Intisari-online.com -Demokrasi sudah sejak lama dikenalkan oleh Cleisthenes, warga Yunani yang mengenalkan sistem pemerintahan selain monarki dan aristokrasi.
Namun sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat ini sering kali tidak terlaksana dengan benar.
Demokrasi banyak digulingkan oleh para aristokrat atau pihak-pihak yang menginginkan berkuasa.
Contoh terbaru adalah apa yang terjadi di Myanmar ini.
Seperti dilaporkan Al Jazeera, negara ini sedang menghadapi kudeta militer yang mana menjadi penambah kekacauan demokrasi Myanmar.
Myanmar baru saja melaksanakan pemilu Presiden pada 8 November lalu.
Di tengah pandemi Covid-19, para warga dengan antusias berangkat ke TPS untuk menyuarakan suara mereka.
Pemungutan suara ini adalah pemungutan suara kedua sejak berakhirnya kepemimpinan militer di tahun 2011 lalu.
"Orang-orang bersemangat untuk memilih, karena mereka ingin keluar dari tekanan politik," ujar petugas pemilu saat itu.
"Mereka inginkan demokrasi yang nyata."
Namun masalah besar menghadapi negara yang dulunya bernama Burma itu.
Hanya beberapa hari sebelum pemilu, kepala militer Myanmar Min Aung Hlaing telah menyatakan kemungkinan militer tidak akan menerima hasil pemilu.
Ia menuduh pemerintah pemenang Nobel Aung San Suu Kyi sebagai sebuah kesalahan yang "tidak dapat kami terima".
Ia juga mengatakan kepada outlet berita lokal jika "kami berada dalam situasi di mana kami perlu berhati-hati" mengenai hasil pemilu.
Padahal kenyataannya, partai politik Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD) telah mengamankan kemenangan mereka, mendapat lebih dari 80% suara dan meningkatkan dukungan dari pemilu 2015 sebelumnya.
Namun hasil itu segera dianggap hasil yang curang dan kemudian menyebabkan militer mengambil alih pemerintahan.
Union Solidarity and Development Party (USDP), proksi partai militer di Parlemen segera mengambil alih hasil pemilu.
Militer Myanmar yaitu Tatmadaw, mendukung asersi USDP dan mengklaim tanpa bukti jika investigasi mereka telah menemukan 10.5 juta suara yang bermasalah.
Kemudian pada Rabu, jenderal Myanmar, Min Aung Hlaing mengancam untuk menggulingkan konstitusi.
Ancaman kudeta kemudian menyebar dan memicu kecaman internasional.
Militer kemudian menarik kembali peringatannya dan mengatakan media telah salah menafsirkan komentar jenderal itu.
Namun Senin kemarin 1 Februari 2021, ancaman itu menjadi kenyataan.
Militer Myanmar, Tatmadaw, kembali memegang kekuasaan sipil hanya 10 tahun setelah kudeta militer pertama terlaksana.
Kini, pemimpin sipil termasuk Aung San Suu Kyu dan Presiden Myanmar, Win Myint, ditahan.
Tentara berjaga di jalanan Myanmar dan telepon serta internet ditiadakan di sebagian besar negara itu.
Beberapa jam setelah kudeta militer, militer nyatakan keadaan darurat selama satu tahun, menggunakan dalih pemerintah NLD dianggap gagal bertindak atas klaim "penipuan yang mengerikan".
Tatmadaw juga menjanjikan pemilihan baru, tapi tidak memberikan kerangka waktu dan mengumumkan jika kekuasaan telah diserahkan kepada Ming Aung Hlaing.
Berambisi menjadi presiden
Jenderal Ming Aung Hlaing disebutkan oleh Profesor Fakultas Hukum Universitas New South Wales di Sydney, Australia, Melissa Crouch, sebagai sosok yang telah lama berambisi menjadi presiden.
Tuduhan kecurangan di pemilu November kemarin hanyalah upaya memalukan USDP agar ia mendapatkan ambisinya, ujar profesor tersebut.
Ming Aung Hlaing sendiri seharusnya pensiun dari pos militernya saat ia berusia 65 tahun Juli besok.
Tatmadaw sejak konstitusi yang diubah tahun 2008, telah memiliki 166 atau 25% kursi di parlemen, dan USDP perlu mengamankan 167 kursi lagi agar Min Aung Hlaing menjadi presiden.
Namun partai itu hanya memenangkan 33 kursi dari 498 kursi yang tersedia, sementara kursi yang lain dimenangkan oleh partai Aung San Suu Kyi, NLD, sebanyak 396.
Kudeta militer ini disebut Crouch terjadi karena kesadaran militer mereka tidak punya pilihan lain agar Min Aung Hlaing bisa berkuasa.
"Agar bisa mengambil kursi presiden kembali, mereka harus bergerak di luar hukum… dan di tahun ini mereka perbolehkan pemilu segar berlangsung.
"Jika USDP hanya mendapat sepertiga dari kursi parlemen, tidak ada kesempatan bagi Min Aung Hlaing dapat menjadi presiden."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini