Penulis
Intisari-Online.com - Kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Sabinus Waker diduga menembak seorang guru bernama Oktovianus Rayo di Kampung Julukoma, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Kamis (8/4/2021).
Selain penembakan yang menewaskan Oktovianus, KKB juga merusak tiga sekolah di Distrik Beoga.
Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah (DPPAD) Provinsi Papua Christian Sohilait mengatakan, tiga sekolah itu adalah SD Inpres Beoga, SMPN 1 Beoga, dan SMAN 1 Beoga.
Menurutnya, guru yang tewas ditembak itu tinggal di kompleks SD Inpres Beoga, SMPN 1 Beoga, dan SMAN 1 Beoga.
SD Inpres sendiri merupakan salah satu program kebijakan pendidikan di rezim Orde Baru.
Saat itu, Soeharto mengunstruksikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membangun sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia menggunakan dana APBN.
Proyek SD Inpres sering disebut sebagai 'sekolah kecil' yang disediakan bagi anak-anak golongan kedua.
Yakni untuk anak-anak di daerah terpencil dan kawasan perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.
Meski didasarkan dari niat mulia, awal proyek SD Inpres tak luput dari masalah.
Masalah tersebut yakni terkendala ketersediaan guru-guru yang mau ditempatkan di daerah terpencil.
Selain itu, masalah kualitas guru yang hanya lulusan SPG juga memiliki kualitas rendah jika dibanding dengan lulusan IKIP.
Kebijakan SD Inpres ini bertahan selama beberapa dekade.
Berkat keberhasilan program ini meskipun keberhasilan itu berarti adanya pemberian kesempatan belajar dengan kualitas seadanya, Presiden Soeharto memperoleh penghargaan Avicenna Award dari UNESCO pada tahun 1993.
Bahkan program SD Inpers untuk mengentaskan kebodohan ini mampu membawa ekonom AS meraih nobel ekonomi.
Dia adalah Esther Duflo, dia adalah seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology, begitu juga suaminya yang terlahir di Mumbai, Banerjee.
Duflo waktu itu meneliti kebijakan SD inpres yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia di era 1973 hingga 1978.
Periode tersebut merupakan era Soeharto menjadi Presiden di Indonesia.
Penelitian tersebut diterbitkan pada tahun 2000 dengan judul Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment.
Dalam publikasinya itu, Duflo menganalisa dampak dari program pemerintah tersebut terhadap pendidikan dan tingkat upah penduduk Indonesia kala itu.
Caranya, dengan menggabungkan perbedaan jumlah sekolah di berbagai daerah dengan perbedaan antar-kelompok yang disebabkan oleh waktu program.
Adapun dalam abstraksi penelitian dijelaskan penelitian tersebut berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978.
Di mana RI membangun lebih dari 61.000 SD.
Meski SD Inpres ini memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan anak di berbagai daerah, namun belakangan ini SD tersebut kurang begitu mendapatkan perhatian.
Mulai dari kondisi bangunan sekolah yang memprihatinkan hingga kekurangan guru.
(*)