Jadikan Soeharto Sebagai Mahagurunya, Militer Myanmar Ternyata Terpaksa Lakukan Kudeta Berdarah Justru karena Gagal Meniru 2 Kunci Utama The Smiling General Berkuasa Selama 3 Dekade Ini

Maymunah Nasution

Penulis

Sama-sama jenderal yang berkudeta, inilah alasan keberhasilan Soeharto menjadi pemimpin puluhan tahun tidak dirasakan oleh Jenderal Min Aung Hlaing untuk Myanmar

Intisari-online.com -Maret kemarin, 6 minggu setelah kudeta militer di Myanmar, pemimpin komando Indonesia menawarkan berbagi dengan Jakarta "pengalaman membangun pasukan bersenjata profesional dalam konteks demokrasi".

Niat baik Marsekal TNI Adi Tjahjanto diabaikan saat itu.

Militer Myanmar yang puluhan tahun lalu mengirim petugas untuk belajar dari Indonesia, tidak ingin pelajaran tentang meniru transisi dari negara otoriter menjadi demokrasi.

Faktanya militer Indonesia setelah runtuhnya Suharto di tahun 1998 melakukan apa yang perlu dilakukan militer Myanmar saat ini: melepaskan peran terbuka dalam politik.

Baca Juga: Sampai Terpikir Mengundang Junta Militer ke Jakarta, Langkah Jokowi Dianggap Pakar Ingin Meneruskan Warisan yang Sudah Dicetak SBY di Pemerintahan Myanmar yang Sedikit Diketahui Dunia Ini

Setelah kudeta 1 Februari yang menghancurkan demokrasi Myanmar, junta militer telah berpaling dari Indonesia dan pilih meniru Thailand dengan tokohnya Prayut Chan-o-cha.

Secara bersejarah, ada beberapa tanda kemiripan antara militer Myanmar dan Indonesia.

Keduanya berperang untuk kemerdekannya, mengasingkan penjajah kolonial dan dalam prosesnya mendapatkan pengakuan seluruh negara.

Keberhasilan ini mendasari kedua militer memainkan peran besar dalam politik masing-masing negara.

Baca Juga: Semua Pemimpin ASEAN Diundang Jokowi, Tapi Inilah Dua Pemimpin ASEAN yang Tak Akan Hadiri Rapat Istimewa dengan Min Aung Hlaing di Jakarta, Apa Penyebabnya?

Kedua militer juga memiliki kepentingan bisnis tertentu, yang seolah-olah untuk membantu menutupi kekurangan dari anggaran negara yang ketat.

Dalam hal ini militer Myanmar yang memiliki aktivitas bisnis lebih besar.

Militer kedua negara juga menghadapi tuduhan pelanggaran HAM hebat.

Serta, kedua negara telah dipimpin oleh militer meskipun dalam waktu yang singkat.

Baca Juga: Setelah Bulan Lalu Merugi Besar Akibat Sanksi Berat dari AS, Junta Militer Myanmar dan Dua Raksasa BUMN Kini Kena Hukuman Berat Lagi, Ini Sumbernya

Indonesia dipimpin militer pada 1945 dan Myanmar pada 1948.

Dalam banyak cara tentu Indonesia berbeda dengan Myanmar, mengingat langkah ekonomi berbeda yang dikejar Soeharto dan Ne Win di Burma, nama Myanmar sampai tahun 1989.

Soeharto membawa dan menyimpan sekelompok teknokrat kompeten bernama "Mafia Berkeley", yaitu para sarjana dari Universitas California.

Mereka membuka Indonesia untuk membutuhkan investasi swasta asing dan pribadi, dan membuat Soeharto untuk menderegulasi bagian penting dari ekonomi yang kusut.

Baca Juga: Aksi Sarwo Edhie Wibowo Hadapi Teror KKB Papua Berkekuatan 14.000 Orang di Era Soeharto hingga Mampu Bujuk Kembali ke NKRI, Taktik Cerdas Ini Jadi Kunciannya

Bertahun-tahun, pertumbuhan rata-rata di atas 6%.

Sementara Ne Win mengisolasi negaranya dari dunia dan mendeklarasikan "cara sosialis Burma," sebuah hal yang menyebabkan negaranya yang kaya menjadi miskin.

Sejak Aung San Suu Kyi dilepaskan dari penahanan rumahnya tahun 2010, militer memperbolehkan beberapa pembukaan ekonomi untuk menarik investor asing.

Pembukaan itu mulai menaikkan standar hidup warga.

Baca Juga: Negaranya Kini Bak Medan Perang, Mendadak Pemimpin Kudeta Militer Myamnar Sambangi Indonesia,Tak Disangka Ternyata Myanmar Sangat Menyukai Indonesia,Begini Alasannya

Namun ekonomi Myanmar segera hancur setelah Covid-19 menyerang di tahun 2020.

Soeharto yang dengan kejam menekan musuh-musuhnya, membangun sistem pemerintahan yang melibatkan pemilihan parlemen tiap 5 tahun.

Sistem itu menciptakan stabilitas yang disukai para investor, dan menjadikannya dan militer Indonesia jawara.

Kemudian di awal tahun 1990-an, Myanmar mengirim petugas dan pejabat ke Indonesia untuk mempelajari sistem Soeharto.

Baca Juga: Bangunannya Dihancurkan, Gurunya Ditembak KKB Papua, Sekolah yang Jadi 'Senjata' Pak Harto Entaskan Kebodohan Ini Ternyata Pernah Antarkan Ekonom AS Raih Nobel Ekonomi

Hal ini terjadi ketika protes anti pemerintah terjadi pada 1988 dan kemudian tahun 1990 kemenangan pemilu untuk Aung San Suu Kyi yang ditolak diakui oleh rezim.

Fitur pusat Soeharto adalah pasukan bersenjatanya diberikan dwi fungsi menjadi pasukan "sosial-politik" dan tidak hanya pertahanan saja,

Doktrin itu artinya militer aktif di politik dan bidang usaha lain.

Kemudian untuk menunjukkan jika tentara netral, mereka tidak diperbolehkan memilih di pemilihan parlemen.

Baca Juga: Sudah Beroperasi Selama Empat Puluh Tahun, Inilah Sepak Terjang KRI Nanggala 402, Begini Cerita Operasi Sunyi Mereka yang Jauh dari Perhatian Kawan Maupun Lawan Meski Begitu Membanggakan Indonesia

Alih-alih, pasukan bersenjata diberi 100 atau 20% dari kursi parlemen.

Myanmar baru meniru ini pada konstitusi 2008, dengan jatah kursi sebanyak 25%, ironisnya hal ini terjadi 5 tahun setelah Indonesia mengalami reformasi politik besar setelah Soeharto, dan Indonesia mengacaukan kebijakan ini.

Di Indonesia yang dikacaukan juga adalah dwi fungsi, dikacaukan sendiri oleh militer Indonesia.

Ironisnya, di era periode kedua Jokowi yang tidak punya latar belakang militer, pengaruh militer justru meningkat dan pensiunan jenderal mendapatkan posisi kunci di kabinet.

Baca Juga: Mengenang Sejarah Suram Indonesia 11 Maret 1966, Kudeta Besar-besaran dengan Supersemar Sebagai 'Surat Sakti' Soeharto Gulingkan Soekarno

Soeharto juga terkenal dengan kemenangan parlemen oleh Partai Golkar, setelah menjadi Presiden, Soeharto membangun ulang sistem politik melarang Partai Komunis dan partai-partai serupa dan hanya memperbolehkan dua partai selain Golkar untuk ikut 'pesta demokrasi'.

Ketiga partai juga bersumpah mengikuti ideologi yang sama yaitu pancasila.

Golkar telah menjadi kendaraan politik yang kuat yang dipastikan akan dipilih oleh masyarakat dan para pemilik organisasi yang terlibat dengan pemerintah.

Militer Myanmar punya kendaraan politik serupa yaitu Partai Gabungan Solidaritas dan Perkembangan (USDP), tapi kendaraan ini melibatkan para pensiunan militer akhirnya runtuh karena popularitas Aung San Suu Kyi dan partainya.

Baca Juga: Dipaksa Mundur Saat Jadi Presiden,Setahun Kemudian Para Mahasiswa Ini BongkarPerilaku Soeharto yangSebenarnya, 'Kami Tak Menyangka'

Widjojo, pensiunan jenderal bintang tiga, mengatakan Myanmar kekurangan dua hal yang membuat Soeharto berhasil.

Pertama adalah pancasila atau ideologi yang menyatukan warga Indonesia.

Kedua adalah kontak stabil dengan dunia.

"Bukan hal mudah dalam transisi demokrasi datang dengan bentuk yang baik untuk membangun kepercayaan antara warga dan militer," ujar Widjojo.

Baca Juga: Jangankan Mimpi Beli Mobil, di Era Orde Baru Dapat Ganti Rugi Pun Sudah Syukur, Kalau Menolak Siap-siap Dapat Label Paling Menyeramkan

"Dan di Myanmar, tidak ada rasa percaya sama sekali."

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait