Intisari-online.com - Maret kemarin, 6 minggu setelah kudeta militer di Myanmar, pemimpin komando Indonesia menawarkan berbagi dengan Jakarta "pengalaman membangun pasukan bersenjata profesional dalam konteks demokrasi".
Niat baik Marsekal TNI Adi Tjahjanto diabaikan saat itu.
Militer Myanmar yang puluhan tahun lalu mengirim petugas untuk belajar dari Indonesia, tidak ingin pelajaran tentang meniru transisi dari negara otoriter menjadi demokrasi.
Faktanya militer Indonesia setelah runtuhnya Suharto di tahun 1998 melakukan apa yang perlu dilakukan militer Myanmar saat ini: melepaskan peran terbuka dalam politik.
Setelah kudeta 1 Februari yang menghancurkan demokrasi Myanmar, junta militer telah berpaling dari Indonesia dan pilih meniru Thailand dengan tokohnya Prayut Chan-o-cha.
Secara bersejarah, ada beberapa tanda kemiripan antara militer Myanmar dan Indonesia.
Keduanya berperang untuk kemerdekannya, mengasingkan penjajah kolonial dan dalam prosesnya mendapatkan pengakuan seluruh negara.
Keberhasilan ini mendasari kedua militer memainkan peran besar dalam politik masing-masing negara.