liar' tanpa tanda kesatuan.
Kehadirannya dilaporkan memprovokasi Bung Karno untuk meninggalkan Istana Merdeka dan terbang dengan helikopter menuju Istana Bogor.
Di Istana Bogor, Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kelak digunakan Soeharto untuk mengonsolidasikan kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan.
Pada 17 Oktober 1952, juga terjadi peristiwa menarik.
Moncong meriam tentara diarahkan ke Istana.
Baca Juga: Kudeta Mali Dikecam Dunia, Dua Presiden Lengser Hanya Dalam 9 Bulan, Bahkan Ada yang Sempat Ditahan
Para petinggi militer mengajukan tuntutan politik agar Soekarno bertindak lebih tegas terhadap kabinet yang dianggap lebih sibuk berpolitik daripada berkarya nyata untuk bangsa.
Peristiwa itu memakan korban, yakni dicopotnya Jenderal Nasution dari jabatan KSAD.
Dalam sejarah militer modern Indonesia, kudeta lebih eksis sebagai 'ancaman potensial' dan bukan sesuatu yang riil.
Yang terjadi di tahun 1998 tidaklah seperti tahun 1952 atau 1965-66.
Baca Juga: Ulah Junta Militer, 2 Presiden Lengser dalam 9 Bulan, Begini Kronologi Kudeta Mali
Tidak ada gejala perpecahan antar angkatan dan gejala kudeta.
Dikutip dari buku berjudul 'Kontroversi Kudeta Prabowo,' yang nampak adalah adanya rivalitas di dalam tubuh Angkatan Darat yang menimbulkan konflik.
Prabowo Subianto dan Wiranto saling memperebutkan pengaruh guna mengincar jabatan prestisiuas, yakni Panglima ABRI.
Kelompok Prabowo merasa bahwa Jenderal Wiranto sudah waktunya diganti.
Hal itu dianggap harus dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban kegagalan mengamankan ibukota dari kerusuhan.
Sebaliknya, Jenderal Wiranto menganggap apa yang dilakukan Prabowo (memberi masukan kepada Soeharto), sebagai perbuatan yang tidak patut.
Tindakan Prabowo mempengaruhi Habibie dalam membentuk kabinet, mungkin juga dianggap sudah di luar kepatutan.
(*)